ADALAH attachment, kata yang digunakan Pali Text Society*) di Bristol, Inggris sebagai terjemahan dari Upadana, istilah yang banyak disampaikan Buddha dalam sesi-sesi khotbah dan diskusi semasa hidupnya, untuk kemudian diingat sebagai ajaran, dihafal secara kronologis, lalu dituliskan dan disusun menjadi berpuluh-puluh jilid Tipitaka.
Lewat kata attachment itu pula, para Buddhis kebanyakan–terutama mazhab Theravada–yang tidak pernah mempelajari bahasa Pali bisa mengerti bahwa Upadana berarti kemelekatan pada batin. Sesuatu yang muncul secara alamiah sebagai efek samping, residu, yang bila tidak ditangani sebagaimana mestinya malah bisa menjadi sebab negatif baru. Ya, kurang lebih mirip seperti lapisan licin bening supertipis di permukaan tegel kamar mandi yang selalu basah gara-gara keran shower kurang rapat.
Kemelekatan memunculkan keinginan, baik keinginan untuk menjadikan (embodiment) maupun menghilangkan (disembodiment) sesuatu. Keinginan mendorong terjadinya tindakan, dan setelah proses berlangsung serta menyisakan hasil, maka perasaan yang ditimbulkan lagi-lagi mampu menjadi sebuah kemelekatan. Sebuah lingkaran.
Salah satu sumber kemelekatan adalah makanan. Namun bukan makanannya, melainkan perasaan yang dicandui dalam sepanjang prosesnya. Sebelum, sedang kepengen makan sesuatu, bersantap, dan setelahnya;
- Saat kunyahan pertama,
- Saat fokus mengurusi detail-detail makanan,
- Setiap kali pikiran memerintahkan kerongkongan dan mulut mengeluarkan gumam “hmmm…” sambil menutup mata, atau mata melebar berbinar, dan macam-macam ekspresi lainnya sebagai penanda nikmatnya santapan,
- Saat menghabiskan bagian terbaik dari makanan itu di akhir santapan,
- Saat hanyut sejenak dalam nikmat mulut dan perut setelah bersantap, bahkan
- Saat hati mencelos begitu tahu warung makan favorit tutup, dan sebagainya.
Sangat mudah untuk memiliki kemelekatan pada daging Sus domesticus alias babi ternak. Karakteristik yang khas mengenai tekstur, kelembutan, tingkat kematangan, resapan bumbu, serta jenis masakan yang tepat, bisa menjadi semacam pengalaman menyenangkan, untuk kemudian dapat dengan mudahnya dirindukan.
Tapi bukan untuk semua orang.
Kegandrungan terhadap aneka kuliner berbahan dasar daging babi ternak sangat terbatas.
Bagi rekan-rekan muslim, jangankan daging, bahkan segala sesuatu yang berkenaan dengan hewan ini adalah haram tanpa terkecuali. Begitu pula bagi para umat Yahudi dengan hukum Kosher-nya. Dengan demikian, urusan babi ternak sudah masuk dalam ranah moralitas yang tidak bisa ditawar-tawar dengan alasan apa pun.
Sedangkan bagi para Buddhis, sebagai contoh berbeda, ihwal makan masakan berbabi bukan merupakan perkara boleh/tidak boleh, melainkan pertanyaan “mengapa?” dan “terus, kenapa?” kepada diri sendiri kembali soal kemelekatan di atas tadi. Dalam hal ini pun, yang boleh dikonsumsi adalah daging babi ternak, bukan babi hutan atau spesies babi lain yang bertaring.
Berbeda halnya dengan pandangan-pandangan spiritual tradisional. Dalam tradisi Khonghucu, salah satu agama resmi baru di negara ini, ataupun Tao dan kepercayaan tradisional Tionghoa, babi menjadi salah satu sajian upacara khusus selain kambing. Bukan cuma potongan daging, melainkan satu badan utuh tanpa jeroan dan bagian-bagian non-konsumsi lainnya. Juga dalam ritual suku-suku asli Nusantara. Di Papua, babi menjadi maskawin.
Terlepas dari pandangan religius tertentu, ada pula kelompok orang yang menolak konsumsi daging babi ternak dengan alasan kebersihan dan higienisnya. Barangkali menurut mereka, semua restoran atau penjual masakan berbahan babi pasti jorok dan primitif, dan tidak ada satu kecanggihan teknologi apa pun yang bisa benar-benar mensterilkan daging babi ternak agar layak dikonsumsi seperti makanan-makanan komersial berbahan daging hewan lainnya.
…
Bicara-bicara soal masakan babi, tidak banyak kota di Indonesia yang punya sikap biasa-biasa saja terhadap ragam kuliner ini. Setidaknya ditandai dengan label blak-blakan.
Di banyak kota, kebanyakan restoran babi tersembunyi, hanya diketahui secara terbatas, letaknya seringkali nyempil, benar-benar hidden gems. Dalam hal hak administrasi pun, banyak yang boro-boro diinspeksi petugas instansi demi mendapatkan sertifikasi higienis. Begitu tahu soal daftar menunya, kesan petugas seolah-olah bahkan dengan menjual masakan berbabi saja, keberadaan restoran itu sudah terlarang. Masih mending di Samarinda dan Balikpapan, atau Banjarmasin sekalipun yang sangat kuat nuansa keagamaannya, restoran berbabi tetap ada dan menjadi legenda selama berpuluh-puluh tahun walaupun dengan papan nama seadanya.
Terakhir, tahun lalu, dalam sebuah bazar hipster yang menjual aneka makanan kekinian. Ada salah satu stan mencoba memasarkan penganan berbahan babi yang sudah terkenal lebih dulu di Surabaya. Takut-takut, promosinya pun hanya secara tertutup di Path, dengan gambar logo yang dipotong (karena bergambar babi), dan sistem pesan terbatas. Responsnya: “namanya juga Samarinda, Gon.”
Berbeda lagi dengan di Kota Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara), atau Kota Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau yang ada Pulau Derawannya itu. Meskipun ada banyak warga Tionghoa, Dayak, dan non-muslim lain di sana, namun tidak ada satu pun restoran berbabi. Penjual dagingnya pun nihil. Sehingga minimal setahun sekali, menjelang Tahun Baru Imlek, warga Tanjung Redeb menyeberangi laut ke Kota Tarakan di utara, membeli daging babi ternak mentah maupun sudah dipanggang, sebagai bagian dari lauk utama mereka dalam suasana hari raya.
“Kenapa kok enggak ada yang jualan (daging babi)?” tanya saya.
“Ya susah sih di sini. Daripada kita diomongi macam-macam, lebih baik diam-diam beli, dimakan di rumah,” jawab seorang teman di Tanjung Redeb, beberapa tahun lalu.
Tak perlu jauh-jauh, dalam lingkungan kerabat sendiri pun, saya akan sangat ditegur bila mengucapkan kata “babi” dengan agak nyaring, meskipun tidak di depan umum. Babi di sini tentu merujuk pada makanan, bukan kata makian. Gara-gara kebiasaan itu, agak kikuk juga ketika sedang menjamu makan seorang kawan, dan mendadak ia bertanya “di sini enggak ada babi, ya?” saat seorang pramusaji melintas. Padahal itu hanya sebuah pertanyaan biasa.

Kayaknya, citra haram yang melekat pada daging babi ternak ini memang begitu kuat, sampai-sampai bisa meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial. Akhirnya malah memunculkan kemelekatan baru, untuk memberangus siapa pun yang menjual masakan berbabi.
Padahal bisa dipastikan, sejauh ini tidak ada satu orang Indonesia pun yang sengaja ingin menggunakan masakan berbabi untuk mencederai kehidupan keagamaan orang lain, atau menggunakan papan promosi menu yang dipasang di depan warung untuk menggoda orang-orang masuk dan makan lewat aromanya yang sedap.
Tidak hanya itu, sering didapati peristiwa saat pramusaji atau juru masak malah mencoba memastikan si pelanggan memang benar-benar ingin memesan babi dengan pertanyaan: “ini masakan babi, lho.” Utamanya kepada pengunjung baru, yang datang sendirian, dan dari wajahnya tak dapat diterka suku maupun agamanya. Berhati-hati untuk tidak salah menyajikan.
Kalau sudah begini, mudah-mudahan ke depannya makin banyak restoran berbabi yang berdiri, tak paranoid dalam menampilkan keterangan tentang bahan sajiannya, dan biasa saja. Biar makin banyak kompetitor, makin enak kualitas rasanya. Baik pemasak maupun pemakan sama-sama enggak merasa risi sendiri.

… dan soal moral orang lain yang sengaja menyantapnya atas kemauan sendiri, jelas bukan urusan kami.
[]
Tinggalkan komentar