Saya jarang sekali menonton filem dan mengingatnya hingga beberapa waktu kemudian. Begitu juga saat membaca buku. Apalagi membaca sebuah artikel yang setiap hari bermunculan di banyak format media. Ingatan saya payah.
Tapi belasan tahun lalu saya pernah menonton filem dan adegan-demi-adegan masih lamat-lamat saya ingat. Filem besutan Roberto Benigni. Judulnya Life is Beautiful. Ternyata, setelah saya cek, filem ini dibuat tahun 1997.
Apa yang menarik dari filem ini? Banyak. Ndak heran akhirnya filem ini mendapat beberapa penghargaan termasuk Piala Oskar. Tema ceritanya pernah sedikit dibahas oleh Fa, dalam “Ayah, Ah ya…“.
Ada satu film bertema ayah yang begitu kuat diingatan saya. La Vita è Bella (Life is Beautiful). Roberto Benigni memerankan serang pria bernama Guido Orefice. Seorang yahudi pemilik toko buku di salah satu kota di Italia. Waktu itu Perang Dunia II sedang panas-panasnya dan Nazi Jerman akhirnya menduduki Italia. Guido dan sang anak yang baru berumur lima tahun, Giosué, akhirnya harus “dipindahkan” ke kamp konsentrasi di luar kota. Untuk mengapus rasa takut Giosué, Guido berbohong dan berpura-pura kalau kejadian yang mereka alami ini adalah sebuah perlombaan. Orang pertama mengumpulkan 1000 poin akan dihadiahi sebuah tank baja. Tujuan utamanya, ya, tentu saja untuk melindungi Giosué sementara ia menunggu saat yang tepat untuk membebaskan keluarganya dari kamp konsentrasi. Ini salah satu film terbaik yang pernah saya tonton.
Guido dan seorang tentara Nazi. Salah satu scene di “La Vita e Bella”
Ada satu hal yang saya lihat dari Guido, ayah saya, dan mungkin ayah kalian. Mereka kadang terlalu hanyut di balik peran sebagai seorang ayah. Dan akhirnya kitapun kadang ikut alpa kalau mereka juga manusia. Dan ketika film berakhir, saya masih ingin mengenal lebih lanjut sosok Guido.
Justru yang menarik dari tulisan Fa adalah saat dia melanjutkan kalimat sebagai berikut:
Saya ingin mengenal ayah. Bukan sebagai ayah, tapi sebagai manusia. Saya ingin mengenal ayah seperti layaknya dua orang manusia yang mengenal satu sama lain, tanpa ada label anak-bapak. Apa yang ia pikirkan kalau ia tak harus memikirkan istri dan anak-anaknya? Apa sebenarnya yang ia inginkan? Atau, sesederhana, bahagiakah ayah selama ini?
Ada sesuatu pendekatan luar biasa dari Fa dalam menyikapi hubungan personal dengan Ayahnya. Ada hal yang perlu dia kupas tanpa menggunakan embel-embel status. Anak-Bapak. Lelaki-Perempuan. Fa ingin menyelami pikiran dan perasaan ayahnya.
“Bahagiakah ayah selama ini?”
Dalam beberapa agama dan budaya, anak yang masih kecil (mumayiz) identik akan dekat dengan ibunya. Maka tak aneh jika bagi keluarga yang telah berpisah, anak umumnya tinggal dengan kasih sayang seorang ibu. Tapi apakah dengan peran ibu dalam mengasuh anaknya, menjadikan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya otomatis terhambat? Seharusnya sih ndak.
Ibu dan Ayah yang ndak rukun, seharusnya tidak menularkan ketidakrukunan ini kepada anak-anaknya. Biarlah mental dan jalan pikir anak tumbuh kembang tanpa disertai rasa benci dan egois dari orang tua yang berpisah. Sedang tidak ada perebutan kekuasaan saat orang tua berpisah dan anak harus tinggal dengan salah satu orang tua. Ayah atau Ibu. Membesarkan anak tetap bersama-sama walaupun pada akhirnya kedekatan fisik mengharuskan anak memilih dengan siapa dia akan tinggal.
Perasaan sayang seorang kepada ibu kepada anaknya saat berstatus isteri, bisa jadi jauh lebih bertambah saat statusnya menjadi janda. Begitupun kasih sayang ayah kepada anaknya.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa teman saya mengeluhkan bagaimana dirinya begitu kangen kepada anaknya. Namun karena dirinya telah berpisah dengan istrinya, maka rasa kangen itu dipendam sedemikian rupa bahkan terkadang menjelma menjadi air mata. Agak sulit memang membayangkan pria bertato burung hong, brewok lebat, rambut licin pomade menangis sesenggukan di hadapan kita saking kangennya dengan anak-anaknya.
“Dateng aja lah. Ajak main.”
“Setiap datang, anak-anak gw senang. Tapi ibunya enggak.”
“Masalah? Kan yang penting ngajak main anaknya.”
“Tapi bakalan ibunya ngikut.”
“Masalah? Kan malah bagus kelihatan komplit.”
“Iya, tapi dalam perjalanan justru timbul konflik baru. Ndak boleh ini lah. Ndak bole itu lah. Pola asuh ibunya ketat banget. Kayak rok SPG rokok bro.”
Jika diselami, teman saya ini sayang banget sama anaknya. Tapi ndak mau kelihatan ndak rukun sama istrinya di hadapan anaknya. Tapi daripada kelihatan ndak rukun lebih baik dia memendam perasaan kangen kepada anaknya. Kok bisa?
Lain halnya dengan teman saya yang lain. Dia memang mengasuh kedua anaknya sendirian. Hingga saat ini dia masih dinafkahi mantan suaminya. Termasuk seluruh biaya sekolah anak-anaknya.
“Sama kok, Mas. Bedanya aku ndak campur sama mantan suami. Bahkan terkadang masih sering nginep di rumah. Anak-anak seneng banget bapaknya datang.”
“Ndak pengen kawin lagi mbak?”
“Belum dapet yang baik. Yang mau nerima kedua anak aku.”
“Lah, anaknya kan memang punya bapak kan?”
“Iya, tapi kalau tinggal serumah, kan belum tentu mau.”
“Ya anak-anaknya titip aja ke mantan suami mbak.”
“Ndak terlalu ikhlas lah Mas. Apa iya dia beneran sayang. nanti malah ngedidiknya kacau. Aku aja pisah dulu karena hidupya kacau.”
“Kok kacau bisa menafkahi?”
“Kacau dalam artian soal agama Mas. Kagak pernah sholat. Apalagi ngaji. Ah embohlah Mas. Dulu aja, jarang banget pulang ke rumah.”
“Kamu ndak kasihan anak-anak kangen bapaknya?”
“Justru dibalik Mas, apa iya bapaknya ndak kasihan lihat anak-anaknya sering nanyain kemana Bapaknya. Ah embohlah Mas. Pucing Pala Rapunzel.”
Problematika hidup memang semakin rumit. Soal hubungan manusia. Soal bagaimana membina keluarga utuh, tetap merawatnya dan terus komplit hingga akhir hayat. Lantas bagaimana dengan keluarga yang dijalani secara terpisah. Tetap menjadi keluarga. Bedanya hanya status dari orang tua. Toh anak-anak yang ada dan muncul dari hubungan antara orang tua, adalah anak-anak yang harus tetap dijaga perasaannya.
Anak-anak yang tak perlu mengalami kekecewaan yang sama dengan ayah atau ibunya. Anak-anak yang akan terbang melesat ke angkasa dengan segenap jiwa raga. Meninggalkan kenangan kelam. Sejarah keluarga yang retak.
Agak repot memang jika yang terjadi jika anak-anak mengalami trauma. menyaksikan orang tua yang selalu bertengkar. Saling teriak. banting kaca, piring, tipi, atau benda apapun yang menimbulkan suara nyaring.
Dalam filem Life is Beautiful, seorang ayah berkorban menyelamatkan anaknya. Bukan saja soal nyawa. namun jauh lebih dari itu. Soal kejiwaannya. Seorang ayah yang berkorban nyawa demi anaknya untuk hidup tanpa rasa takut. Agar anaknya yakin, bahwa yang dihadapinya adalah permainan belaka.
Tak perlu ada kegetiran dalam hidup. Jika bisa dihindari, mengapa harus dialami? Jika kita terlanjur merasakannya, apa iya harus diwariskan juga?
Selamat hari Sabtu. Salam hangat dari saya.
Roy
sedih om…
SukaSuka
trauma itu melekat, maka betul, jangan pernah mewariskan rasa sakit kita pada anak kita nanti..
SukaSuka
angguk-angguk
SukaSuka
om roy…
SukaSuka
terhenyun
SukaSuka
Nangis bacanya..
SukaSuka
napa?
SukaSuka