Soal Teman

DEMIKIANLAH yang kudengar…

Tak bergaul dengan yang tidak bijaksana,
bergaul dengan mereka yang bijaksana,
menghormat yang patut dihormat…

Enggak perlu saya sebutkan dari mana kalimat di atas berasal, nanti dikira misi terselubung. Tapi yang jelas, saya sih setuju-setuju aja dengan pesan yang disampaikan. Asal tidak sekadar diartikan secara verbatim.

Mengapa?

Karena, bukan perkara gampang untuk memutuskan apakah seseorang sudah cukup bijaksana dalam hidupnya atau tidak. Silakan bertanya kepada diri sendiri: “siapa gue? Sok menilai orang lain.” Selain itu, biar enggak gamang, minimal diperlukan kesepakatan sosial yang mendeklarasikan bahwa si ini atau si itu adalah seseorang yang bijaksana. Seperti yang terjadi dalam lingkungan masyarakat adat. Toh, belum tentu pula hasil kesepakatan bersama itu sahih. Seringkali, perspektif orang banyak juga bias, ndak bisa dijadikan pegangan yang baik. Apa pun latar belakang mereka. Nanti malah kayak bagian awal cerita si Alfa di “Gelombang”. Analoginya, deskripsi sepuluh tunanetra atas rupa seekor gajah, tetap tak akan sanggup mengalahkan pengalaman melihat langsung seekor gajah dengan mata kepala sendiri.

Secara konkret, kita–dan sebagian besar masyarakat–kerap menilai seseorang secara visual, pun dalam bentuk asumsi. Melihat seseorang bertato, langsung dicap orang ndak bener; melihat seseorang menggenggam kaleng bir, langsung dicap doyan mabuk; melihat seseorang berhijab, langsung bisa dianggap halus budi pekerti; melihat wanita karier yang harus meeting di sana sini, langsung dinilai bukan ibu yang baik; dan seterusnya. Padahal belum tentu kita lebih bijaksana ketimbang mereka, yang ada malah sikap sok kenal dan sok tahu. Laiknya yang terjadi antara (mohon koreksinya) Nabi Musa dan Nabi Khidir. Menjauhkan–yang bisa saja berupa–kesempatan emas, bertukar pikiran dan memperluas wawasan dari siapa saja.

Di sisi lain, bukan mustahil jika justru lewat berteman dengan bermacam jenis manusia, bisa menumbuhkan pemahaman dan kebijaksanaan kita sendiri. Menjadi pengetahuan penting untuk menjalani hidup, setidaknya agar mengerti yang benar-benar baik (bukan sekadar menurut anggapan umum) dan tidak. Menumbuhkan simpati. Pengetahuan, yang dengan sendirinya akan membuat kita terus merapat atau menjauh. Sebab ada masanya, kita belum/tak sepenuhnya mengenal siapa yang sedang berada dalam lingkar pertemanan, serta menyadari apa dampaknya terhadap hidup kita secara luas.

Seperti bunyi sebuah idiom populer entah dari bumi belahan mana: “Berteman dengan tukang minyak wangi, maka akan ikut berbau harum. Berteman dengan tukang ikan, maka akan ikut berbau amis.” Untuk idiom ini, saya tambahkan kalimat sendiri: tapi minyak wangi tak bisa diminum, namun ikan bisa dimakan serta menyehatkan. Tidak sama dengan bersikap oportunis, yang saat berteman dengan tukang minyak wangi, selalu berusaha supaya kena banyak percikan parfum. Dan saat berteman dengan tukang ikan, selalu berupaya supaya bisa mendapatkan banyak ikan terbaik untuk diri sendiri. Aji mumpung yang serakah.

Di titik ini, diperlukan lebih dari sepasang mata untuk melihat. Bola mata, dan mata hati.

Kemudian, ihwal memberikan penghormatan yang pantas, kepada orang-orang yang memang layak mendapatkannya. Hormat dalam makna yang denotatif, yang bisa dilakukan baik kepada bos di kantor, kepada orang tua di rumah, bahkan kepada seorang tukang becak sekalipun. Bedanya, sikap hormat dan sikap feodal itu beda tipis. Apalagi di Nusantara yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Lagi-lagi, diperlukan kebijaksanaan untuk mampu melakukannya dengan tepat.

Hormat kepada pimpinan di kantor memang wajib dilakukan, selama bukan bertujuan untuk menjilat dan melakukan pencitraan. Hormat kepada orang tua pun memang seharusnya selalu dilaksanakan, tapi–menurut saya–penghormatan sebagai sikap etis berbeda dengan kesukarelaan untuk dikendalikan. Misalnya: ketika diharuskan kuliah di jurusan tertentu yang berlawanan dengan aspirasi pribadi dan cita-cita Anda, atau dipaksa menikah dengan anak seorang kenalan, maupun terus menerus dianggap sebagai anak kecil yang belum mampu menghidupi diri sendiri sehingga pendapatnya tidak pernah dianggap. Idealnya, sah-sah saja untuk berbeda pandangan, selama tidak dilampiaskan dalam bentuk intimidasi dan ancaman, maupun tindakan kurang ajar dan kriminal.

Akan tiba waktunya, ketika orang tua dan anak sedang berbicara, mereka adalah kumpulan orang yang sama-sama dewasa. Bertanggung jawab penuh atas kehidupan masing-masing. Terus belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Terkait hal ini, akan sangat bijaksana, apabila Anda pernah merasakan pengalaman tidak menyenangkan dengan orang tua, agar tidak terulang kepada anak-anak sendiri. Kecuali kalau Anda adalah penganut paham “Tiger Mom”-isme.

असेवना च बालानं
पण्डितानञ्च सेवना,
पूजा च पूजनीयानं
एतं मङ्गलमुत्तमं.


Terlepas dari serangkaian pandangan di atas, saya mah pasrah aja kalau dicap sebagai tukang tafsir ayat kitab suci kelas kambing nan serampangan. Pastinya, saya merasa beruntung berkawan (dan berlawan) dengan orang-orang yang ada di sekeliling saya sekarang karena satu dan lain hal.

Terima kasih ya. 🙂

[]

2 tanggapan untuk “Soal Teman”

  1. One of my favorite Suttas. 😀

    Suka

  2. bola mata + mata hati = ?

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.