Pertanyaan di atas merupakan penggalan lirik lagu yang pernah populer di era 1980-an. Aslinya, lagu ini dinyanyikan grup dari Belanda bernama Maywood. Namun lagu ini ngetop lagi di Indonesia saat didendangkan ulang oleh Nani Sugianto di drama seri “Pondokan” di TVRI.
Drama seri ini sempat menjadi acara tontonan wajib kami di rumah. Seminggu sekali, kami semua berkumpul di depan televisi cembung 21 inch merk Grundig. Serial yang berkutat seputar kehidupan anak-anak perantaun di indekos dimainkan oleh Nani, Yayuk Suseno, Tetty Liz Indriati, Alan Nuari dan masih banyak lagi. Yang tidak berubah adalah ibu kost, yang dimainkan oleh Nani Wijaya.
Kebetulan juga, suasana rumah kami saat itu sama seperti yang kami tonton di layar kaca.
Ibu saya menjadi ibu semang bagi sejumlah anak kost perempuan yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Rumah kami dekat dengan dua kampus besar. Sesekali ada juga karyawati yang ngekos, karena dekat kampus, ada dua kantor besar milik negara. Yang jelas, sehari-hari rumah tidak pernah sepi, kecuali saat liburan kampus. Sampai sekarang pun, rumah utama kami masih menerima kost.
Berbagai karakter manusia sudah ditemui ibu selama lebih dari 33 tahun menjadi ibu kos.
Telat bayar, sudah biasa. Pulang malam tidak bawa kunci, wajar saja. Ada yang memalsukan surat nikah, pernah juga. Bakar surat cinta dan barang-barang mantan pacar sampai asapnya masuk ke dalam rumah, pernah kejadian.
Ibu selalu santai saja menanggapi semua itu.
Keras dan tegas, iya. Mengusir, tidak pernah. Biarkan mereka sendiri yang menyelesaikan masalah. Toh sudah bukan perempuan usia 16 tahun lagi.
Dan yang paling penting, mereka ini bukan saya beserta kakak dan adik saya yang jadi anak kandungnya.
Beberapa saat setelah saya menulis tentang Ayah, ada teman bertanya, “Kapan menulis tentang sosok ibu?”
Saya sempat terdiam. Jawaban saya waktu itu, “TIdak tahu.”
Sampai sekarang saya tidak tahu harus menulis apa tentang sosok ibu.
Sempat bertanya-tanya dalam hati, apa karena saya laki-laki, sehingga saya tidak akan pernah bisa mengerti apa rasanya menjadi seorang ibu? Kalau ayah, mungkin bisa memproyeksikan bagaimana nanti. Kalau ibu? ‘Kan saya tidak akan pernah bisa melahirkan anak?
Lain waktu sempat terlintas di pikiran juga, apa karena sosok ibu sudah kita sakralkan sedemikian rupa?
Mau tidak mau, jargon-jargon seperti “surga di bawah telapak kaki ibu” atau “kasih ibu tak terhingga sepanjang masa” membuat kita semakin melihat sosok ibu dari level sudut pandang katak: semakin ke atas, meninggi dan menjauh. Sosok ibu menjadi sosok suci yang rasanya tak akan pernah terjangkau.
Atau bisa juga karena saya mengikuti film-film Disney dan Pixar dari awal, makanya kaget ketika sadar bahwa tidak ada satu pun karakter utama seorang ibu di film-film mereka, sampai adanya Helen di film The Incredibles.
Bertahun-tahun sudah saya tidak tinggal bersama ibu lagi saat pertama kali menonton The Incredibles 10 tahun yang lalu. Namun melihat sosok Helen bergulat dengan waktu setiap hari menyiapkan sarapan dan makan siang suami dan anak-anak, membesarkan anak nyaris seorang sendiri karena suami pergi, seperti melihat sosok ibu yang, tanpa kekuatan fisik apapun, sudah menjadi seorang superhero.

Saat saya masih bisa pulang sekolah jam 11 siang setiap hari, ibu sudah menyiapkan makan. Bisa bubur kacang ijo, atau kue kacang sambil menunggu makan siang. Sambil disantap, saya menonton rekaman kaset video tayangan “Charlie’s Angels” atau lawakan Jayakarta Grup di acara “Kamera Ria” dari semalam sebelumnya. Maklum, saat “Dunia dalam Berita” ditayangkan, kami harus tidur.
Ibu juga yang mengenalkan saya ke film-film Indonesia tahun 1970-an. Saat akhir pekan, biasanya kami berkunjung ke video rental terdekat. Ibu pun memilih film-film karya Wim Umboh, Syuman Djaya, sehingga di usia dini, saya sudah tahu siapa Paula Rumokoy, Ruth Pelupessy,atau Aedy Moward, serta tentu saja favorit beliau adalah Tanti Josepha, Widyawati dan Sophan Sophiaan.
Inilah waktu senggang ibu, her me-time, yang lebih dia pilih untuk membagi ke anak-anaknya apa yang menjadi kesenangannya waktu dia berusia muda dahulu. Di sela-sela mengurus rumah, kost-kostan, dan kulakan batik serta merawat almarhumah nenek, ibu tidak punya banyak waktu luang. Waktunya terus terbagi. Ketika yang balita beranjak remaja, ibu pun tidak pernah berhenti.
Ibu tidak pernah berpikir. Ibu terus melakukan. She just keeps on doing.
Waktu ayah jatuh sakit, ibu tidak pernah menangis. Dia tahu bahwa malam itu dia harus membagi tugas ke kami mencarikan rumah sakit, mengurus administrasi, sambil harus mengantar adik kerja esok paginya, karena dia sedang hamil besar dan tidak bisa membawa kendaraan sendiri.
For mothers, being strong is not an option. It’s a necessity.
Mungkin, karena terlalu sibuk berlindung, saya belum bisa menggambarkan dengan baik seorang sosok ibu.
Saya hanya bisa mencintainya, selamanya.
🙂
SukaSuka
Buka arsip linimasa, nemu artikel ini, air mata meleleh lagi..
Benar-benar slalu merindukan mamah setiap harinya..
SukaSuka
Semoga kita tidak pernah lupa mendoakan ibu kita setiap saat ya. 🙂
SukaSuka