Karena Kita Butuh Lebih Banyak Hati

sumber: koleksi Bung Tomo
sumber foto: koleksi pribadi dari akun path Dyah Ayu Prasetyo Utami

Seperti rak berisi buku, internet boleh diisi bermacam-macam jenis informasi. Soal sepakbola, puisi, teknologi luar angkasa, iklan pembesar payudara, filsafat islam mahzab mu’tazilah, politik dagang sapi, bahkan berisi sekadar caci maki. Berangkat dari kesadaran keanekaragaman itulah linimasa hadir. Kami mencari ruang kosong sebisa kami dan mengisi beberapa deret di antara buku-buku lainnya dengan tulisan yang muncul dari hati.

Nauval Yazid adalah salah satu temanku yang ikut mengisi rak buku sub bagian linimasa. Dia dikenal baik oleh kami sebagai pria yang kontemplatif sekaligus melankolis. Kadarnya akut. Semua hal dipikir dalam-dalam. Sedangkan Agun Wiriadisasra, anak hipster asli tanah Pasundan. Soal lagu, filem, bahkan isu terkini sudah ia ketahui sebelum si pembuat lagu, penulis naskah filem dan penyebar isu tersebut merilis resmi. Sedangkan Gandrasta Bangko itu banci karbit. Pendapat ini dilontarkan sahabat baiknya, Glenn Marsalim. Nah, Glenn Marsalim sendiri adalah pria dengan tattoo naga warna biru di tubuhnya namun begitu takut apabila Jokowi lekas mati. “Kasihan para pendukungnya. Apalagi Jokowi mati sebelum sempat balas budi“. Entahlah apakah ini alasan yang mengada-ada. Namun ketegasannya saat memberikan alasan tersebut, kami yakin Glenn sedang bicara serius. Adapun Dragono Halim, seorang pemuda yang begitu mencintai ajaran buddhisme. Kami yakin, 9 dari 10 tulisannya kemarin, sekarang dan yang akan datang berisi soal ajaran buddha. Aku pribadi mulai curiga bahwa dirinya membawa misi tersendiri untuk mengembalikan ajaran yang dihayatinya seperti di era keemasan Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan Farah Dompas adalah gadis muda yang ternyata, diam-diam, begitu berbakat sebagai mak comblang namun dia sendiri agak khawatir dengan karir asmaranya. “Aku berkejaran dengan menyusutnya ovarium di dalam tubuhku“, katanya suatu ketika. Kami, tentu saja, tidak menanggapinya.

Kami, bertujuh, sejak 24 Agustus 2014 mengawali pagi dengan memberikan pandangan, gagasan, igauan, gurauan, keseriusan, bahkan fatwa yang sekiranya berguna. Ukuran berguna yang kami maksud disini dibatasi setidaknya menurut ukuran masing-masing penulisnya sendiri. Maka, saat menulis postingan kali ini, kami telah menulis setiap hari untuk satu bulan pertama.

Setiap hari.

Tanpa jeda.

Ini kami lakukan bukan untuk menyaingi harian Jawa Pos. Sama sekali bukan. Kami hanya berupaya menjadi blog rame-rame yang paling teratas dan terunggul di negeri ini. Hanya itu. Indoprogress? lewat! Apalagi MidJournal. Kalau SeratKata? … *batuk*

+++

Puthut EA  menulis dengan baik dan dirangkum dalam bukunya yang berjudul Mengantar Dari Luar. Salah satu artikel yang disampaikannya bicara mengenai Agus Suwage, pelukis papan atas Indonesia. Bagi teman sepermainannya selama sekolah di De Britto akhir tahun 70-an, Agus Suwage tidak dikenal. Mereka lebih akrab memanggilnya Agus Kenthu. Entah apa sebabnya. Oh bukan. Kami sama sekali tidak sedang membicarakan soal kenthu-mengenthu. Apalagi yang khidmat. Karena kami percaya dan selalu percaya, perkenthuan hanya pantas untuk dipraktekkan dan tak perlu dibahas. Saat membaca artikel soal Agus Suwage tersebut, aku tertarik dengan pendapatnya soal lukisan hasil karyanya sendiri: “Lukisanku itu bukan semacam penisilin. Bukan karya seni untuk mengobati luka atau orang lain memperoleh manfaatnya. Tapi setidaknya dengan melukis, dapat menjadi semacam terapi buat diriku sendiri.”

Begitu juga dengan kami. Atau katakan saja, biar adil, aku. Menulis adalah terapi. Soal apakah bermanfaat bagi pembaca, itu urusan lain. Bahkan ketika Paramita Mohamad, ratu skeptis Indonesia yang wajahnya terkesan selalu murung, mengejek kami bahwa tulisan linimasa terlalu membawa pesan moral, gayanya semacam “chicken soup”, terlalu naif dan ketinggalan dari isu terkini, kami hanya bisa mengingat dan menerapkan aforisma latin: “Caper diem”. Orang yang lagi caper, maka sebaiknya respon yang ditampilkan adalah diem. Kecuali kita ingin meladeninya. Tapi tidak. Kami tidak berani membalasnya. Juga ketika Zen RS mengenalkan kami pada kata-kata yang termuat dalam KBBI seperti sangkil dan mangkus, juga mengajari kami perbedaan soal surat terbuka, petisi, atau laporan jurnalistik, kami hanya terdiam. Eh, ndak. Kecuali Fa (Farah Dompas). Dia susah menerima kenyataan ketika tulisannya yang mengusung topik surat terbuka dibilang oleh Zen jelek. Bahkan bukan hanya jelek, tapi ditambah dengan emotikon lidah menjulur.

jelek :p

Fa menangis berbulan-bulan karenanya.

Lalu, kenapa hati?

Banyak pembaca yang bertanya kepada kami dengan kata “hati” di ujung tagline kami. Ya. Hati. Serupa cinta yang tidak melulu soal hati tapi juga perlu nyali. Maenjadi masalahan ketika ‘nyali’ di ranah internet, apalagi media sosial sudah terlalu banyak bertebaran. Nyali kami terlalu ciut. Nyali diobral dan dipertontonkan di luar sana. Saling ejek, twitwar, saling gugat, caci maki, juga ada yang dengan sukarela memberikan belahan dada dan mulusnya paha dengan bungkus untuk dan atasnama lomba. Salah? Tidak! Masalahnya cuma satu: kami tak memiliki nyali. Kami hanya memberanikan diri menawarkan hati.

Jangan pernah pertanyakan soal hati kepada kami. Aku yakin hati Gandrasta adalah hati terbesar yang pernah dimiliki umat manusia sejak peristiwa Malari. Kenapa Malari? karena itu yang terlintas di benakku saat ini. Hati Gandrasta menaungi kami. Tapi kalau soal nyali, maka nyaliku adalah nyali paling sedikit diantara penulis yang lain. Bahkan untuk menampilkan nama sesuai akta kelahiranpun tak sanggup. Entah kenapa.

Hati sepertinya sesuatu yang paling penting harus diingat dan dikagumi. Kedalaman laut dapat diukur, tapi dalamnya hati siapa yang tahu. Perih-bahasa ini melekat erat di benak kami. Hati-hati, saat main hati, nanti bisa patah hati. Anak itu wajahnya seram, tapi hatinya baik. Lihat itu besan Presiden, namanya keren: Hati Rajasi. Oke, kali ini #ngok.

Tapi dengan serius dapat kami sampaikan, bahwa secara hati-hati linimasa hadir bukan untuk menjadi media. Kami berangkat dan akan berakhir sekadar blog. Berbagi, juga sebagai pemicu dalam berdiskusi. Ketawa-ketiwi.  Membicarakan isu terkini, Bicara perilaku banci ibukota, artis yang sedang naik daun, cinta platonis, kondisi politik negeri ini, juga soal “asmaragama”, sebuah teori fusi tentang asmara dan agama. Bahkan pernah kami terjebak dalam diskusi bagaimana sebaiknya mencukur rambut kemaluan yang baik dan benar. Kami, bertujuh, menjelma dari para pengisi kolom blog yang terus belajar menulis, menjadi penggosip nomor satu negeri ini. Sepanjang hari. Tanpa henti.

Bagi kami soal hati adalah soal duniawi yang begitu diharapkan mengantarkan kami ke alam surgawi. Eh, ralat. Bukan “kami” karena Gandrasta tidak. Hingga saat ini dia percaya bahwa hidup sebenarnya bukan saat ini. Kelak ketika saatnya dia mati, maka dia akan kembali kepada kesejatian dirinya di kehidupan lanjutan yang lebih hakiki: Sebagai Miss Universe. Kami, sebagai sahabatnya, percaya dan akan selalu percaya perkataannya, seperti rasa percaya kami bahwa SBY bisa galak di depan Bu Ani.

Dalam bukunya, Puthut EA mengutip begini: “Terlalu bersemangat…“, kata salah satu Panglima perang Amerika Selatan, “…bisa menjelma menjadi pembunuh utamamu“. Itulah kami. Menjaga agar semangat kami tak terlalu berkobar, berkibar, apalagi kabur. Semangat kami dijaga sebisa mungkin sedang-sedang saja. Tugas piket dengan tertib dijalankan. Pembagiannya cukup jelas, setiap penulis akan merilis tulisannya seminggu sekali. Lebih dari itu kami haramkan, kecuali mengisinya di blog pribadi atau kolom path milik sendiri. Jadual selonggar inipun rasanya tetap berat sekali. Kelemahan kami adalah soal disiplin diri. Karena sadar akan hal itu, maka jadual menulis diatur setiap minggu, mau-tidak mau harus dipenuhi. Demi apa? Untuk hal itu hingga saat ini menjadi pertanyaan besar bagi kami sendiri. Diam-diam selalu muncul dari pikiran masing-masing penulis. Untuk apa? Kemasyhuran? Uang? Atau sekadar memenuhi hasrat dan kegenitan intelektual semata?

Sepertinya tidak.

Kami adalah keluarga. Itu kesimpulan kami. Ketika pembaca linimasa ada yang memberi saran soal navigasi web, tampilan blog, ukuran font, dan kepraktisan saat membaca, kami anggap sebagai bahan masukkan yang berarti. Kami segera diskusikan. Lalu ditindaklanjuti? Belum tentu. Masih dipikir-pikir lagi. Kami menyukai tampilan blog saat ini, walaupun kelemahannya adalah belum tercantum jelas nama penulis di setiap postingan setiap harinya. Ndakpapa. Pelan-pelan. Toh akhirnya pembaca mengetahui sendiri siapa yang tugas jaga dan piket hari ini. Fa Jumat, Roy Sabtu, Glenn Minggu, Gandrasta Senin, Agun Selasa, Gono Rabu, dan Nauval di hari Kamis. Ketika postingan muncul di hari itu, berarti petugas jaga-lah yang menulisnya.

+++

Linimasa Quo Vadis.

Hingga saat ini aku dan teman-teman linimasa tak tahu mau berujung dan berakhir dengan gaya macam apa linimasa ini. Dijual kepada raja media-kah? Diisi dengan berbagai iklan yang bejibun mirip dengkul dan koreng yang datang silih berganti di laman detik.com, mati suri tanpa alasan yang jelas, atau diam-diam menjelma sebagai situs properti yang menawarkan harga perumahan, pemakaman dan info kos-kosan. Entahlah. Aku ndak tahu. Satu yang jelas: kami masih begitu menikmatinya. Apalagi jika anda, pembaca mau untuk mengisi kolom komentar, atau susah payah mention akun twitter salah satu akun penulis, atau dengan mengirimi kami puja-puji. Bohong jika kami tidak menikmati itu. Respon pembaca bagian dari semangat linimasa.

Tulisan ini sebetulnya sebuah contoh kecil kecurangan. Alasannya sederhana.  Karena tulisan kali ini tidak menampilkan topik apapun kecuali menceritakan diri sendiri. Apa boleh bikin. Catatan kecil ini aku tulis buat teman-teman para penulis linimasa yang setiap hari telah dengan sudi, (mungkin) agak berat hati, menampilkan pendapat, berbagi informasi dan opini. Ada saatnya untuk selfie. Bukan lewat gambar, tapi postingan. Semoga Fa, Glenn, Gandrasta, Agun, Gono, dan Nauval dapat memaklumi.  Aku cinta kalian.

Terima kasih. Terima kasih. Dan terima kasih.

oh ya satu lagi. HIDUP SCIENTOLOGY !!!

By:


20 tanggapan untuk “Karena Kita Butuh Lebih Banyak Hati”

  1. Senang bisa jadi penggemar kalian. Terutama Roy Sayur, boleh minta tandatangannya. Hehe

    Postingannya sangat menghibur, beneran. Itu piket penulis linimasa untuk nyenengin orang yang kian hari kian baperan ini, semoga dibalas kebaikannya oleh Tuhan. 😀

    Suka

    • Iyah. sebetulnya kita semua butuh hiburan. Makanya ada yang nulis dan ada yang baca. Soal tanda tangan, boleh ndak mikir-mikir dulu, soalnya jaman SD pas ditanya guru, aku jawab bercita-cita jadi Pahlawan Tanpa Tanda Tangan.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Aku tadinya baca link Linimasa dr teman di twitter eehh akhirnya kecanduan baca postingan klean semua. Terima kasih yaahh untuk semua penulis linimasa “peluk satu-satu” meski gak kenal di dunia nyata tapi dekat di hati.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Tulisannya simpel, bikin mudeng, dan jadi natural karena cintanya diselipkan disana sini.. 🙂
    Hebat euy linimasa.. saya betah baca dari judul sampai komentar padahal gak betahan
    hehe,..

    heartwarming.

    Suka

  4. Cuma disini aja yang judul artikel nya bisa pake nama alat kelamin digabung material konstruksi hahaha, sangat suka dengan tulisan tulisan disini, keep going linimasa 🙂

    Suka

  5. Aku menolak disebut hipster tanah Pasundan. Aku ini cuma pria yang sok ikut-ikutan perkembangan jaman. Biar anaknya terkesan Ismaya banget gitu.
    Btw, kenapa kalian tidak membahas skrotumku yang kian menggelembung?

    Suka

  6. Jadi terharu baca ini…
    tapi emang kalian nulisnya ‘beda’ sih… Jadi menyengkan buat dibaca sambil merenung ketika bangun pagi nongkrong di wc.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: