“And When Did You Last See Your Father?”
Kalimat di atas bukan ditulis dengan maksud bertanya langsung kepada Anda. Pertanyaan itu sebenarnya judul film Inggris tahun 2007 yang, sayangnya, tidak banyak ditonton orang.
Padahal ini salah satu film yang sangat baik dalam mengungkapkan rumitnya hubungan ayah dan anak, yang dimainkan dengan gemilang oleh Jim Broadbent dan Colin Firth.
Dan film ini adalah salah satu dari beberapa film di IMDB yang saya beri rating 10 dari 10. Daftar film dengan rating sempurna ini ternyata sebagian besar diisi oleh film-film tentang hubungan ayah dan anak. Itu yang sempurna. Yang nyaris sempurna dengan nilai 9 pun, ternyata jauh lebih banyak lagi.
Ketika menulis ini, ingatan pun melayang saat pertama kali melihat Catch Me If You Can di bioskop 11 tahun silam. Yang menggetarkan hati saat itu bukan Leonardo DiCaprio, tapi justru Christopher Walken yang berusaha meluruskan jalan anaknya, yang diperankan Leonardo, saat mereka bertemu di bar dan memeluknya erat-erat.
Lalu tanpa ada rasa paksaan, air mata tiba-tiba menetes waktu melihat Donny Damara dengan kostum waria di Lovely Man berusaha berdialog dengan anak perempuannya di jalanan Jakarta di malam hari.
Waktu nonton The Namesake di bioskop di suatu Selasa sore di luar negeri, ada rasa sesak di dada yang ingin membuat buru-buru pulang ke rumah dan memeluk ayah, meskipun dia tidak menamai saya dari pengarang favoritnya.

Kalau kita masih bisa membaca tulisan ini tanpa perlu bantuan Google Translate, berarti kita tahu, kalau sebagian besar dari kita lahir dan tumbuh di lingkungan yang kebanyakan tak bebas untuk mengungkapkan ekpresi cinta dan kasih sayang. Terutama di luar konteks romansa. Terlebih untuk hubungan orang tua dan anak. Apalagi seorang ayah, pria dengan status sebagai kepala keluarga.
Kita mencari pelarian ke bentuk lain yang kita bisa lihat. Lewat suara, tulisan, dan gambar, kita mendapatkan apa yang kita ingin sampaikan. Maklum, di film, semuanya jadi lebih ekspresif. What we cannot express in real life, books, movies and music will do the service.
Dalam kehidupan nyata, mungkin tidak ada ayah yang mengepalkan jari menahan tangis dengan raut muka penuh ekspresi seperti Dustin Hoffman dalam Kramer vs Kramer, atau menceritakan masa lalunya dengan kehadiran visual fantasi seperti Albert Finney ke Billy Crudup di Big Fish.
Toh kita masih bisa menempatkan diri kita berempati ke cerita dan karakter di film-film itu, yang akhirnya berujung dengan ucapan ke diri sendiri, “That is so … me.”

Ayah yang hadir di layar lebar, yang kita lihat dalam kegelapan selama sekitar 2 jam, sebenarnya adalah proyeksi dari keinginan kita terhadap ayah kita sendiri. Atau mungkin, sosok ideal seorang ayah yang kita harapkan.
Siapa yang tidak mau punya ayah seperti Liam Neeson yang menonton “Titanic” dengan anaknya yang lagi jatuh cinta di Love, Actually? Atau ayah seperti Tom Hanks yang tampil bak cerita detektif yang kita baca waktu kecil di Road to Perdition?
Tentu saja kita mau kalau fantasi itu jadi nyata … meskipun kenyataannya, kita akhirnya jatuh hati dengan penggambaran sosok yang paling mirip di kehidupan nyata.
Saya tertegun melihat almarhum komedian Mamiek Prakoso di film King. Karakter ayah yang diperankannya begitu dekat dengan sebagian besar sosok ayah yang membesarkan kita: keras, cenderung “ngeyel”, susah menerima perubahan, namun dalam diamnya, dia bangga dengan pencapaian anaknya.
Tanpa kata yang berlebih, dia berusaha menerima apa yang anaknya mau tuju dalam bermain bulu tangkis, meskipun berbeda dengan apa yang dia rencanakan ke depan. Tatapannya datar. Sepanjang film, karakternya nyaris tidak berubah. Kekerasan hati masih tersirat di mukanya, dari awal sampai akhir.
Tinggalkan Balasan ke fadompas Batalkan balasan