Cerita Manis Yang Dibisikkan Ke Telinga Kita

Salah satu aktivitas yang saya sering lihat di film dan televisi yang tidak pernah terjadi pada diri saya adalah mendengarkan dongeng sebelum tidur. Kita sering melihat di berbagai tayangan, orang tua membacakan buku untuk anaknya sebagai dongeng sebelum tidur. Biasanya si anak akan ikut melihat apa yang sedang dibacakan, kalau si anak belum bisa membaca. Lalu orang tua akan duduk di kasur, mendekat ke si anak. Atau bisa juga orang tuanya duduk di kursi yang dekat dengan posisi kasur. 

Yang saya lihat, orang tua membaca buku cerita ini dengan nada datar, selayaknya orang membaca. Bukan mendramatisir, atau menciptakan interpretasi mereka-reka adegan yang mereka baca. Kalau sampai act out, malah si anak biasanya akan sangat excited, sehingga tidak bisa tidur. Sementara tujuan orang tua membacakan buku cerita untuk anak adalah supaya si anak segera lekas tidur.

Mungkin karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh orang tua saya sampai menjadi kebiasaan, maka waktu kecil pun saya tidak pernah meminta mereka untuk melakukannya. Kalau ada adegan tersebut di tayangan film atau televisi yang sedang saya tonton, saya pun tidak bereaksi apa-apa. Cukup menganggap itu sebagai kebiasaan orang lain yang kebetulan saja saya tidak pernah menerima dan melakukannya.

And that is absolutely fine. Apalagi melihat kenyataan bahwa orang tua saya sangat bermurah hati menyediakan buku bacaan yang bisa dibaca anak-anaknya, dari berbagai ragam jenis cerita. Masa kecil saya pun diisi dengan karya-karya Enid Blyton, seperti Lima Sekawan, serial Malory Towers, lalu petualangan detektif STOP, Trio Detektif, komik Donal Bebek, Tintin, Lucky Luke, buku-buku cerita agama (yang cenderung memberi pengalaman traumatis), sampai majalah seperti Reader’s Digest dan Intisari. Belum lagi surat kabar dan beberapa majalah seperti Bobo yang sempat kami beli secara rutin, beberapa diantaranya sampai langganan. Kalau diingat-ingat, kegiatan utama saya waktu kecil sepulang sekolah pasti dihabiskan dengan membaca buku cerita. Terutama kalau tidak ada les tambahan atau kegiatan ekstra kurikuler.

Berhubung dari kecil sudah terbiasa untuk membaca, dan bukan dibacakan, maka saya sempat merasa asing dengan konsep audiobook (buku bersuara?) yang ternyata sangat populer selama ini. Ditambah lagi saya bukan pengendara kendaraan bermotor pribadi, terutama mobil, sehingga saya merasa tidak perlu “kehadiran” orang lain dalam bentuk suara yang menemani. Kalaupun saya bepergian dengan kendaraan umum, saya lebih suka membaca buku di aplikasi Kindle atau PlayBooks di ponsel yang sedang saya pegang. Atau mendengarkan musik.

Sampai akhirnya tadi sore, saya “pecah telor” pengalaman mendengarkan audiobook. Bisa dibilang, some decades too late? Maybe. 

(source: openculture.com)

Selama masa karantina ini, hampir setiap sore saya jogging di sekitar kompleks tempat tinggal. Biasanya saya menghabiskan satu album atau playlist, tergantung seberapa banyak isi playlist, dalam beberapa putaran. Berhubung ingin mencoba sesuatu yang baru, akhirnya saya memberanikan diri mendengarkan audiobook untuk sesi jogging yang lebih banyak power walk kali ini.

Saya memilih buku “Dear Girls” karya komedian Ali Wong, yang dia bacakan sendiri. Pilihan yang acak, tidak ada preferensi tertentu, kecuali memang saat ini saya sedang dalam berada fase membaca buku-buku non fiksi. 

Di audiobook “Dear Girls” ini, tidak ada intonasi meledak-ledak seperti gaya Ali Wong saat di atas panggung. Kita benar-benar sedang mendengar Ali membacakan cerita hidupnya, bukan menceritakan seperti dia sedang berada di depan kita. That’s nice, pikir saya dalam beberapa menit pertama.

Toh karena belum terbiasa, niat saya untuk menghabiskan paling tidak sekitar seperempat buku, terhenti di bab 7. Kurang lebih sekitar 15 menit. Ternyata saya belum terbiasa mendengar orang bercerita secara konstan dalam jarak yang sangat dekat, lewat earphone, yang menemani saya sambil beraktivitas. Saya sempat tersenyum mendengar beberapa ceritanya. Di saat itu juga saya berpikir, mungkin kalau membaca secara langsung, saya akan tertawa.

(source: edarabia.com)

Dan itulah perbedaan yang belum bisa saya jembatani. Membaca buku berarti mengajak kita berimajinasi lewat deretan kata dan kalimat yang tersusun. Saat membaca buku, kita berimajinasi membayangkan skenario yang kita baca saat itu. Ini terjadi baik di buku fiksi maupun non-fiksi. Good writing lets you imagine freely. Saya yakin kalau membaca buku “Dear Girls” ini pun akan menyenangkan, apalagi melihat banyaknya ulasan positif yang diterima Ali Wong untuk karyanya ini. 

Namun sepertinya godaan untuk membeli versi elektronik buku “Dear Girls” ini harus saya tunda dulu. Saya masih ingin mencoba lagi pengalaman mendengar dongeng yang diceritakan ini, sembari saya berlari-lari kecil di sore hari. Kalau ternyata memang nantinya lebih nyaman mendengarkan musik, paling tidak sudah sempat mencoba.

Ada audiobooks yang teman-teman rekomendasikan?

(sources: voices.com)

Satu respons untuk “Cerita Manis Yang Dibisikkan Ke Telinga Kita

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s