Semalam saat saya bersih-bersih rak buku di atas meja kerja, saya menemukan sebuah buku cukup tebal. Sudah lama saya tidak membuka buku ini. Setelah saya bersihkan dan saya buka, ternyata buku ini adalah (another) attempt to make daily journal. Buku ini merupakan usaha saya terakhir untuk membuat jurnal harian lima tahun yang lalu.
Saat baru membuka di halaman-halaman pertama, saya sadar, bahwa saya mempunyai rekam jejak yang cukup buruk dalam merekam catatan kejadian harian. Apa mungkin karena kita tidak dibiasakan untuk menulis catatan harian, ya?
Saya ingat, dulu waktu kecil, teman-teman sekolah kita suka mengejek kalau ada yang membawa diary ke sekolah. Kurang lebih ejekannya seperti, “Cieee, yang diam-diam naksir! Ketauan tuh di tulisan di diary!”
Padahal tulisan di buku harian tidak melulu soal taksir-menaksir teman. Membawa buku harian ke sekolah pun bukan berarti untuk bebas dibaca orang lain, meskipun ini preferensi yang memiliki buku tersebut, dan saya pribadi juga tidak membawa buku yang sifatnya sangat pribadi ke tempat umum. Belum lagi kalau ada ungkapan seksis kalau biasanya yang menulis buku harian itu perempuan, atau yang punya sifat feminin.
Apa benar? Dan apa yang salah dengan having in touch with our feminine side, regardless of gender?

Sementara saya suka takjub sendiri kalau melihat film, baik fiksi maupun dokumenter, yang menampilkan karakter dengan akses personal record yang bagus. Biasanya karakter ini punya rak dengan banyak buku yang ditampilkan, dan ada bagian rak buku tersebut yang berisi jurnal harian karakter ini. Bisa dipilah berdasarkan bulan, atau tahun. Lalu ketika karakter ini ditanya tentang apa yang dia lakukan pada bulan dan tahun tertentu, misalnya Februari 1973, maka dia tinggal membuka catatan harian dari arsip diary yang dia punya di bulan tersebut.
Saya suka menduga-duga bahwa ini memang masalah kebiasaan. Kalau kita dibiasakan dari kecil untuk selalu mencatat apa yang kita lakukan, lihat, dan yang paling penting, rasakan, maka dengan mudah kita akan melakukan kebiasaan ini berulang-ulang di kemudian hari, terutama saat kita beranjak dewasa.
Waktu kecil, saya pernah punya buku harian dengan sampul gambar karakter Mickey Mouse dalam berbagai pose dan warna. Buku harian yang harusnya jadi tulisan catatan rekam jejak kegiatan dan perasaan saya, malah saya jadikan media untuk teman-teman sekelas menulis nama dan cita-cita serta kata-kata mutiara dari mereka.
Another attempt to make daily journal terjadi waktu remaja, terlebih saat mulai tinggal sendiri, dan jauh dari orang tua. Lagi-lagi percobaan ini tidak berlanjut lama, karena saya lebih tertarik menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, yang tak jarang membuat saya lelah dan langsung tidur sampai di kamar kost. Namun saya mulai rajin mengumpulkan tiket bioskop, sambil mencatat film apa yang saya tonton. Meskipun begitu, kegiatan ini sempat terhenti saat saya kuliah.
Berhubung saya kuliah di tempat yang, lagi-lagi jauh dari orang tua, kegiatan menulis catatan harian ini sempat berlangsung sebentar, sebelum kegiatan perkuliahan dan part-time job lebih banyak menyita waktu.
Lalu, tentu saja, revolusi media sosial hadir. Semakin asyik kita untuk lebih menghabiskan waktu di berbagai akun media sosial, paling tidak dalam satu dekade terakhir. Beberapa orang memilih untuk menjadikan media sosial sebagai catatan harian mereka, di mana mereka mengunggah aktivitas harian, personal notes, yang sewaktu-waktu bisa dilihat lagi dengan bantuan aplikasi lain.

Sempat terpikir untuk melakukan hal ini. Namun jiwa introvert saya selalu menghalangi, sehingga akhirnya kembali lagi ke proses manual mencatat rekam jejak harian dengan tulisan tangan.
Di usaha terakhir saya lima tahun lalu, kegiatan mencatat ini sempat berjalan dua setengah bulan. Setelah lewat tiga minggu dan sebulan pertama, saya senang. Sempat berpikir, sudah lewat masa krusial tiga minggu, masa penting yang banyak orang bilang perlu kita tempuh untuk menjadikan rutinitas baru sebagai suatu kebiasaan. Eh, ternyata setelah dua setengah bulan, terhenti juga. Kegiatan ini berhenti persis saat aktivitas pekerjaan saya lagi sibuk-sibuknya. Setelah selesai kesibukan, entah kenapa kegiatan menulis catatan harian ini terhenti.
Sementara itu, saya masih terus mendata film dan serial televisi yang ditonton dan buku yang selesai dibaca. Berhubung sifatnya pencatatan data saja, yaitu nonton film apa, di mana, tanggal berapa, sama siapa kalau ada temannya, maka bisa dilakukan dengan cepat, tanpa harus menganalisa. Kegiatan ini sudah rutin saya lakukan bertahun-tahun.
Sampai akhirnya pandemi ini mengharuskan kita semua berdiam diri di rumah. Di antara ratusan pesan yang masuk di berbagai WhatsApp groups, seorang teman membagikan video di bawah ini:
Sempat tertegun melihat video ini. Pertama, tentu saja karena tutur katanya yang baik dan jelas. Kedua, di bagian terakhir tip ke-5, ada pesan untuk menulis tiga hal yang membuat kita bersyukur setiap hari. Write down three things you’re grateful of everyday. Bagian ini yang paling menarik buat saya, karena mau tidak mau ini akan membuat kita untuk menghadapi hari-hari kita dengan cara yang berbeda.
Consider it as a challenge, maka saya mulai menulis sejak pertengahan bulan Maret lalu, tiga hal di setiap hari yang membuat saya bersyukur. Saat itu, saya menulis:
• starting the day with watching this lovely British film
• it is possible to jog around the apartment in the morning
• had lemon latte from Starbucks.
Maaf, berhubung tulisan tangan saya luar biasa jeleknya, maka saya tidak share screenshot buku catatan itu di sini 🙂
Lalu saya lanjutkan lagi keesokan harinya. Sempat bingung juga, memilih apa yang harus ditulis, karena terbatas hanya pada tiga hal. Akhirnya saya tulis saja tiga hal pertama yang melintas di kepala.
Ada kalanya juga saya bingung harus menulis apa. Saya pun pernah menulis “grateful I’m still alive, still here“.
Sudah satu setengah bulan saya melakukan ini. Masih work in progress, karena saya berharap masih bisa melakukan ini secara rutin, kalau bisa bahkan sampai akhir hayat. Kalau pun ternyata tidak bisa atau terhenti lagi, paling tidak dalam beberapa waktu terakhir punya rekam jejak catatan yang bisa dilihat lagi, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi untuk memulai lagi. Buat orang yang sangat takut menjadi pelupa di kala tua, saya sangat bergantung dengan catatan apa saja yang pernah saya lakukan di masa lalu. Hitung-hitung jadi alat ingat.
Menulis catatan harian berarti kita punya something to look forward to at the end of the day. Ada sesuatu yang bisa dinantikan untuk dilakukan di saat kita mengakhiri hari. Paling tidak itu yang saya rasakan selama beberapa minggu terakhir.
Semoga anda juga merasakan yang sama.

Satu respons untuk “Track Record”