Menata Hunian

Memutuskan untuk tinggal di tempat sendiri sejak akhir tahun kemarin, ada perasaan excited sekaligus lega jadi satu.

Excited, karena akan memulai sesuatu yang baru, dan benar-benar dilakukan oleh diri sendiri. Mengisi ruangan-ruangan dengan sebagaimana mestinya meskipun hanya bisa satu demi satu, menatanya sedemikian rupa, dan memastikan agar semua terasa cukup nyaman dan menyenangkan.

Lega, karena sesuatu yang baru tadi dimulai dari ruangan-ruangan kosong. Tidak ada perabotan lama, tidak perlu ada pemilahan mana yang akan dipertahankan dan mesti dibuang. Ini berarti lebih hemat waktu, tenaga, dan pikiran. Walaupun konsekuensinya, ada kemungkinan besar untuk mengeluarkan lebih banyak uang jika ingin menambah ini dan itu.

Kemudian, cukup terkejut ketika pertama kali terpapar dengan teknik berbenah KonMari (akronim dari Marie Kondo, nama si empunya ilmu), yang booming dan termasyhur di dunia belakangan ini. Sebab alih-alih dianggap kemampuan berdasarkan pengalaman dan perspektif personal, aktivitas beberes di rumah ternyata punya “perguruannya” sendiri. Dikursuskan, dikonsultasikan, bahkan dikampanyekan sebagai gaya hidup kekinian. Lagi-lagi, sebagai seseorang yang baru pindah tempat tinggal dan mengurus sendiri, maka tidak ada salahnya untuk mencoba menjalankan beberapa kiat berbenah ala KonMari.

Marie Kondo. Foto: Daily Republic

Setelah selesai membaca bukunya, bisa disimpulkan bahwa Marie Kondo tidak kenal atau malah memerangi konsep “mubazir”. Kiat paling mendasar yang memenuhi hampir separuh bukunya adalah membuang barang. Namun, hal ini wajar. Lantaran kondisi yang dihadapi Marie Kondo adalah rumah dan apartemen yang sudah telanjur penuh, sudah ditinggali cukup lama, sehingga barang-barang yang ada di dalamnya pun sudah berlimpah ruah. Efeknya masuk akal. Banyak yang dibuang, ruangan pun menjadi lapang. Dibuang, bukan sekadar dipindahkan.

Dalam salah satu bagian di bukunya, Marie Kondo menyatakan bahwa teknik beberesnya sangat cocok bagi orang-orang yang tinggal di Jepang dan Amerika Serikat (serta di berbagai negara maju lainnya). Alasannya, warga kelas menengah dan ke atas di negara-negara tersebut memiliki kemampuan dan dorongan berbelanja yang cenderung tinggi, serta sangat mudah untuk menjadi penimbun barang. Masuk akal.

Apabila dirasa-rasa, tampaknya ada beberapa poin yang bisa ditambahkan sebelum kiat-kiat Marie Kondo dipraktikkan. Tentu saja berangkat dari perspektif seseorang yang baru akan mengisi dan menata huniannya.

  1. Beli Barang yang Benar-benar Dibutuhkan

Secara ekonomis, langkah ini diperlukan untuk menghemat pengeluaran. Berhitung dengan cermat untuk memaksimalkan anggaran, agar tidak terkesan percuma. Yang diperlukan adalah kecermatan, bukan sifat pelit berlebihan. Toh ini membeli, bukan meminta, mencuri, apalagi mengambil barang bekas.

Demi kerapian, langkah ini diperlukan untuk meminimalisasi potensi kesemrawutan yang bisa terjadi. Merencanakan penataan secara menyeluruh, membayangkan big picture-nya, agar efektif dan efisien. Agar ujung-ujungnya, merujuk pada kiat utama KonMari …

  1. Jika Tidak Punya Banyak Barang, Apa yang Mau Dibuang?

That’s it! Mengatasi problem kesumpekan bahkan jauh sebelum masalahnya muncul. Ya … meskipun fase ini juga tetap berpotensi memunculkan ketidaknyamanan, sesuai preferensi setiap individu sih. Ada yang betah-betah saja dengan ruangan lapang dan terlihat kosong, tetapi ada pula yang lebih suka keramaian harta benda. Sebagai pertanda kekayaan, kemakmuran, kesejahteraan, dan situasi serbaada. Padahal, punya duit banyak bukan berarti harus dibelanjakan semuanya, kan?

Bagi yang masih tinggal sendirian, setidaknya bisa bebas menentukan pilihan. Lain cerita apabila tinggal bareng pasangan dengan selera berbeda. Akan ada diskusi, negosiasi, dan kesepakatan mengenai hal ini. Kepemilikan barang tak lagi perseorangan, melainkan bersama. Asalkan keduanya bisa …

  1. Konsisten

Lebih kepada konsistensi untuk menjaga kerapian, dan memerhatikan sekeliling. Setuju banget dengan Marie Kondo; serapi apa pun rencana penataan dijalankan, tetap akan berantakan tanpa disiplin. Mending kalau masih tinggal sendiri, kesalahan maupun dampaknya berasal dan dirasakan oleh diri sendiri. Mengomel pun kepada diri sendiri. Setelah tinggal bersama, bakal muncul kesalahan dan aksi lempar-lemparan. Dampak dari ketidakrapian pun bisa dirasakan orang lain.

Hal ini sebenarnya tidak gawat-gawat amat. Bagi pasangan muda, atau pasangan yang terbiasa selalu mesra, urusan begini bisa tetap berujung manis dan bukan “perang dunia”, entah bagaimana pun caranya. Hanya saja, akan jauh lebih baik bila konsistensi untuk rapi bisa menjadi kebiasaan. Diturunkan, dan diajarkan kepada generasi penerus maupun sesama. Membangun dan berbagi kebaikan. Adab, begitu orang dulu menyebutnya.

Cobain, aja.

Photo by Bench Accounting

Doanya, mudah-mudahan bisa segera punya hunian pribadi, ya … dan buat yang sedang dalam proses, semoga selalu dilancarkan.

[]

4 respons untuk ‘Menata Hunian

  1. Sudah beberapa bulan menerapkan sistem ini dan voila…berasa ada yang kontrol ketika lagi dikerubutin sale di mall. Ketika mau beli sesuatu pasti langsung mikir: a) kayaknya udah punya deh barang serupa; b) huft…no more space to keep. Efek baiknya sampai bisa mengurangi kebocoran finansial sana sini 🙂

    Suka

    1. Selamat! Sudah berhasil mengendalikan diri. Biar kata dianggap pelit dan perhitungan, tetapi ya memang pada dasarnya semua harus diperhitungkan. Daripada kesesakan di tempat sendiri. Hehe.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s