Hadiah Terbaik Sepanjang Masa Buat Hidup Kita Sendiri

Beberapa tahun yang lalu, waktu saya masih kuliah, sempat saya terjerembab. Nyaris terancam tidak bisa menjadi sarjana. Penyebabnya? Ada satu masa kuliah yang tidak lulus. Sampai sekarang saya masih bergidik membayangkan kesulitan tingkat tinggi si mata kuliah ini.

Sialnya, mata kuliah ini hanya bisa saya ambil di semester ganjil. Tidak bisa diambil di semester genap. Artinya, setelah semester genap terakhir selesai, saya harus menambah satu semester lagi sebelum bisa dinyatakan lulus kuliah dan menyandang predikat “sarjana”.

Tidak masalah kalau saya kuliah dengan biaya sendiri. Namun dengan tingkat inflasi dan nilai tukar mata uang asing kapanpun, rasanya tidak mungkin saya membiayai kuliah sendiri. Waktu itu kebetulan saya mendapat beasiswa penuh. Tentu saja salah satu syarat agar beasiswa ini diteruskan adalah lulus tepat waktu.

Masa awal semester genap itu, yang harusnya jadi semester terakhir, saya habiskan dengan feeling stressed out. Resah, gelisah, sampai kadang-kadang saya menyandarkan kepala di bis sambil menangis. Yes, it is true.

(source: educatedmindswebinars.com)

Berhubung tidak tahan lagi, akhirnya saya telepon orang tua. Sudah tidak peduli lagi jam berapa, dan panggilan internasional pula. Saya ceritakan duduk permasalahan perkuliahan ini dari awal sampai akhir. Waktu itu ayah saya yang menerima panggilan telepon saya. Dia cuma mendengarkan dari awal sampai akhir. Lalu dia cuma berkata kalau nanti dia akan menelepon saya kembali.

Tidak lama kemudian, masuk panggilan telepon dari rumah. Sempat saya menawarkan diri agar menelpon kembali, karena biayanya lebih murah, namun hal ini langsung ditepis. Ayah saya cuma berkata, “Kamu harus lulus. Kamu harus menyelesaikan kuliah. Berapapun biayanya, kamu harus selesai. Kalau nanti beasiswa dicabut, kita cari jalan, kalau perlu jual rumah juga gak papa. Kamu cuma perlu mikir kuliahmu sekarang, sampai lulus.”

Saya terdiam. Lalu tak lama, pembicaraan itu berakhir. Saya menghela nafas panjang. Sambil mengatur jadwal perkuliahan dan tutorial untuk semester itu, saya menulis email panjang kepada yayasan pemberi beasiswa tentang status perkuliahan. Email itu diakhiri dengan permintaan perpanjangan beasiswa sampai satu semester tambahan. Saya cuma bisa pasrah setelah klik tombol send.

Keesokan harinya, saya ditelpon dari petugas yayasan. Tentu saja saya diinterogasi habis-habisan. Lagi-lagi, dalam hati, saya cuma bisa mengutuki kecerobohan diri sendiri untuk tidak belajar lebih giat waktu dulu. Lalu telpon ditutup.

Kurang dari seminggu kemudian, email saya dijawab. Permintaan perpanjangan kuliah saya dikabulkan. Saya kaget. Saya membelalakkan mata membaca email tersebut. Buru-buru saya pergi mengurus administrasi ke kantor kampus, untuk memastikan perpanjangan ini. Setelah urusan administrasi selesai, saya menelpon ke rumah, menyampaikan kabar ini.

Dan yang terjadi memang aneh: dua semester terakhir saya, yaitu semester genap yang harusnya jadi semester terakhir, serta semester tambahan berikutnya, adalah dua semester terbaik dari segi nilai akademis. Selain waktu itu lebih bebas memilih mata kuliah, mungkin perasaan harus menanggung sendiri beban kuliah sudah tidak ada lagi. Akhirnya, meskipun tidak bisa bergabung dengan teman-teman sekelas lain waktu wisuda karena saya molor, saya pun bisa menyelesaikan kuliah, dan mempunyai sertifikat kelulusan.

(source: benefits.va.gov)

Kejadian tersebut rasanya tidak mungkin saya lupakan sampai kapanpun. Kenapa? Karena saat itu saya mendengar sendiri perkataan langsung dari ayah saya yang selalu dia tanamkan sedari saya kecil dulu.
Dia selalu bilang,

“Education lasts. Money does not. Educated mind makes us and survives us. Wealth does not.”

Pendidikan selalu jauh lebih penting dari uang, karena pendidikan tidak akan pernah habis, sementara uang pasti akan pernah habis.

Pendidikan saya tidak tinggi. Masih sampai setingkat strata 1 saja. Kalau kebetulan pernah mengecap pendidikan di tempat yang baik, itu karena mendapat beasiswa. Dan dari bentukan pendidikan dari kecil sampai sekarang, saya termasuk sebagian orang yang memerlukan institusi atau lembaga pendidikan untuk belajar dan teredukasi.

Ada orang-orang yang cukup beruntung, hanya dengan membaca secara otodidak serta belajar dari pengamatan kehidupan bisa memperkaya diri sendiri. Saya salut dengan mereka.
Namun bagi saya, dan mungkin sebagian dari Anda, keberadaan sekolah atau lembaga pendidikan sangat perlu untuk mengasah pikiran.
Dari sekolah atau lembaga pendidikan, yang baik tentu saja, saya belajar banyak. Bukan melulu tentang mata pelajaran atau mata kuliah yang ditempuh, tapi lebih dari itu.

Saya belajar bersosialisasi, karena mencari teman untuk tugas kelompok, terlebih jika kita bukan dari kelompok mayoritas, atau penduduk asli negara tempat sekolah kita berada, itu tidak mudah. Perlu kemampuan menjual diri, meyakinkan ke orang lain kalau kita worthy being a good partner, dan bernegosiasi.

Lalu saya juga perlu mendengar feedback guru, teman sekelas, atau orang lain terhadap paper yang saya kerjakan, atau PR yang dilakukan. Hal yang mustahil diterima kalau belajar sendiri.

(source: flizzindia.com)

Sekolah juga membuat saya terstruktur dalam mengemukakan pikiran, mengejawantahkan ide, dan menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Sesuatu yang sepertinya trivial, tapi siapa sangka bahwa 75% isi pekerjaan kita adalah berkomunikasi dalam bahasa tulisan, baik itu menulis email, atau teks dalam messaging apps?

Dan yang pasti, sekolah yang baik adalah yang mempunyai perpustakaan yang besar dan baik koleksinya, sehingga referensi pustaka mudah dilakukan. Membaca buku referensi dalam waktu singkat juga memerlukan keahlian khusus. Teknik skimming-and-scanning selalu kita perlukan saat kita harus menelaah dokumen-dokumen pekerjaan yang berjibun.

Tentu saja, yang tidak bisa kita elakkan, adalah sekolah tempat kita mulai mengembangkan network dan networking kita. Di level apapun, di umur berapapun.

Education and getting ourselves educated properly is always a good investment. Hasil investasi yang tidak kasat mata, tapi hanya kita dan orang lain yang akan rasakan lewat ucapan, tulisan dan tindak-tanduk kita.

It does take time to be educated. Take the time. Anytime.

Because education makes us live our life.

69 respons untuk ‘Hadiah Terbaik Sepanjang Masa Buat Hidup Kita Sendiri

  1. In time when I have been thinking of pursuing a higher education not for the sake of a higher degree but for the sake of my thirsty brain.
    Education is addictive. Yes. And, I surrender myself into it.
    A writing well written. Thumbs up!

    Suka

    1. Congrats! Thinking about it is already a big step. So, carry on with the plan. Any chance to get a better education and immerse ourselves in it is an opportunity we shall not miss.

      Suka

  2. Membaca ini sambil menunggu horfun kepiting setelah hari yang panjang dan ditolak dua restoran karena mereka mau tutup.

    Rasanya adem. Aku suka tulisanmu. Karena cara bertuturnya, juga pesan-pesan di dalamnya.

    Salam buat Ayah. Ga cuma bimbing anak jadi cerdas, tapi juga berkarakter.

    #CerdasBerkarakter

    Suka

    1. Life happens. By life, it also includes influences, circumstances and other events that happen once we leave the shelter shell of school. And those events will influence people’s way of thinking, often differ greatly from what was once being taught in school.

      Disukai oleh 1 orang

      1. I was about to ask the same question.
        I think you are so lucky to have the opportunity to study in a good educational institution. Because I think the educational institution where we studied played a big role in shaping our perspective. Plus, the parents, obviously they are very influential in shaping perspective of their children.
        By the way, reading this article inspires me to learn foreign languages although I still dont know what is the ability to speak foreign languages for. LOL

        Suka

        1. Thank you. Although, I still believe that it’s all about how you make use of whatever situation you are in. There are students who are lucky enough to study in good institutions, like what you said, yet they take all the facilities, the networks, for granted. On the contrary, there are people who rise above the quality of institutions they were once in.
          Oh, learning foreign languages is always a good investment. You will never know where your life may end up in. Or the people you are with.

          Suka

  3. In my opinion, educational institution is very addictive, once you’ve reached a certain high, you will crave for more… While the funding is limited…

    Suka

      1. Yes and no… The structured challanges​ (i.e. researches, poster and presentations, as well the teaching responsibilities) and the diplomas are the main ingredients for addiction…

        Suka

        1. Ah, the diplomas. The sweet reward of all the hardwork, the much glorified bookend that opens doors of many opportunities ahead, the happy ending of all happy endings.

          Suka

                1. Mine was simple, too. We had it in a university hall (with aircon, so yay!), but without any unnecessary ceremonial events, like singing or long speeches. I remember it was also being broadcasted live on the campus website, before smartphone was invented, let alone live streaming.

                  Disukai oleh 1 orang

                    1. Rituals often make us having something to look forward to. Just anticipating rituals and our involvement in them enable us to break free from mundane routine of our daily lives.

                      Suka

                    2. Hmmm. I don’t know what came over me, as my mind wandered to ceremonial activities when I typed the word “rituals”. But since you mentioned it, well … Rituals are routines? Hmmm. Yeah.

                      Suka

                    3. As the Javanese says unggah ungguh, tata krama, siri’ na pacce, or whatever words… Maybe or maybe what’s in your mind is not in congruence with mine

                      Suka

                    4. What can Javanese interpret with that, you have: gemrobyos, jemelembreh, kriyepkriyep, wijikwijik, and so many more words with​ loose interpretation… So let’s interpret it loosely

                      Suka

                    5. The more you move toward eastern part the more you get loosely interpreted terms… As Kediri and Madiun don’t really use those terms

                      Suka

    1. seperti komen om Dragono Halim di Kadang-Kadang Kita Enggan, Tapi Suka Teringat…

      Kalian kenapa ga jadian aja sih? You guys seem fit each other. 🙂

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s