oleh: Arif Utama
“Apa ini yang benar-benar kamu mau?” Matanya sembab, pipinya basah, dan ia sesekali mengulum air asin dari matanya yang tak henti-hentinya mengalir. Ia tak ingin terlihat lemah, namun semakin kuat ia mencoba, makin ia tampak lemah. Setelah tanya itu meluncur dari mulutnya, ia memelukku dengan erat. Lalu menangis dan memeluk sama kencangnya. Ia mungkin marah, mungkin pula kecewa, namun aku merasakan betul bahwa ia berusaha keras untuk merelakan. Ia percaya inginku untuk berpisah ada baiknya dituruti sebelum semuanya menjadi tak baik. Batinku, di malam yang dingin itu, menjadi dingin. Aku menjadi sepenuhnya sadar betapa kejamnya hal yang aku lakukan ini, dan ia akan terus hidup dalam benakku.
Aku di hari itu memahami betapa kejam betul kenangan bekerja. Aku memutuskan untuk berpisah. Ia gadis berambut pendek dengan senyum yang hangat. Dan aku bisa merasakan kehangatannya saat kami mencuri ciuman di tempat umum. Juga soal sweater abu-abu yang menghilangkan rasa sendu. Dan sikapnya yang sedikit pemalu namun membuatnya terlihat lucu. Aku akan merindukan itu semua. Dan tentu saja, setelah memelukku, aku juga menjadi sedih karena harus berpisah. Cerita ini kemudian menjadi cerita favoritku, dan cukup membuat perdebatan dengan perempuan yang pernah menaruh rasa kepadaku setiap kali aku menceritakan betapa menggemaskannya hubungan kami dan bagaimana kita berpisah.
Aku mengambil keputusan itu dengan penuh banyak penyayangan. Teman-temanku berkata mengapa aku kemudian menyudahi apa yang telah aku ingini sejak lama. Ya, aku memang telah lama mengaguminya dari jauh. Aku senang memerhatikannya, dan kebiasaan ini tak berhenti bahkan hingga kami berpacaran. Aku masih ingat badanku mendadak dingin, mulutku gemetaran, kepalaku penuh dengan perandaian saat bertemu dengannya. Butuh berapa kali hai sebelum aku betul-betul bisa membuka obrolan dengannya. Pun saat kami jadian, aku benar-benar senang kita punya banyak kesamaan. Ia suka membaca buku-buku Dewi Lestari dan begitupula aku. Ia suka gambar, dan aku juga. Ia sepertiku, pernah mengalami kenakalan-kenakalan masa kanak-kanak sebelum menjadi orang dewasa yang penakut. Aku pelan-pelan tambah mengaguminya, dan aku rasa dia pula serupa.
Tapi perpisahan itu harus aku putuskan. Segala kalimat harus ada titik, dan hubungan yang terlampau bahagia adalah teks yang cukup membuat pembaca sesak nafas. Titik itu tak pernah aku dapatkan dalam hubunganku yang terlampau manis itu. Aku terus mendapatkan puja-puji bahwa kami serasi. Dan kami benar-benar tak pernah sekalipun ribut. Kami sangat cocok sehingga tidak ada lagi yang kami rasa harus diributkan. Hal yang membuat tiap pasangan di muka bumi mungkin iri pada kami. Kami saling menerima, hingga saat di mana aku memutuskan aku perlu titik dalam hubunganku. Aku jengah dan pelan-pelan menyadari aku membutuhkan titik untuk jeda dalam hubungaku.
Namun mengambil keputusan dengan kepala memang tak selalu mudah. Berkah dan sekaligus bencana, kita seringkali berhadapan dengan manusia – makhluk dengan akal dan budi. Jasmani dan Nurani. Hati dan Pikir. Keputusanku untuk berpisah itu, setelah ia mendekapku dengan sepenuh nyawanya, akan kusadari tak hanya menjadi titik yang membuatku bernafas sejenak. Namun menyudahi segalanya. Menjadi akhir bagi kisah yang manis. Ia takkan bisa lagi dilanjutkan. Atau mungkin saja bisa, dengan alur yang sedikit dipaksakan. Buku itu akan terus terbuka dan membujukku untuk membacanya kembali. Memaksaku untuk menyesali apa yang telah kulakui.
Tetapi, sebagaimana ia yang berupaya sangat keras untuk merelakan, aku juga sama. Tidak ada keharusan sebuah cerita manis diakhiri dengan manis. Kadang, sebelum kita terjebak dan menjadi tua dan membosankan, ada baiknya untuk berhenti. Setidaknya kenangan-kenangan tadi masih bisa dikenang dengan pikiran yang menyenangkan. Kenangan yang telah menjadi buku yang tetap mengasyikkan meski dibaca berulang-ulang.
[]
*Catatan: meski berat hati, penulis kemudian berusaha menerima perpisahan Banda Neira. Penulis sudah suka Banda Neira sejak zaman penulis masih maba dan sangat berupaya hipster. Musik-musik Banda Neira seperti mengajak menyelam dalam petualangan seru yang takkan pernah terlupa. Tapi Banda Neira butuh titik. Titik untuk menyudahi kalimat panjang tanpa jeda mengenai puja-puji Rara dan Ananda. Jelas perpisahan sangat berat, dan hingga kini, saya meragukan apakah ada namanya perpisahan yang baik-baik. Perpisahan selayaknya memang dirayakan dengan air mata dan kalimat sendu yang mengalir begitu saja dari sanubari. Tapi begitulah perpisahan – ia membuat kita paham bahwa kita memahami siapa yang berarti dalam hidup ini. Dan setelah itu, kita akan memegang satu-satunya souvenir dari perpisahan: kenangan. Hingga nanti, sampai jadi debu.