“KAPAN kita merasa cukup?”
…
Bangun menjelang subuh, mengejar kereta menuju Jakarta pagi-pagi sekali supaya bisa hadir di kantor tepat waktu. Berebut tempat di dalam gerbong kereta bersama ribuan penumpang lainnya, bukan untuk duduk, melainkan berdiri. Kerap melewatkan sarapan. Sesampainya di kantor, bekerja dengan durasi normal.
Tak hanya fokus pada pekerjaan dan tenggat yang sedang ditangani, namun juga harus menyiapkan waktu dan tenaga untuk ramah sana sini biar bisa dibantu dan tidak dipersulit, bermuka tembok dan berhati batu biar enggak terikut drama yang terjadi, melengos menghindari rekan kerja yang menjengkelkan, dan sesekali menyelamatkan muka di depan atasan. Segala bentuk social engineering.
Kembali pulang dengan kereta sampai akhirnya tiba di rumah di atas pukul 8 malam. Itu pun kalau kondisi keretanya tidak menggila. Terus begitu keesokan harinya.
…
Lulus S-1 dan jadi sarjana dengan masa kuliah kurang dari empat tahun. Dirasa kurang, langsung meneruskan sekolah ke jenjang berikutnya. Bisa pakai duit orang tua, atau juga berburu beasiswa interlokal bahkan internasional. Jadi bagian dari Ivy League kalau bisa.
Berhasil kembali pulang dengan menggondol gelar Master, tentu bukan The Kung Fu Master, tapi tetap pilih tanding. Hanya saja, gelanggang pertandingannya yang belum jelas di mana. Sampai akhirnya mencoba mencemplungkan diri dalam berbagai kolam bidang. Berusaha mempraktikkan ilmu yang sudah susah payah dikumpulkan dan digenapi dengan sertifikat, penanda tuntasnya jenjang pendidikan. Biar berguna, katanya. Lalu untuk pertama kalinya, dibuat terkejut dengan pencapaian yang di luar perkiraan. Kecewa perdana setelah membawa rasa bangga ke mana-mana, and the first cut (usually) is the deepest.
Terus menerus melakukan rekonsiliasi dengan sisi pintar dan cendekia dalam diri sendiri, menyesuaikan antara harga diri dan kenyataan yang dihadapi. Apabila tidak bisa terima dengan hasil akhirnya, muncul keluhan, kejenuhan dan kebosanan, hingga akhirnya tebesit pemikiran untuk bersekolah kembali di jenjang yang lebih tinggi, yang lebih mumpuni secara akademik. Entah lantaran doyan belajar dan berjiwa ilmuwan; terkondisi untuk selalu merasa kurang demi memenuhi ekspektasi (baca: kebanggaan) orang tua, keluarga, atau siapa saja pokoknya orang lain; merasa menemukan dunia sendiri yang mengasyikan di balik lautan buku, jurnal ilmiah internasional, dan kumpulan data mentah atau sekunder; atau bersekolah jauh-jauh malah sebagai pelarian semata?
…
Merasa tertantang untuk terus berkarya. Berusaha menghasilkan sesuatu yang fenomenal secara positif dan berguna bagi banyak orang. Ingin agar keberadaannya bermakna, baik secara pro bono maupun dengan imbalan sepantasnya. Tetap ada sedikit dorongan ego dan narsisme terselip di sela-selanya. Riya sosial dan eksistensial.
Menerima semua tawaran kolaborasi dan kerja sama, deadline bertumpuk dan tak jarang jatuh pada waktu yang bersamaan. Sering begadang, tidak punya waktu yang cukup lapang untuk bertukar kasih sayang dengan seseorang, termasuk menyayangi diri sendiri dengan olahraga secukupnya dan asupan makanan yang layak. 24 jam dalam sehari terasa tidak pernah cukup, keletihan tak berkesudahan, lelah fisik dan psikis, tapi selalu bersemangat menyambut semua peluang dan kesempatan. Entah lebih berat ke mana tujuan utamanya: pencapaian dalam bentuk apa saja, atau haus pengakuan.
…
Pasangan muda. Baru menikah, dan baru banget dianugerahi buah hati. Masih amatir, wajar seringkali cemas; “Apakah aku sudah memberi dan melakukan yang terbaik untuk anakku?” Tanpa jelas batasan tentang “terbaik” itu.
Bayi sudah jadi balita, masuk Playgroup dan TK, sebentar lagi jadi murid SD, tetap dengan pertanyaan yang sama. Namanya juga orang tua, yang berusaha mencurahkan kasih sayang dalam bentuk terbaik bagi anak(-anak)nya. Lambat laun, hanya ada jawaban tunggal untuk pertanyaan di atas: “Aku enggak boleh salah, enggak boleh gagal (sebagai orang tua).”
Tanpa disadari, kecemasan dan kegundahan orang tua menular kepada sang anak. Ditunjukkan dalam bentuk pengajaran dan perintah: “Kamu enggak boleh bikin mama malu ya, Dear.” Berlaku untuk semua hal. Semua! Kecuali saat sedang bersantai bersama di mal atau tempat umum lainnya, ketika banyak orang tua yang asyik dengan aktivitasnya masing-masing, dan “memberdayakan” gaji para babysitter mereka.
Sang bocah didaftarkan ikut beragam kursus dan pelatihan, demi memunculkan dan menumbuhkembangkan bakat, katanya. Bidang seni, olahraga, pendidikan dan akademik, aneka bahasa asing yang biasanya muncul dilengkapi dengan subtitle-nya. Sesekali, sang bocah diminta tampil, unjuk kemampuan supaya bisa bikin banyak orang kagum. Entah, siapa sebenarnya yang sedang memamerkan apa saat itu. Terus berlanjut sampai sang bocah jadi manusia dewasa, siap menikah, dan siap menjadi pasangan orang tua berikutnya.
…
“Kapan kita cukup?”
Apa yang diberikan hidup untuk kehidupan kita enggak akan pernah cukup, sampai kapan pun. Toh, rasa cukup pada seseorang pun belum tentu bisa mencukupi seseorang yang lain.
25 Juni lalu, Bill Cunningham berpulang.
Wafatnya begitu disayangkan oleh banyak orang, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok fashion elite dunia, para selebritis dengan popularitas lintas negara.
Siapakah dia? Seorang kakek, fotografer jalanan. Secara harfiah ia lebih terkenal sebagai itu, sebab lebih banyak memotret manusia-manusia yang sedang berlalu lalang di jalanan. Mencoba mengabadikan ekspresi kejujuran dari setiap orang–sama rata, tidak pandang bulu–lewat penampilan; apa yang mereka kenakan. Semua diterbitkan dalam rubrik “On the Street”-nya yang legendaris itu.

Apakah Bill wafat dalam keadaan cukup? Mungkin. Mungkin juga tidak.
Apakah Bill kaya raya? Kelihatannya tidak. Ia seringkali terlihat hanya mengendarai sepeda onthel dengan model jadul. Gaya berpakaiannya pun terbilang sederhana untuk seseorang dengan wawasan dan perspektif mode yang luas luar biasa. Bill sangat dikenali lewat jaket berwarna biru terang yang selalu dikenakannya, dibeli dengan harga sekitar USD 20 dan tidak pernah tergantikan hingga menjelang wafatnya. Robekan yang terjadi pada bagian dalam jaket itu pun hanya “diperbaikinya” dengan lakban. Ia merasa cukup dengan penampilannya.
Apakah Bill miskin? Tampaknya tidak, kendati ia hanya tinggal dalam sebuah kamar sederhana, dan sendirian.
Setelah membantu mengisi terbitan pertama majalah Details, Bill tidak pernah mau menerima apalagi menguangkan honornya. Cek tersebut disimpan kembali oleh pihak majalah, terus diperbarui, dan terus ditawarkan, tapi tak pernah digubris Bill. Sampai akhirnya majalah Details diakuisisi untuk lingkup bisnis yang lebih besar, jatah untuk Bill masih tersangkut di sana. Nominalnya yang tak kecil, membuat manajemen baru bahkan sampai harus memohon-mohon agar Bill mengambil jatahnya. Eh, Bill keburu berpulang. Ia merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.
Terlepas dari dua hal di atas, seorang Bill Cunningham pasti tidak akan pernah merasa cukup terhadap karya-karyanya. Ia memotret, dan terus memotret. Kehidupannya dipenuhi dengan gambar dan tulisan. Sampai akhir hayatnya.

…
Coba terjemahkan kata settlement dan ungkapan sense of fulfillment.
Terus…
“Kapan kita mau merasa cukup?”
[]
“mau” bukannya “bisa” ya. Eh tapi kata berikutnya adalah merasa….
Lalu aku bengong mikir jawabannya. Haha!
SukaSuka
Hehehehe… :p
SukaSuka
how much is too much?
SukaDisukai oleh 1 orang
When it starts to feel hurt. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
kadang aku nya sudah merasa cukup dan tentram dengan yang begini aja, tapi lingkungan yang maksain dengan ngasih tekanan “kok gitu aja sih? lihat tuh temen-temenmu”. baca artikel macam ini bikin lega, entah mengapa, mungkin berasa ada temen
SukaSuka
Temannya banyak kok. 🙂
Terima kasih ya.
SukaSuka
Aku justru takut dengan kata “cukup”. Bukan berarti enggak bersyukur ya, sangat bersyukur dengan situasi sekarang selalu. Tapi takut terjebak dengan pemikiran bahwa cukup, lalu stagnan dan berhenti maju dan berhenti menggeliat mencari yang lebih baik. Bukan lebih banyak, lebih baik.
SukaSuka
Setuju.
Antara cukup yang berupa “contentment”, dan yang berupa “weariness”. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Kadang mikir aku mikir loh Mas, kontemplasimu kok bisa sampai kesini.
Aku terkesima bacanya. Bertanya ke diri sendiri.
Lewatnya setidaknya jadi tahu ttg Bill.
Terima kasih banyak.
SukaSuka
Saya juga terima kasih, sudah dibaca. Syukur-syukur kalau ada manfaatnya. Hehehe…
SukaSuka
Nanya dong koh. Kalau udah ngerasa cukup gitu bikin hidup pada akhirnya jadi stagnan ga?
SukaSuka
Ehm…
Rasa bosan yang menenteramkan, barangkali?
Tapi, sejujurnya saya belum tahu, karena belum merasa cukup sampai sekarang. 😀
SukaSuka
Terima kasih telah membuat tulisan inspiratif ini Mas Gono
SukaSuka
Terima kasih sudah membaca. 🙂
SukaSuka