SUDAH lebih dari tiga bulan, rasanya, tidak minum teh susu ala Taiwan alias boba–tanpa topping boba–hingga akhir pekan kemarin. Saking lamanya, saking kepinginnya, dan kebetulan ada diskon, dari yang biasanya memesan Roasted Milk Tea ukuran sedang tanpa topping, malah iseng pesan ukuran besar dengan tambahan isi coffee jelly.
Sesuai yang dibayangkan sebelumnya, pada satu sampai sepuluh sedotan pertama terasa begitu nikmat dan menyegarkan. Aroma teh panggang (namanya juga Roasted Milk Tea) begitu wangi, rasa manisnya pas, ditambah dengan coffee jelly membuat pengalaman saat itu sangat menyenangkan hati.
Setelah sepuluh menit pertama dan sambil mencoba mengetik sesuatu, saya sempat membatin agar jangan buru-buru dihabiskan. “Nikmati saja perlahan,” kurang lebih begitu supaya tidak lekas habis. Demikianlah keserakahan; rasa tidak ingin berpisah/dipisahkan dari, atau melepaskan sesuatu meskipun memang sudah seharusnya.
Waktu terus berjalan, ide untuk menulis tak kunjung datang. Lantaran memesan teh ukuran besar, boba tadi pun justru terasa tidak habis-habis. Di sepertiga terakhir gelas, Roasted Milk Tea dengan coffee jelly tidak lagi senikmat sebelumnya. Bahkan kesenjangannya amat kentara saat perut mulai terasa penuh, menuju agak begah sementara potongan coffee jelly-nya terlihat masih cukup banyak. Tehnya kian terasa hambar karena es yang mencair, tak lagi dingin, wanginya memudar sedikit demi sedikit.
Dari sesuatu yang tadinya begitu diidamkan, begitu dijaga dan ingin dipertahankan agar tetap ada lebih lama, menjadi kehilangan kenikmatannya. Mau dibuang sisanya, sayang. Belinya jarang-jarang, program promo pun baru ada lagi setelah setengah tahun lebih sebelumnya dihantam dampak Corona (banyak bank dan layanan pembayaran yang memangkas program).
Ya sudah, akhirnya benar-benar dihabiskan pelan-pelan. Bukan karena sedapnya, melainkan karena mulai terasa menyusahkan.
Ke manakah rasa nikmat itu pergi? Dan, masih patutkah sesuatu itu dilekati keserakahan diri? Rasa enggan untuk dilepaskan, atau justru bisakah kita kembali diingatkan dan belajar lebih berhati-hati di masa depan?
Dalam kajian ilmu ekonomi, fenomena ini dikenal dengan sebutan Law of Diminishing Marginal Utility atau hukum penurunan nilai guna konsumsi, yang seingat saya sudah diajarkan sejak SMP. Hanya saja, lantaran disampaikan sebagai pelajaran sekolah, dan judulnya yang rumit dimengerti, banyak dari kita yang tidak menyadari potensi kebijaksanaan hidup (dan menjalani kehidupan) dari memahami hukum tersebut. Kendati barangkali sudah hafal teorinya di luar kepala.


Contoh nyatanya, ya, saya dan Roasted Milk Tea ukuran besar tadi. Untuk seseorang yang telah menulis tentang rasa cukup di tahun 2016 lalu, eh, saya justru kembali terjebak perasaan dan mengalami sebaliknya. Andai saya memesan porsi normal dan tanpa coffee jelly waktu itu, tak mustahil Roasted Milk Tea tersebut habis tepat pada saat sedang nikmat-nikmatnya. Kesan yang ditinggalkan pun lebih menyenangkan dibanding rasa kekenyangan, atau perut yang mendadak penuh.
Tak hanya soal boba, belanja rumah tangga, dan urusan-urusan komoditas lainnya, takaran cukup ini juga dibutuhkan di semua aspek kehidupan.
Saat berhasil melakukan sesuatu, bergembiralah secukupnya.
Saat mengalami kegagalan, merataplah secukupnya.
Saat ingin mempercayai seseorang, percayalah secukupnya dan tetap waspada.
Saat disakiti seseorang, bencilah secukupnya dengan menjauhinya.
Kecuali kalau sudah membuta, menjadi kultus (cult), kayak yang terjadi kemarin, yang lebih mirip sebuah ekspresi psikologis dan dorongan emosional ketimbang beralasan konkret.
Kita tidak bisa terbebas total dari perasaan-perasaan tersebut. Karena kita manusia, maka kemunculannya pun manusiawi. Namun, kita tetap belajar melihat dan merasakan secara bijaksana, agar tidak terhanyut. Mengubah kenikmatan menjadi siksaan.
[]