Cinta Iki Loh…

Ada saatnya di mana berlari terasa berat sekali. Entah karena kurang tidur, malas, terlalu lama absen, atau bosan… Seperti malam itu. Kaki terasa berat dan mendadak nafas tersengal-sengal. Dalam usaha menyelesaikan “lariin sebisanya aja” mendadak terbayangkan bagaimana kalau saat itu, saya kena serangan jantung dan inilah saat menjelang maut itu. Yang pertama ada di pikiran, saya sendiri tidak mempercayainya, adalah cinta. Cinta dalam artian hubungan antar manusia. Seketika pikiran saya terbang ke setahun lalu, waktu sedang berlari juga di GBK. Seorang teman yang ikut berlari namanya Iki, bercerita tentang CLBKnya. “Balik-baliknya sama dia lagi… yaudahlah ya, aku enjoy” katanya sebelum kami berpisah.

Pacar Iki berprofesi make-up artist yang sedang naik daun. Sementara Iki sendiri bekerja di bidang digital. Anak hipster #kekinian. Saya belum pernah berkenalan dengan pacarnya ini. Beberapa kali liat fotonya, mendengar ceritanya dari Iki dan beberapa teman yang pernah menggunakan jasanya untuk berdandan. Mereka berdua tinggal di rusun bersama seekor anjing kecil bernama Yukiko. Kalau ketemuan dengan Iki pun jarang membahas soal hubungan asmara mereka. Lebih sering berbincang politik warkop, film, fashion, mencari pokemon dan berbagai topik tak penting lainnya.

2016-09-24-11-14-35

Sebelum tidur, adalah waktu yang tepat untuk buka-buka Path dan media sosial lainnya. Malam itu adalah malam minggu. Ada yang lagi berkumpul bersama teman-temannya jomblonya. Kemungkinan besar sedang saling menguatkan dan mempertanyakan makna cinta. Ada yang lagi bersama pasangannya menikmati malam yang akan terasa singkat. Ada yang bersiap tidur karena esoknya mau berolahraga pagi. Ada yang sedang mengutuk laki-laki karena pernah dipatahkan hatinya penyebab trauma tak berkesudahan. Ada yang sedang sibuk whatsappan sama cinta yang lain saat sedang bersama keluarganya. Ada yang sibuk bermain dengan bintang peliharaan dan hobi lainnya. Dan ada pula yang tak ada ide menulis untuk linimasa.com.

“Mau cari pasangan yang seperti apa?” Pertanyaan membosankan yang sulit dijawab tapi menarik untuk diketahui jawabannya. Rasa-rasanya hampir semua orang yang saya kenal punya kriteria yang kurleb sama: setia, baik, mandiri, pintar, nyambung dan seagama… kemudian ada beberapa syarat tambahan seperti badannya bagus, rajin olahraga, suka seni, tertarik politik, seksnya cocok, punya mobil dan rumah sendiri atau seenggaknya sedang kredit kepemilikan. Dan daftar yang semakin panjang. Semakin pernah patah hati, semakin panjang syaratnya. Tentunya semua wajar dan sah-sah saja. Di tengah kehidupan yang terasa semakin keras ini, pilihannya punya pasangan yang membahagiakan atau lebih baik tidak usah sama sekali. Tanpa permisi dan banyak basi-basi, foto Iki ini muncul di Path2016-09-24-11-14-12Dengan keterangan, “begini ini kalo punya pacar make up artist, mesti siap jadi kelinci percobaan”.

“Woooi ngapain lo?” tanya saya di Whatsapp langsung. “Lagi seseruan aja cyin… gak punya duit gak tau mau ngapain yaudah dandan-dandanan” jawabnya. Seketika hati saya mekar dan timeline Path saya jadi ceria melihat foto yang kurang ajar ini. Kurang ajar? Iya jelas kurang ajar. Di saat yang lain sedang mempertanyakan cinta, dan syarat pasangan yang semakin panjang, mereka sedang menikmati cinta. Merayakan cinta dengan cara yang sederhana cenderung apa adanya. Cenderung seadanya. Setau saya, tidak ada yang tampan, berotot, atau sedang memiliki kredit kepemilikan rumah diantara mereka. Tidak ada yang lulusan universitas terbaik dunia. Belum pernah mendengar mereka berniat menonton broadway di New York atau nonton konser di Australia.

Belakangan mereka lagi sering berjalan-jalan keluar kota. Dari postingan di instagramnya, tak ada kemewahan berlebih di situ. Tak ada postingan serba diatur. Yang ada hanya kehangatan cinta memancar tanpa ampun. Setidaknya membuat yang melihatnya optimis bahwa cinta tak pernah meninggalkan bumi ini. Dia hanya sedang mencari-cari tempat ternyamannya. Agar dia bisa tinggal lebih lama. Mari kita jatuh cinta pertama, sekali lagi. Dan sekali lagi.

2016-09-24-11-14-28

Mungkin benar, mereka juga belum mampu secara finansial. “Kalo mampu mah mau aja, keleuuus” terbayang ucapan Iki. Sederhana di sini tentu relatif. Apalagi kalau disempitkan maknanya pada finansial. Mungkin lebih cocok kalau disebut gak muluk. Mencoba menikmati dan menemukan kebahagiaan dari yang ada. Bukankah cinta lebih mudah tertarik pada kebahagiaan? Kesederhanaan dan kebahagiaan, dua kata yang relatif. Masing-masing punya ukurannya sendiri-sendiri. Sayangnya, semua yang tadinya sederhana perlahan makin rumit atau dirumitkan.

Berlari misalnya. Disepakati umat manusia sedunia sebagai olahraga paling sederhana sedunia. Cuma perlu sepatu untuk berlari. Itu pun ada yang berpendapat lari bertelanjang kaki lebih baik. Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Sepatu lari berkembang jadi beragam bentuk menyesuaian bentuk kaki dan corak. Pakaian berlari pun semakin hari semakin banyak pilihannya sesuai dengan perkembangan teknologi. Perkakas teknologi pun semakin beragam. Jam yang awalnya untuk penunjuk waktu, jadi penunjuk kecepatan, detak jantung, arah kompas dan terakhir konon bisa untuk foto selfie dan langsung upload ke media sosial. Ambisi pun tak lagi sederhana. Yang tadinya lari rekreasi, berkembang menjadi ambisi untuk menyerupai atlet. Dari berlari untuk kesehatan diri sendiri kemudian jadi ikut lomba lari skala lingkungan, kota, luar kota dan luar negeri. Dari berlari sendiri, menjadi berlari di kelab lari dengan program untuk meningkatkan ketepatan dan kecepatan berlari. Padahal… awalnya sederhana: berlari. Sepertinya inilah cinta. Sebenarnya mah sederhana…

Di cerita yang lain, seorang teman melangsungkan pernikahan dalam kondisi yang sangat amat sederhana. Sederhana dalam segala segi kehidupan. Dengan cepat pasangan ini pun menjadi idola kami yang saat itu sedang mencari cinta. Pesta pernikahan sederhana yang syahdu dan khidmat tak pernah terlupakan seumur hidup saya dan teman-teman. Salah satu contohnya, undangan pernikahan yang ditulis tangan satu persatu oleh mempelai perempuan. Baju pengantin yang menggunakan gordyn tua di rumah neneknya. Tukang riasnya adalah teman-temannya sendiri saling mendadani. Fotografer? Para tamu saja menggunakan pocket camera masing-masing.

Menginjak tahun ketiga, saat sudah memiliki seorang anak, kehidupan mereka jauh dari sederhana. Baik secara finansial dan dalam segala segi kehidupan. Kami teman-temannya senang melihat kebahagiaan mereka. Sampai suatu malam kami dikumpulkan oleh sang istri yang mengutarakan niatnya untuk bercerai. Berceritalah asal mula keretakan keluarganya. Yang secara singkat bisa dibilang karena tak lagi sederhana. Saat finansial membaik, keinginan pun semakin banyak. Semakin besar ambisi dan semakin beragam kebutuhan. Termasuk hasrat untuk memiliki yang tak sepantasnya dimiliki. Ini tak hanya oleh sang lelaki tapi juga sang perempuan.

Ada pula kejadian sebaliknya. Saat menikah tak ada sedikit pun kesederhanaan. Pesta paling mewah yang pernah saya hadiri. Keduanya berasal dari keluarga berada. Dan sebelum berpacaran pun semuanya melalu perhitungan dan pertimbangan yang matang. Keduanya adalah orang yang cakap dan pandai. Soal fisik tak perlu diragukan. Dalam perjalanan pernikahannya, kesederhanaan menerpa. Menerpa? Ya karena menjadi semacam badai bagi biduk yang selama ini berlayar di laut yang tenang. Keretakan rumah tangga pun tak terelakkan.

Sambil merenungkan ini semua tak terasa latihan lari saya sudah mendekati 3 km terakhir. Dan berhenti untuk minum. Karena ini perenungan yang mengasyikkan untuk saya, maka saya pun melanjutkan

Lihatlah tulisan ini, bahkan saya membahas cinta dengan cara yang tidak sederhana. Benarkah “ignorance is bliss?” Sepertinya Iki bukan orang yang ignorant. Tapi mungkin memilih untuk ignorant saja dalam urusan cinta. Yang penting sama-sama mempertahankan dan memperjuangkan kebahagiaan berdua. Dalam kondisi apa pun dan di mana pun. 

“Gak bisa sederhana lah urusan cinta maaah… Ini kan urusan pernikahan seumur hidup kalau bisa. Berkeluarga. Punya keturunan. Gila aja! Yang ada bukan sederhana malah ngegampangin!” Pertanyaannya, sejak kapan cinta lantas dihubungkan dengan pernikahan? Jangan-jangan pernikahan atau komitmen sudah menjadi beban tersendiri bagi cinta. Membuat cinta layu bahkan sebelum disemai. “Kayaknya gue cinta deh sama ni orang, tapi beda agama booo! Gak bisa buat kewongan buat apa?!” Padahal cinta tak pernah menuntut untuk menikah. Cinta tak pernah menuntut diprasastikan. Apalagi kalau cinta lantas dihubungan dengan seks… OK! sebaiknya tulisan ini dihentikan sebelum saya merancap lebih jauh :)))

Tulisan ini ditulis dengan seizin IG: @ikibaru yang deg-degan menanti tulisan ini :))) Terima kasih ya Iki dan Sas…

 

12 respons untuk ‘Cinta Iki Loh…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s