Karena bukan mereka melainkan kita.
Pria dengan tato naga di leher kirinya. Perempuan yang dengan santai merokok di halaman parkir pusat perbelanjaan. Anak SMP yang terjaga dalam keadaan was-was dari mimpi basahnya ketika ia sadar memimpikan lelaki teman sepermainan layang-layangnya.
Perempuan berhijab dan cadar dengan hanya binar mata yang dapat terlihat dalam beberapa kejap. Pria berjanggut panjang dan celana panjang cingkrang menggantung. Lelaki berkalung emas dengan tanda salib menghiasi dadanya.
Serombongan keluarga dengan salah satu anak lelakinya yang down syndrome menikmati makanan di meja sebelah. Perempuan muda yang hanya mampu bicara baju, sepatu dan tas terbaru. Mantan pacar yang lebih memilih bermalam minggu dengan xbox. Anak perempuan penuh tindik di telinga kirinya lebih banyak dari jumlah kancing kemeja kotak-kotaknya.
Juga perempuan muda yang lebih memilih menjadi janda daripada lebam wajah dan tubuhnya semakin banyak. Anak SMP yang menyukai tinggal di rumah nenek daripada harus memilih tinggal bersama ibu atau bapaknya.
Sahabat yang tiba-tiba datang ke rumah dan mengajak bisnis MLM. Adik ipar yang meminjam uang tanpa pernah membicarakan apalagi mengembalikan dan hanya melupakan. Guru killer yang hobi menampar anak didiknya namun saat kita bertandang ke rumahnya, dia sedang mengepel lantai rumah petak sewaannya. Guru sejarah yang berapi-api bercerita pangeran Diponegoro, guru agama yang bicara isra-miraj dengan takzim, dan keduanya memiliki kesamaan buih putih di sudut bibirnya.
Sahabat perempuan yang lamat-lamat berbisik baru saja aborsi tanpa sepengetahuan pacarnya. Sahabat yang lain berhijab rapat yang sebelum ke pelaminan bercerita bahwa pamannya sendiri pernah menidurinya tanpa ada paksaan ketika dia masih belum seperti saat ini. Pria pengguna dumolid karena ndak tahu kapan dia bisa melepas keperjakaannya sebelum wisuda.
Juga adik perempuan ibu yang hingga menjelang empatpuluh lima belum juga ada pria yang mendekatinya. Kakak kandung yang lebih memilih berkarir sebagai penata rias, mencukur habis kumis dan jambangnya, menyulam alis, bibir dan memilih melajang hingga saat ini telah memiliki banyak ponakan dari adik-adiknya.
Seorang lulusan terbaik fakultas kedokteran yang lebih memilih jadi kartunis. Karib kita yang memilih jalan tuhan dan berkeliling dari langgar, surau dan masjid. Anak mahasiswa yang galau memilih mudik atau ongkosnya digunakan untuk membeli kertas kalkir untuk tugas akhirnya.
Pasangan muda beda agama yang memilih menikah di negara tetangga tanpa kehadiran orang tua. Anak sipil yang memilih berjualan almond milk dari bazar ke bazar daripada menghitung kekuatan rangka beton jembatan gantung.
Juga perempuan sebelah kubikle yang terus memilih seorang dia untuk menjadi pujaan hati, walau dia selalu tak pernah tahu apa isi hatinya.
Mereka adalah kita. Kita yang manusia apa adanya. Happy-Sad.
Salam anget,
Sayur Roy
some says, “happiness is not the absence of sadness.”
SukaSuka
On my first day of monthly period and I read this… :((
SukaSuka
You can get addicted to a certain kind of sadness.
SukaSuka
Makasih tulisannya, Om Roy. Jadi agak sendu nih.
SukaSuka
Napa sendu? coba ceritain.. 🙂
SukaSuka
Inget temen jadinya yang ingin jadi orang udik kampungan ndeso… hidup biasa biasa ajah. Dilema orang urban katanya ;D
SukaSuka
kenapa gitu? di kampung pada akhirnya dipenuhi permasalahannya sendiri yg ndak didapet di kota
SukaSuka
Mas, bagus banget tulisannya!
Ngena, udah mau mewek ini..
Aku banyak belajar buat nggak gampang nge-judge orang sih.
Thank you, salam anget 🙂
“Everyone has a story.
Don’t judge simply”
SukaSuka
aku malah sambil mewek nulisnya.
SukaSuka