KALAU dirasa-rasa, kayaknya beruntung juga bisa bertumbuh kembang menjadi seseorang yang mudah bosan; yang bisa dengan mudahnya melalui puncak excitement dan kemudian kehilangannya dalam waktu singkat, cenderung susah bertahan dalam satu keadaan, serta mengalami perubahan pikiran/perasaan/suasana hati dengan cepat.
Rasa bosan dan kebosanan itu enggak semestinya negatif melulu. Hanya saja, selama ini lebih condong dilekati dengan kesan tidak mengenakkan. Sesuatu yang harus dimitigasi sebelum menimbulkan kerugian dalam bentuk apa pun.
Kebosanan dituding sebagai salah satu pembunuh utama semangat, motivasi, obsesi, juga ambisi yang selama ini dianggap sebagai tenaga penggerak utama manusia mencapai beraneka tujuan. Padahal, dari kebosanan juga bisa muncul semangat, motivasi, obsesi, juga ambisi untuk sesuatu yang baru pada diri seseorang.
Hanya ada satu yang enggak bisa dikalahkan oleh kebosanan: insting untuk bertahan hidup.
Kebosanan juga kerap dimusuhi layaknya benalu, bom waktu organis dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Gara-gara rasa bosan, banyak pasangan yang sudah menikah, yang masih pacaran, atau yang hanya gebet-gebetan dihadapkan pada beberapa risiko. Entah itu perpisahan, atau dorongan untuk mencari selingan. Padahal, dengan mengamati rasa bosan itu sedikit lebih dalam, tidak mustahil para pasangan tersebut akan berhasil menguak masalah terbesar sebenarnya dalam hubungan mereka. Masalah serius yang berpotensi mengangkat hubungan mereka ke tahap selanjutnya, atau menyelamatkan mereka dari penyesalan terbesar dalam hidup.
“Good, bad, who knows?”
Begitu kata salah satu tokoh dalam seri buku “Cacing dan Kotoran Kesayangannya”
Di sisi yang berlawanan dengan rasa bosan, enggak selamanya excitement berujung manfaat. Keduanya seperti CatDog, anjing dan kucing dengan satu badan; tak terpisahkan. Juga seperti Uroboros, ular yang melingkar berputar dengan menggigit (?) ekornya sendiri. Merupakan sebuah siklus logis ketika munculnya excitement pasti dibarengi dengan kebosanan, yang tinggal menunggu waktu untuk mencuat dan mengambil alih panggung pikiran. Bahkan bisa dibilang, momen munculnya kebosanan adalah salah satu titik krusial dalam kehidupan manusia. Sebab sikap serta cara saat menangani kebosanan pun bisa dijadikan salah satu pertimbangan atas kedewasaan maupun kebijaksanaan seseorang.
Melarikan Diri dari Kebosanan.
Mereka mengusir rasa bosan seperti tukang buah menghalau lalat dari hinggap di atas barang dagangan mereka dengan kebutan. Biasanya dilampiaskan dengan melakukan hal-hal yang dianggap menyenangkan, berhura-hura, dan sejenisnya.
Rasa bosan memang terasa hilang, namun dengan efek yang sementara. Pada akhirnya, mereka tetap tidak memahami rasa bosan tersebut. Sehingga berpeluang untuk kembali diganggu dengan kebosanan setelah segala jenis kegiatan yang–awalnya–menyenangkan (exciting) dan hura-hura tersebut makin terasa biasa.
Mengalahkan Kebosanan
Ya, mengalahkan. Mereka biasanya adalah orang-orang yang kreatif dan inovatif, yang menjadikan kebosanan sebagai salah satu bahan bakar untuk menghasilkan sesuatu. Tanpa ada kebosanan, nyaman dalam kenyamanan, tidak ada yang menggelitik untuk berkarya. Pokoknya jadi barang baru.
Meskipun tak tertutup kemungkinan bahwa mereka bakal kembali berurusan dengan rasa bosan, setidaknya bakal mereka hadapi dengan produktif, bukan semata-mata konsumtif. Meninggalkan sesuatu yang nyata, bukan angin doang.
Melampaui Kebosanan
Orang bisa bosan saat belajar, orang bisa bosan saat bekerja, orang bisa bosan saat melakukan beragam aktivitas, orang bahkan bisa bosan terhadap dirinya sendiri. Sebenarnya, siapa saja bisa menjadi orang yang mampu melampaui kebosanan dalam menjalani kehidupan masing-masing. Namun bagi para meditator, orang-orang yang berusaha mengenali dirinya sendiri lewat meditasi, kebosanan adalah salah satu fenomena penting batin.
Rasa bosan merupakan salah satu momok besar dalam berlatih meditasi. Begitu sukar diatasi. Brengseknya lagi (deceitfully), rasa bosan mampu melakukan kamuflase, menipu untuk menjatuhkan moral batin meditator, membuat mereka merasa gagal mengatasi rintangan dan mentok tak mengalami kemajuan. Hingga pada akhirnya, sang meditator pun benar-benar berhenti.
“Tidak ada kemandekan dalam bermeditasi. Mandek terjadi ketika kita benar-benar berhenti bermeditasi.”
“Mau sampai kapan kita lari dari rasa bosan? Saat kebosanan muncul, ya hadapi! Amati kebosanan itu. Lihat, apa yang muncul sesudahnya.”
Begitu kata seorang senior, beberapa bulan lalu.
Kebosanan, sesuatu yang tidak menyenangkan, menjadi kunci untuk sesuatu yang lebih tinggi.
Tak ada yang perlu menjadi lebih unggul.
Peduli sekaligus tidak peduli terhadap kebosanan.
Melihat kebosanan sebagai kebosanan.
[]
(((Orang terkadang bisa bosan pada dirinya sendiri)))
Saya setuju ini, situ seolah bs membaca isi kepala saya
SukaSuka
hehehe… judulnya kocak bang, berarti jadinya Kok Gitu Ergo Sum ya…
SukaSuka
Ya begitulah. Kalau enggak bosan kan enggak mikir. Hehe…
SukaSuka
Naga, kalo aku emang sering bosen tapi masih bersukur, daripada jadi orang yang ngebosenin.
atau jangan-jangan..
SukaSuka
Jangan-jangan apa, Mas?
Jangan Bening atau Jangan Asem?
SukaSuka
Wahai Linimasa, kau kadang seperti suara Tuhan saja.
Memang ya, kalian ber”hati” sekali.
Terima kasih sudah menuliskan ini, di tengah mengalami hal tersebut pula.
Dua hr yg lalu aku menulis ini http://agnesgultom.tumblr.com/post/143314749358/apakah-fatamorgana-itu
Mencerahkan sekali, terima kasih banyak.
SukaSuka
Kebetulan. 😄
SukaSuka
Ya, bulan lalu kau juga kebetulan membahas ini https://linimasa.com/2016/03/09/hari-yang-spesial/
saat aku dan dia jg membahas nasib kisah kami.
Huh, dasar!
tertawa meringis
SukaSuka
Akhirnya, kamu dan dia bagaimana? 😅 kepo
SukaSuka