Aku percaya pola asuh masing-masing orangtua adalah unik. Ia berbeda antara satu keluarga dan keluarga lainnya. Bahkan berbeda antara generasi satu dan selanjutnya; meskipun masih dalam satu garis keturunan.
Satu pertemuan dengan sekolahan Sekar, melibatkan ahli psikologi anak. Mereka menggolong golongkan pola asuh berdasarkan interaksi orangtua pada anak. Ide yang paling populer tentang hal ini datang dari Diana Baumrind, tahun 1960. Baumrind tertarik terhadap cara-cara orangtua mengontrol atau bersosialisasi dengan anak-anak mereka. Dibedakan lewat dua interaksi. Pertama: responsif. Atau berapa banyak kemerdekaan yang orangtua berikan pada anak. Kedua: tuntutan. Atau berapa banyak ketaatan yang ketat yang diberlakukan orangtua pada anak. Kedua interaksi ini kemudian digolongkan lagi dalam empat kategori. Meskipun peneliti yang berbeda memberikan nama yang berbeda, secara umum disebut: Otoriter, Tegas, Permisif, dan Lepas (Tidak terlibat).
Otoriter, yang menekankan ketaatan buta, disiplin keras, dan mengendalikan anak-anak melalui hukuman. Bisa juga melibatkan tidak adanya kasih sayang orangtua.
Permisif, yang ditandai dengan kehangatan emosional dan keengganan untuk menegakkan aturan. Kadang-kadang begitu longgar hingga cenderung tidak terkendali dan sukar menempatkan standar.
Tegas, pendekatan yang lebih seimbang di mana orang tua berharap anak-anaknya memenuhi standar perilaku tertentu, tetapi juga mendorong anak-anak mereka untuk berpikir sendiri dan mengembangkan rasa otonomi.
Kemudian, peneliti menambahkan gaya keempat, orangtua Lepas (Maccoby dan Martin 1983). Orangtua Lepas, seperti halnya tipe permisif yang gagal dalam menegakkan standar. Ditambah keridakmampuan menciptakan dan memelihara kehangatan. Mereka menyediakan anak-anak makanan dan tempat tinggal, tapi udah. Sampai di situ aja.
Lalu, gimana sih penggolongan diatas pada kenyataannya? Misalnya, Sekar ingin pergi dengan kawan-kawannya ke DWP. Dalam pikiranku, agenda utamanya melibatkan pesta, alkohol, dan bisa jadi narkoba. Maka:
Orangtua otoriter mungkin mengatakan: “NO WAY! Kalo Kakak nekat pergi tanpa ijin, Om Gendut bakar arena DWP itu!”
Orangtua tegas menanggapi: “Jangan. Om Gendut ndak ijinin Kakak ke sana sama temen-temen Kakak. Tapi Om Gendut punya tiketnya lho. Gimana kalo pergi sama-sama? Kalo keliatannya aman, Kakak boleh deh pergi sendiri.”
Orang tua permisif akan mengatakan: “Tentu, have fun ya Kak! Tapi ati-ati!”
Orangtua Lepas bisa menjawab: “Terserah…”
Lebih jauh, penggolongan pola asuh ini bisa memprediksi kesejahteraan anak. Termasuk keterampilan sosial, prestasi akademik, dan perilaku sosialnya. Gaya otoriter, Permisif, dan Lepas berakibat jangka panjang.
Anak-anak dari orang tua otoriter, misalnya, dapat berbaur dengan baik di sekolah dan ndak memperlihatkan prilaku yang menggangu. Tapi, mereka cenderung ndak punya kepekaan sosial, rendah diri, dan depresi. Mereka mungkin tumbuh jadi orang yang sangat cemas yang kurang menyadari potensinya. Karena, mereka berkembang untuk memuaskan hasrat dan tuntutan orangtua mereka. Beberapa anak bahkan meniti karir di bidang yang sama dengan orangtuanya, bukan karena pilihan. Tapi anggapan orangtua bahwa wartawan lebih rendah dari dokter. Kuliah harus ITB, selebihnya universitas abal-abal. Atau, mungkin pernah denger: “kalo ndak masuk jurusan IPA, berarti anak-anak bodoh.”
Anak-anak dari orang tua Permisif mungkin merasa terpenuhi hak-hak istimewanya. Dimanjakan dengan materi yang hadir begitu saja saat diminta. Ketika masalah tiba, anak akan kesulitan memecahkannya lewat usaha dan logika diri sendiri. Ia mungkin berekasi dengan cara yang berbahaya, termasuk prilaku seksual, salah berkawan, bahkan penyalahgunaan obat-obatan. Dengan demikian, mereka lebih mungkin terlibat dalam perilaku bermasalah meski mereka punya harga diri lebih tinggi, kepekaan sosial yang lebih baik, dan tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan anak dari asuhan Otoriter.
Dan orang tua lepas, tentu saja, akan menabur malapetaka seumur hidup. Ketidakpedulian dan ketidakmampuan mereka untuk menangani anak-anak mereka ndak bisa menghasilkan hal positif apapun. Peneliti juga yakin, hanya sebagian kecil anak-anak yang selamat hingga dewasa lewat asuhan lepas. Orangtua bertanggung jawab hanya secara materi atau biologis. Di beberapa kasus, cuma mampu melahirkan. Ndak bisa mengasuh. Apalagi membesarkan anak-anaknya. Yang paling mengerikan, pola asuh sedikit-banyak menurun. Anak-anak yang selamat dari pola asuh macam ini, meski ndak secara keseluruhan, juga menerapkan hal yang sama dalam keluarganya.
Pengasuhan tegas, yang menyeimbangkan tuntutan dan respon emosional. Memberi pengakuan dan kebebasan berfikir anak, adalah salah satu indikasi yang paling konsisten dari kompetensi sosial. Dengan demikian, anak dari orang tua tegas biasanya berkembang lebih baik di sekolah, punya kepekaan sosial yang prima, dan ndak menunjukkan perilaku bermasalah.
Studi menunjukkan, manfaat dari orangtua tegas dan kerugian dari orangtua lepas mulai tampak sejak awal tahun prasekolah dan terus berlanjut sepanjang masa remaja, dan menjadi dewasa lebih awal. Sebuah studi pada 1,000 remaja, oleh Pusat Nasional Ketergantungan dan Penyalahgunaan Zat di Amerika Serimat melakukan pendekatan “hands-on” (kira-kira setara dengan gaya otoriter atau tegas) versus “hands-off” (mirip dengan Permisif atau gaya Lepas). Penelitian ini menemukan bahwa remaja yang hidup melalui asuhan “hands-on” punya 25% risiko penyalahgunaan narkoba yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal bersama orangtua “hands-off.” Lalu, 57% dari remaja dengan pengasuhan “hands-on” memiliki hubungan yang sangat baik dengan ayah dan ibu mereka. Sebaliknya, hanya 13% dari remaja dengan asuhan “hands-off” yang punya hubungan baik dengan ayah dan ibu mereka.
2 tanggapan untuk “Pola Asuh”
Reblogged this on Coretan Senja and commented:
Noted untuk saya di masa depan yg sudah menjadi ibu :’)
SukaSuka
[…] mengenai tipe asuhan orangtua , belakangan banyak tipe negarif baru diluar kategori resmi yang diakui ilmu psikologi. Coba […]
SukaSuka