Berapa banyak dari pembaca Linimasa yang masih remaja? Cukup banyak ya? Maka tulisan berikut ini bisa jadi bekal sebelum kalian beranjak dewasa.
Lalu, berapa banyak dari pembaca Linimasa yang berusia di atas 24 tahun? Banyak? Maka tulisan berikut ini silakan disetujui atau tidak disetujui.
Yang jelas, buat saya adulthood means we fake things.
Bukan berarti lantas menafkahi diri dengan menjadi penjual DVD bajakan atau jual tas ori KW ya, sis. Tapi ini lebih ke sikap dan tingkah laku.
Semakin berumur, rasanya semakin sadar kalau sebenarnya banyak masalah yang tidak akan pernah kita bisa selesaikan. Tapi hidup terus berjalan.
So what do we do? We pretend we know what we do. Kita berpura-pura. We fake it.
Pelajaran ini saya sadari di awal usia 20-an. Waktu itu baru lulus kuliah, dan baru bekerja. Di suatu akhir pekan, putus pacaran. Padahal besoknya harus bekerja. Dengan mata sembab, saya beranikan diri pergi juga ke kantor besok pagi. Yang saya ingat waktu itu, berat juga menjalani hari. Rasanya ingin membenamkan kepala ke bantal seharian. Tapi apa hubungannya business meeting dengan putus pacaran? Nggak ada. Yang satu buat menafkahi diri, yang satu bikin patah hati. Life goes on. Jadi meskipun hari itu tidak ada satu pun pembicaraan sepanjang meeting yang saya ingat, tapi saya tetap hadir. Tetap mengangguk-angguk dan tersenyum. Tertawa kecil kalau ada yang berusaha bercanda.
Because sometimes we have to fake things to get through the day.
Orang yang Anda temui sehari-hari tampak ceria dan sepertinya bebas dari masalah, mungkin di rumah justru merasa kesepian. Because we fake it.
Orang yang Anda lihat penuh percaya diri, dan mampu mempesona orang-orang lain dengan anggukan dan senyuman, mungkin sebenarnya justru sangat insecure dengan penampilannya. Because they fake it.
Orang yang Anda lihat di kaca setiap hari, yang menghela nafas panjang karena kesal dan siap dengan segala sumpah serapah dalam hati, tapi akhirnya tidak jadi mengeluarkan kekesalan dan menjalani hari seperti biasa. Because you fake it.
Mungkin kita tidak sadar bahwa sebenarnya kebiasaan berpura-pura ini sudah ditanamkan dari kecil. Saat kita terjerembab waktu bermain, ibu atau pengasuh kita buru-buru menghampiri kita. Sambil meniup luka, mereka berkata, “Uh, kasihan. Sakit ya? Nggak kok, nggak sakit. Nggak apa-apa. Nggak usah nangis ya.”
Alam bawah sadar sudah menuntun kita untuk menekan emosi. Bahwa yang namanya emotional outburst needs to be suppressed. Tampilkan yang baik-baik saja. The world needs not to know your downside.
Maka dari itu saya percaya bahwa tidak ada 100% kejujuran di dunia ini. Semuanya sudah diproses sedemikian rupa. Kejujuran itu cuma terjadi saat kita tidur. Dengkuran kita itu bukti kejujuran kita. Jujur kalau kita capek, lelah setelah menjalani hari.
Kecuali kalau ada kamera yang merekam aktivitas kita, maka gaya kita tidur pun harus dibuat cantik atau menarik sedemikian rupa.
Because we can always fake it.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan quote dari salah satu film favorit saya sepanjang masa, The Breakfast Club karya almarhum John Hughes. Coba cari filmnya dan tonton deh. Terutama buat kalian yang masih remaja, atau buat Anda yang ingin mengenang kembali masa-masa sebelum kita harus terlalu sering berpura-pura.

Kemarin habis nonton The Little Prince (lagi) dan Mr. Holmes. Menemukan semacam benang merah dari dua kisah di film itu, yang nampaknya juga masih nyambung dengan bahasan linimasa kali ini.
Sejatinya tak ada fiksi yang tak berawal dari kenyataan, kan?
SukaSuka
Kadang yang saya palsukan adalah keberanian. Untuk bisa bilang, i dont give a damn and go with my self. Meskipun rasanya sepiiiii..
SukaSuka
fake it until we make it. motto abad 20. hahaha.
SukaSuka
Kalo abad 21 sekarang, jadinya gimana dong?
SukaSuka
fake it, win it? 😛
SukaSuka
Reblogged this on #tintakopi.
SukaSuka
sekarang semua being fake
bukan nya gamau jujur tapi tuntutan lingkungan mengharuskan untuk pasang sikap fake
dan akhirnya tercipta sikap template
SukaSuka
Wow. What a rhyme! Dari fake jadi template.
SukaSuka
And we fake orgasm too 😀
SukaSuka
Oh, indeed. Lupa ditulis karena udah lupa rasanya. #eh :))
SukaSuka
Well, saya pikir dulu saya sangat banyak berpura2. Ternyata sekarang lebih banyak lagi. Marah tapi tidak boleh karena yang dihadapi lebih tua. Tidak mau mengerjakan extracurricular work tapi dikerjakan juga karena paling bawah. Mau tidur tapi belagak segar karena paling tua di hirarki jaga… apapun itu, you will learn to go with the needed norms
SukaSuka
That’s true. Sadly, in most cases, we have to go with the commonly perceived norms. Kalo gak diikuti, dianggap membangkang.
SukaSuka