Written by

Sari muridku menulis paragraf ini:

Matahari membakar di ujung timur. Sinarnya menandakan pagi tiba. Suharto telah siap di lapak bukunya. Ia mulai menumpuk barang dagangannya yang sudah lapuk di makan usia dan debu dari jalanan ramai yang hanya berjarak 1 meter di depan lapak. Istrinya menemani dengan gelisah sambil menimang si bungsu yang kurus kering kelaparan. Suharto terlihat sedih…

Tulisannya tentang seorang penjual buku tua di Bandung bernama Suharto. Sari melakukan observasi dan wawancara langsung selama kurang lebih 2 minggu. Mendatangi rumah Suharto dan menemui beberapa penjual buku di sana. Memoto dan mencatat nama-namanya serinci mungkin. Ndak ada kurang. Sampai Ilham, juga belajar di kelas yang sama, menyatakan keberatannya.

Ilham bilang tulisan Sari memihak. Seperti kebanyakan tulisan manusia lainnya; Sari mengandalkan mata lebih dari indera lain yang ia miliki. Sinar, ramai, 1 meter, kurus, sedih. Persepsi pengelihatan itu mengalir deras di tiap kalimat. Ini baru satu paragraf. Padahal tulisan Sari sampai 6 ribuan kata.

Bagi Ilham yang tuna netra, tulisan Sari sukar dipahami. Ilham ndak tau sinar Matahari. Ia belum pernah lihat wujudnya. Jangankan sinarnya, matahari ia kenal lewat kokokkan ayam, panas dan wangi daun yang melakukan fotosintesa. Ramai, Ilham alami dari aneka suara dan bebauan yang mulai heterogen di udara. Satuan panjang ia kenal lewat langkah, jengkal dan volume bunyi dari sumber suara atau pantulan benda di depannya. Ia ndak tau kurus dan gemuk kecuali ia bisa meraba tubuh seseorang. Lalu emosi ia tangkap dari campuran reaksi lawan bicara dan perasaannya sendiri.

Sari juga ndak salah. Ia terlahir dengan mata. Dunia mengajarinya lewat pengelihatan. Kitab agamanya memerintahkan iqra! (baca). Orangtuanya bilang liat-liat saat menyebrang jalan. Hukum negerinya cuma terima saksi mata. Saksi telinga ditolak di pengadilan. Indahnya pulau Bali seringnya soal pemandangan, bukan wangi sambal matah.

Ilham berbeda dari Sari. Diluar sana ada ilham lain dengan kondisi yang beragam-ragam. Ndak bisa mendengar, mencium, menyecap atau meraba. Permintaan mereka sederhana: berceritalah melalui panca indera. Gunakan semua anugerah dengan berimbang, sebelum kita kehilangan salah satunya.

image
Panca Indera. Sumber: Google

Dengan bimbingan Ilham, Sari menyesuaikan paragraf soal Suharto si penjual buku tanpa mengurangi makna seperti ini:

Matahari terbit di ujung timur. Hangatnya menandakan pagi tiba. Suharto siap di lapak bukunya. Ia mulai menumpuk barang dagangannya yang berbau apek karena umur bercampur pengap debu dari jalanan riuh yang hanya berjarak 2 langkah di depan lapak. Istri Suharto menemani sambil membelai si bungsu yang kelaparan. Suharto menitikkan air mata…

Berkurangnya otoritas mata membebaskan pembaca dari paksaan interpretasi citra. Sekarang, emosi bukan hak penulis. Ia sepenuhnya dikembalikan pada pembaca. “Suharto menitikkan air mata” jauh lebih kompleks dari sekedar “sedih.” Karena, ndak semua yang terlihat benar adanya.

9 tanggapan

  1. LINIMASAKami Avatar

    […] kita sepakat bahwa kami senang menulis. Gandrasta bilang, menulislah dengan panca indera. Dengan kepekaan terhadap sekitar Nauval bilang apakah kita perlu berpura-pura? Tidak! Tak ada yang […]

    Suka

  2. Penulis Avatar

    Gue suka banget, jujur!

    Disukai oleh 1 orang

  3. titiensoe Avatar

    Sukak banget. Mungkin kalau dosen Bahasa Indonesia kaya Gandrasta, mahasiswa nggak akan titip absen atau nyari alasan ikut seminar ini itu sekadar buat bolos.

    Disukai oleh 1 orang

    1. gandrasta Avatar
      gandrasta

      *tersipu

      Suka

  4. Alan Avatar

    Mantep banget nih tulisan. Bungkus!!!

    Suka

  5. Membaca Tulisan | LINIMASA Avatar

    […] saya tersenyum membaca tulisan Gandrasta hari Senin kemarin. Tulisan mempunyai nyawa sendiri. Ada senses atau panca indra yang tak terlihat, tapi dapat terbaca […]

    Suka

  6. widya Avatar
    widya

    selalu suka cara gandrasta bercerita. sekarang ada alasan utk sedikit menyukai senin.

    Suka

  7. psychkid Avatar

    Tulisannya cantik

    Suka

  8. Bravorio (@Bravorio) Avatar

    Nunggu seharian, dan setelah baca malah sedih…

    Suka

Tinggalkan komentar