Rasanya mustahil untuk tidak sepakat bahwa perempuan adalah makhluk yang indah. Konsekuensinya, keindahan itu menuntut agar terus dipertahankan, entah bagaimanapun caranya. Baik yang bersifat badani maupun rohani, atau–seperti komentar keren Mbak Dian di posting-annya Mas Roy Sabtu lalu–yang bersifat kuratif maupun preventif. Misalnya, perawatan fisik dengan rajin ke salon, memanjakan diri dengan aneka rupa spa; berolahraga Zumba demi tubuh yang kencang; memperbaharui penampilan dengan tas, sepatu, bahkan perhiasan model terkini; giat bepergian demi memperluas wawasan; punya waktu khusus untuk saling bertemu sesama perempuan supaya bertukar pikiran khas dunia Kaum Hawa; main game dan lebih ekspresif, atau beryoga agar tidak terpenjara stres; dan sebagainya.
Dengan semua itu, boleh kiranya jika kita sebut perempuan sebagai jenis manusia yang mesti high maintenance, memang harus dimenangkan hatinya, dan berhak diperlakukan istimewa oleh para pria yang mengejarnya. Terlebih untuk mereka yang cantiknya luar-dalam, punya outer beauty dan inner beauty seimbang.
Case closed. Ya kan?
Sekarang, marilah kita lihat dari sisi seberangnya. Apabila perempuan adalah makhluk yang indah, bagaimana dengan para pria? Bolehkah dinilai lewat parameter “indah” juga? Indah yang seperti apa? Diindra dari mana? Atau gara-gara apa? Termasuk apakah bisa memenangkan hati perempuan lewat keindahan pula? Keindahan para pria, tentunya.
Apa yang membuat seorang pria begitu menarik? Setiap orang tentu punya jawaban masing-masing. Namun satu hal yang pasti: manusia, apapun jenis kelamin maupun preferensi seksualnya, adalah makhluk visual. Semuanya berawal dari mata. Ini fakta yang tak terbantahkan. Toh dalam beberapa kasus, banyak yang naksir penyiar radio karena suara, namun ujung-ujungnya ngebet pengin ketemu juga. Setelah itu, ujung ceritanya mungkin berbeda.
Dangkal memang, melakukan penilaian awal lewat yang kasatmata. Tapi mau bagaimana lagi, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Lantaran urusan yang kasatmata ini, lambat laun para pria juga mulai ikut-ikutan mesti high maintenance. Tuntutan zaman. Okelah, wajah cantik atau ganteng itu kuasanya Tuhan. Kecuali kalau bersedia rogoh kocek dalam-dalam menjalani operasi plastik di Korea sana. Namun perihal rawatan dan bentuk tubuh, gaya busana, serta bahasa tubuh dan pembawaan, masih bisa diusahakanlah.
Lebih dari 20 tahun lalu, tepatnya 15 November 1994, sebutan Metrosexual pertama kali dilontarkan Mark Simpson di surat kabar The Independent.
“Metrosexual man wears Davidoff ‘Cool Water’ aftershave (the one with the naked bodybuilder on the beach), Paul Smith jackets (Ryan Giggs wears them), corduroy shirts (Elvis wore them), chinos (Steve McQueen wore them), motorcycle boots (Marlon Brando wore them), Calvin Klein underwear (Marky Mark wears nothing else). Metrosexual man is a commodity fetishist: a collector of fantasies about the male sold to him by advertising.”
– Mark Simpson, 1994.
Formulasinya sederhana: pria ingin tampil lebih keren. Keinginan itu disambut sebagai peluang bisnis, berupa produk mulai dari parfum sampai kancut. Tren ini terus berkembang, menempatkan pria sebagai pangsa pasar yang tetap potensial hingga beberapa dekade ke depan, bahkan sampai sekarang. Seperti pada Maret 2014, HSBC Global Research menyatakan bahwa kaum pria masih memiliki dorongan psikologis untuk terlihat keren dengan model potongan rambut, baju, sepatu, tas, termasuk jam tangan. Hasil riset ini dirilis dengan tajuk “Rise of the Yummy, Young, Urban, Male: Three Reasons to Rejoice.”
Hanya saja, pria makin menyadari bahwa metroseksualitas sebatas perkara fashion. Penampilan yang keren pun harus dibarengi dengan perawatan tubuh. Percuma pakai kancut berlabel pinggang CK, kalau punggungnya panuan.
Perubahannya terjadi secara bertahap, namun simultan. Durasi mandi jauh lebih lama, sebab momen umumnya terbagi menjadi: berkaca, bersampo, pakai sabun muka, pakai sabun badan, lalu berkaca lagi. Bisa jadi sudah sangat jarang ada pria warga kelas menengah masa kini, yang menggunakan satu jenis sabun sekaligus untuk muka dan badan, apalagi untuk cuci rambut sekalian. Ini adalah contoh yang paling umum, terlepas dari peningkatan kecenderungan pria yang menggunakan pelembap atau lip balm untuk mengatasi kulit kering, menggunakan lulur untuk menghilangkan belang kulit tubuh yang terbakar matahari, bahkan menjalani proses facial, dan sebagainya. Gelombang narsisme pria mulai tumbuh.
Di tahap ini, para pria makin kebal dengan cemoohan: “cowok kok takut hitem?”, “cowok kok takut makan banyak?”, “cowok kok takut kotor?”, “cowok kok ke salon?”, “cowok kok takut keringetan?”, “cowok kok cukur bulu ketek?” dan sejenisnya. Seolah-olah kaum pria itu identik abadi dengan warna kulit yang belang-belang, bau keringat yang semerbak, rambut ketiak yang gondrong, berdaki, kulit lengan kering atau bibir pecah-pecah yang dibiarkan begitu saja, makan dengan porsi kuli, pangkal-pangkal jari yang menebal kapalan, dan seterusnya.
Tanggapan publik pun beragam. Ada yang menganggap bahwa cowok itu harus manly, dan manly di sini berarti segala kemampuan untuk bersikap apa adanya. Beda tipis dengan gaya hidup manusia purba. Tapi tak sedikit pula yang merasa bahwa pria terawat jauh lebih menarik dan menyenangkan.
Keadaan terus berkembang. Makin banyak pria yang peduli dengan bentuk tubuh. Bandingkan dengan keinginan perempuan untuk memiliki tubuh yang langsing, paha dan lengan yang tidak kegedean, serta memiliki pantat dan payudara yang kencang lewat senam. Walhasil, keanggotaan gym melonjak drastis walaupun dengan tarif lebih dari Rp 500 ribu per bulan. Mendorong sektor ini menjadi prospek bisnis baru. Soal tujuan nge-gym jelas beragam. Tatkala ada yang mengaku hanya ingin menjaga kebugaran tubuh, ada pula yang terang-terangan ingin punya bentuk tubuh ideal supaya terlihat bagus kala mengenakan setelan tertentu. Di level berikutnya, ada yang ingin memiliki tubuh atletis agar mendukung profesinya, entah sebagai model, P.R.O., resepsionis, atau pramuniaga butik-butik premium. Contohnya, pernahkah Anda lihat Mas-Mas di Zara yang cungkring?
Tidak sampai di situ saja, arus informasi gencar menyuguhkan ilusi realitas hiper bagi para pria. Memunculkan figur dambaan yang ditiru habis-habisan. Dua tokoh populer dunia, David Beckham dan Cristiano Ronaldo sebagai contoh. Hampir seisi dunia sepakat bahwa mereka adalah pria tampan (sebab cakep itu relatif, sedangkan jelek itu mutlak), memiliki bentuk tubuh yang bagus, dan Metrosexual. Ditambah mempunyai karier olahraga dan non-olahraga yang cemerlang, serta Beckham adalah sosok suami dan ayah idaman. Apa yang bisa Anda cela dari mereka?

***
Dengan ini, gelombang narsisme pria kembali termodifikasi. Awalnya, narsisme pria dianggap serupa dengan narsisme perempuan yang kenes. Namun pandangan umum mempertanyakan, mau kenes seperti apa kalau lengan kekar berotot, punggung tegar, dada bidang, dan perut kotak-kotak macam roti sobek?
Sampai di titik ini, para pria menyadari bahwa akan lebih baik bila mereka memiliki tubuh atletis atau setidaknya terawat, tampil trendi dan keren atau setidaknya rapi dan wangi. Bakal jauh lebih baik lagi, apabila semua itu dibayar pakai uang sendiri. Voila! High maintenance man.
Apakah Anda setuju?
Eitsss… Perubahan terus terjadi. Ada kecenderungan bahwa dengan semua kualitas positif yang membuat pria menjadi makhluk indah tadi, perkembangan narsisme tak mandek. Metrosexual berganti menjadi Spornosexual.
Narsisme kaum pria pun merambah pada hal yang primordial: seksual. Pria ingin untuk diinginkan, sebab mereka yakin bahwa dirinya spesial. Keyakinan tersebut dipupuk karena mereka terbiasa mendapat komentar positif dari sekitar, yang memuji bentuk tubuh, wajah, tato di lekukan otot, tindik di beberapa bagian tubuh, bahkan rangkaian cambang-janggut yang menyatu rapi dan ngegemesin bagi sebagian orang. Jadi, jika ada yang tertarik kepada mereka secara seksual, akan diladeni. Hitung-hitung kompensasi untuk diri sendiri. Pria di level ini, akan sangat menikmati berlibur di pantai, ketika mereka bebas beraktivitas berbalut kancut Speedo saja. Enggak pakai mikir.
Secara suportif, lingkungan pun mulai mafhum dengan segala kualitas outer beauty mereka. Buktinya, ketika banyak perempuan mendadak ganjen saat berada di dekat pria-pria idolanya.
“Glossy magazines cultivated early metrosexuality. Celebrity culture then sent it into orbit. But for today’s generation, social media, selfies and porn are the major vectors of the male desire to be desired. They want to be wanted for their bodies, not their wardrobe. And certainly not their minds.”
– Mark Simpson, 2014.
Pesan moralnya cuma satu: hati-hati kalau pilih calon pacar.
[]
Dih pesan terakhirnya inspirasional sekali. Beneran ya, jaman skrg nyari cowok yang gak narsis susah haha.
SukaSuka
Federer itu nyata ya?
:p
SukaSuka
Real, but unreachable. Hehehe…
SukaSuka
Suka pria yg tau menjaga kebersihan (misal mandi, keramas, cukur rambut) tapi tidak jijik an untuk menyentuh atau mengerjakan hal yg kotor. Tau jaga kebersihan tapi juga tidak risih kalo harus kotor. Jadinya terlihat manly 🙂 sukurlah sudah punya yg spt itu :p #eh
Btw, soal “Semuanya berawal dari mata”, masih ada pasangan2 tuna netra lho 🙂
SukaSuka
Congratulations, then. 😁
Ehm, soal pasangan yg itu, saya ndak berani komen. Selama ini cuma pernah melihatnya lewat mata. 😊
SukaSuka
Ah! Jadi paranoid sendiri. Syit
SukaSuka
Nah, ini, jangan sampai paranoid dong. Lemme tell You a secret: “go ask him!” kalau kapan-kapan pengin dekat dengan cowok yg cukup keren untuk dicurigai macam-macam. 🙂
SukaSuka
Ah, this is complicating.
SukaSuka
pasang plang
MENERIMA JASA CURHAT 24 JAM
tarif bersaing.
SukaSuka
MAU CURHAT DONG, MAZ. Please. This is.. Serious. Hahaha
SukaSuka
Iya. 🙂
I (belagak) sensed something fishy here.
Kalau memang seperti apa yg saya pikirkan, ya semuanya balik ke kamu: tetap betah dan senang diombang-ambingkan ketidakjelasan, atau sudah geregetan dan berani ngambil langkah… lega dan siap dengan konsekuensinya.
Sotoy ya? Emang.
SukaSuka
Ko kakaknya ini, kampret sih?
Ngedukun jangan-jangan. Tapi, terimakasih. Membantu setidaknya.. 0,2% dari 100%.
SukaSuka
Setujes! Nggak cuma perempuan yang kudu cantik dan wangi… pria kalau mandi dan keliatan resik, pasti gantengnya nambah… bayang pun, gimana kami ini para perempuan membayangkan ciuman sama Mas’e klo nampaknya si Mas nggak pernah gosok gigi? Gimana mau ndusel klo si Mas bau bluwek dan berdebu? scrub pake abu gosok
Tapi, punya selera pria macam begini seringkali saya diledekin, “yakin cowok yang lo taksir mau sama pere?” sigh emang susah sih nyarinya, tapi ada! Sungguh!
SukaSuka
Perjuangan belum berakhir! 💪💪
SukaSuka