ADA masanya ketika gambaran laki-laki ideal adalah mereka yang macho, punya aura maskulin yang sangat kuat, dan merupakan para alpha males. Sepaket dengan penggambaran ideal ini, para laki-laki yang termasuk dalam golongan tersebut pun identik dengan pekerjaan-pekerjaan kasar, berani kotor-kotoran, gagah (belum tentu tampan), harus heteroseksual, dianggap lumrah jika misoginis, dan terkadang tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan intensitas berahi mereka terhadap perempuan, serta punya kecenderungan untuk tidak terlalu acuh dengan penampilan fisiknya sendiri.
Ditarik ke awal era 90-an, istilah “Metrosexual” muncul dan mulai gampang teridentifikasi. Tidak serta merta menggantikan atau melampaui para laki-laki macho, laki-laki “Metrosexual” merupakan produk dari perubahan perspektif; perubahan cara pandang para laki-laki terhadap diri mereka sendiri secara fisik.
Tanda-tandanya adalah relatif sensitif dengan padu padan pakaian dan segala hal terkait, mulai tidak tabu terhadap perawatan fisik–termasuk wajah dengan metode-metode yang selama ini hanya diakrabi para perempuan di salon, memerhatikan bentuk tubuh dengan menjaga makan dan melakukan olahraga, lebih berhati-hati terhadap ragam aktivitas yang dilakukan baik dalam konteks pekerjaan maupun rekreasi.

Apesnya, para laki-laki “Metrosexual” dan ragam perilakunya juga telanjur digeneralisasi dengan orientasi seksual. Ada anggapan yang mengatakan bahwa semua laki-laki “Metrosexual” pasti homoseksual. Karena ini, akhirnya banyak laki-laki yang enggan, bahkan menolak untuk digelari demikian. Sebutan Metrosexual pun mengalami perendahan makna, menjadi semacam olok-olok yang boleh dianggap setara dengan sebutan “bencong!” Padahal enggak nyambung.
Miskonsepsi dan generalisasi terhadap istilah “Metrosexual” terjadi sampai sekarang, bahkan setelah “Metrosexual” berevolusi menjadi “Spornosexual”, menjadi semacam Freudian upgrade.
“Spornosexual” dekat dengan perspektif Freudian, lantaran salah satu aspek utamanya adalah pemenuhan keinginan seksual. Keinginan, bukan kebutuhan. Ingin meniduri seseorang, bukan butuh meniduri seseorang. Itu sebabnya ada “porno” dalam “Spornosexual”.
Pendekatannya relatif mirip dengan kondisi “Metrosexual”, yaitu menonjolkan penampilan. Kali ini bukan dari setelan, pakaian, atau padu padan yang keren, juga dengan bentuk badan. Logika yang digunakan adalah: “Penampilan dan bodiku keren, orang lain pasti suka dan gemas untuk ‘merasakannya’…” atau “hey girl… I’m fcukin’ hot, let’s have sex with me…” Oleh sebab itu, kita akan sangat mudah menemukan para laki-laki “Spornosexual” yang memang memiliki tubuh atletis, dan berani memamerkannya di depan umum tanpa ragu.
Beruntung bagi para laki-laki dengan karakteristik bawaan atau genetik unggul, yang memudahkan mereka punya bodi bagus tanpa harus payah-payah berolahraga. Contohnya, barangkali, seperti orang-orang berdarah latin atau Hispanic, ataupun para blasteran yang memiliki paduan gen-gen bagus dari orangtuanya. Para perempuan pun bisa saling membatin gara-gara hal ini. Mereka membicarakan pasangan orang lain yang seksi.

Walaupun demikian, “Spornosexual” juga tak bisa lepas dari generalisasi. Pasalnya, di zaman yang serbaterbuka, dengan kian banyak orang yang terang-terangan promiscuous ini, sinyal-sinyal seksual bebas beterbangan.
Apabila ada seorang laki-laki keren menolak tawaran berhubungan seksual dengan perempuan yang bukan pasangannya, dia akan dicibir sok suci, atau pengecut dan takut dengan istri, atau tititnya kecil dan tidak jago melakukan hubungan seksual, atau malah diolok-olok sebagai seorang homoseksual.
Padahal tidak menutup kemungkinan ada laki-laki dengan bentuk badan sangat bagus, tampan, berpenampilan keren, serta luwes dalam bergaul dengan siapa saja, akan tetapi tetap memiliki kendali diri menyangkut seksualitasnya. Misalnya, dia memang sangat percaya diri memamerkan otot-otot tubuh ketika sedang berlibur di pantai, tapi hanya berkomitmen untuk setia dan hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
Kini, sudah ada istilah keempat dalam perkembangan gambaran ideal kaum laki-laki modern; “Renaissance Man”. Bukan fenomena yang benar-benar baru, melainkan mencuat kembali.
Juga dikenal dengan sebutan “Polymath”, ialah kombinasi “Metrosexual”, “Hipster” (sesuai dengan budaya para millennials akhir-akhir ini), dan memiliki kualitas “Multiple Intelligences” dari teori pendidikan kontemporer. Syukur-syukur kalau macho juga. Sebab kualitas laki-laki tak hanya dinilai dari seberapa manly-nya dia; seberapa keren dan terawat penampilannya; seberapa bagus badannya, dan seberapa menarik secara seksual; namun juga dari seberapa banyak kemampuan karya atau keahlian yang dikuasainya.

Mengenai kemampuan karya ini, tak harus berhubungan dengan pekerjaan, mata pencarian, maupun profesi. Bisa berupa kemahiran dalam seni atau bahasa, bidang-bidang terapan yang sedang menjadi tren saat ini, jago saat ber-multitasking membagi fokus antara pekerjaan formal dan kemampuan-kemampuan tersebut. Sebagai contoh, ada laki-laki muda yang memiliki pekerjaan sebagai Co-Founder sebuah start-up kreatif, dia bisa main gitar klasik, pintar menciptakan puisi sekaligus lirik lagi, bisa programming dan menguasai beberapa jenis bahasa program, suka doodling, jago foto, mampu membaca kartu Tarot, serta beberapa kebisaan lainnya. Oya, hampir semua tokoh yang gambarnya ditampilkan dalam posting-an Kang Agun kemarin termasuk para “Polymath”. Rata-rata ahli dalam banyak bidang.
Di sekitar kita, teman sendiri atau dengan bantuan media sosial, semakin mudah menemukan laki-laki dengan kualitas seperti itu, kan? Silakan cek tab “Explore” di Instagram dan Instagram Stories-nya. Ada yang benar-benar menguasai banyak bidang, namun ada juga yang terlihat sedang berusaha keras menguasai bidang-bidang tersebut, untuk kemudian menyerah dan berhenti melakukannya. Saya, kamu, suadaramu, temanmu, pacarmu, atau suamimu mungkin adalah salah satunya.
Keempat fenomena sosial dan psikologis terhadap laki-laki di atas, muncul sebagai sebuah keniscayaan. Saat kondisinya tepat–paduan antara budaya dan persepsi umum setempat, collective consciousness, tren gaya hidup, dan sedikit kebetulan–banyak laki-laki yang berusaha mengejar gambaran ideal mereka. Penyebabnya, if I may, tak lain adalah paduan dari insecurity dan ego. Insecurity lebih kepada dorongan batin untuk harus mengubah diri dan melakukan penyesuaian secepatnya, supaya bisa menjadi seperti sosok yang diinginkan, diterima bahkan dikagumi sekitarnya.
Ada pula ego, dengan beberapa cabangnya. Beberapa di antaranya seperti narsisme atau rasa sangat cinta dan menyenangi diri sendiri secara harfiah, rasa haus pujian dari orang lain, dan rasa bangga pada diri sendiri apabila “laku” dan terbukti dengan sesi bobo-bobo lucu dengan “warga sekitar”.
Khusus untuk “Renaissance Man”, tetap ada tambahan motivasi yang netral dan positif. Yaitu memang gemar melakukan atau hobi dalam bidang keahlian tersebut; maupun memang ingin menghasilkan karya, baik yang bisa diapresiasi, atau yang bisa digunakan orang lain. Tak heran, workshop-workshop kekinian bertema “DIY” (Do it Yourself) ngetren sejak setahun terakhir, dan masih seru-serunya sampai sekarang.
Mengacu pada pembahasan ini, kondisi-kondisi di atas punya “penghuninya” masing-masing. Ada yang bertahan dan hidup dengan gambaran ideal sebagai laki-laki macho, ada pula yang tetap menjadi “Metrosexual” dan hanya peduli dengan penampilan eksternal secara harfiah, ada yang merasa masih nyaman menjadi “Spornosexual” karena punya keberanian untuk mengekspose sexual appeal-nya secara konstan, dan mereka yang termasuk “Renaissance Man” sibuk mengejar semua hal dan pencapaian pada bidang-bidang tertentu.
Sementara itu, ada juga para laki-laki yang tidak tahu, atau tidak peduli dengan empat penilaian sosiokultural di atas. Mereka terus menjalankan kehidupannya dengan rasa nyaman yang ada, di luar kategorisasi tersebut.
Jadi, jangan dikira hanya perempuan saja yang kehidupannya ribet, para laki-laki juga.
Terberkatilah mereka, laki-laki dan perempuan yang tinggal jauh dari kompleksitas kehidupan kota, sehingga enggak mudah dimanipulasi sekitarnya. Karena pada akhirnya, nilai seorang laki-laki terletak pada bagaimana dia memandang dirinya sendiri; hal baik apa yang telah ia lakukan; dan yang ia tinggalkan.
[]
Btw, kira-kira menurutmu siapa ya orang Indonesia yang “Polymath” dan bikin kagum banget?
kupikir ga gampang dimanipulasi oleh lingkungan sekitar itu seharusnya jadi salah satu karakter dasar yang harus dimiliki semua orang, koh. Apalagi di zaman sekarang, tinggal jauh dari kota pun kalau punya sinyal bisa terpapar medsos. Tapi susah juga sih, keinginan jadi sama kayak yang lain dan diakui yang lain kalau kita ada, kan, termasuk sifat bawaan menurutku.
Nice writing, Koh.
SukaSuka
Selain sifat bawaan, kan ada motivasi dan alasan. Kalau sifat bawaan susah diubah, setidaknya motivasi dan alasan masih bisa bergeser. Hehe. Bisa kembali ke teori keinginan versus kebutuhan. 😀
Terima kasih.
SukaSuka