“Tergantung. Mau dilihat dari mana? Sebagai prokreasi atau rekreasi?”
…
Minggu sore kemarin, dalam pertemuan tak sengaja di sebuah kafe yang baru buka. Pembicaraan menghasilkan satu kesimpulan: “kawin bukan melulu soal seks, seks tidak cuma penetrasi dan ejakulasi, penetrasi dan ejakulasi pun belum tentu hanya untuk membuahi.” Jelas, kesimpulan ini bukan suatu pemikiran yang baru atau revolusioner. Apalagi setiap orang memiliki persepsi masing-masing terhadap urusan yang satu ini.
Sama seperti makhluk hidup lainnya, manusia melakukan hubungan seksual untuk berkembang biak, meneruskan jejak karbon di muka bumi ini. Namun kita patut bersyukur, menjadi makhluk dengan pikiran dan perasaan. Sehingga dianugerahi kemampuan untuk bikin hubungan seksual bukan sekadar persetubuhan. Lengkap pula dengan bentuk genitalia sedemikian rupa, yang mengharuskan terjadinya kontak fisik secara langsung. Membuat manusia mengenal kata “intim” dan “mesra”. Berbeda dengan ikan, misalnya. Ketika sang betina harus men-squirt sel telurnya ke lokasi tertentu, untuk kemudian dibuahi pejantan secara terpisah. Ibarat punya anak dari hasil masturbasi.
…
Dengan pikiran dan perasaan, hubungan seksual bisa menjadi lebih nikmat dan menyenangkan, bahkan mampu membuat para subjeknya mengalami ekstase dalam arti sebenarnya. Dengan pikiran dan perasaan pula, aktivitas yang sama dapat terasa begitu menyakitkan, melukai, dan meninggalkan trauma. Hanya saja, karakteristik kedua kutub ini begitu versatile, sangat rapuh, terlampau luwes. Dalam banyak kasus, banyak orang tak sadar bahwa kenikmatan seksual yang ia rasakan mengarah pada adiksi, membuatnya terikat pada delusi. Kehilangan common sense. Saking parahnya, juga melibatkan pemaksaan. Menjadikan hubungan seksual tak lebih dari sekadar aksi untuk bisa muncrat doang. Membuat coli pantas disebut kemandirian seksual. Toh, senikmat-nikmatnya hubungan seksual, apa mesti berujung pada ketergantungan?
Pikiran dipengaruhi banyak faktor, termasuk nilai-nilai etika, standar moral, kaidah kepatutan, pertimbangan pribadi, dan alasan-alasan lainnya. Contoh umumnya, keperawanan dan ikatan pernikahan. Tanpa bermaksud sexist atau mengkultuskan selaput dara, diasumsikan bahwa perempuan akan lebih rela bersanggama dengan pasangan resminya, ketimbang separuh hati menyerahkan diri kepada pacarnya dengan embel-embel “pembuktian cinta.” Selain itu, konon, hubungan seksual yang dilakukan tanpa perasaan bersalah, dan dijalani dengan optimal oleh kedua belah pihak, akan terasa lebih menyenangkan. Berkemungkinan besar pula bisa menghasilkan pembuahan yang lebih baik, memang sangat dinantikan.
Sebagai sumber kreativitas, pikiran mewujudkan hal-hal baru dalam urusan seksual. Bisa berupa inovasi, fantasi, atau sekadar variasi. Selama tidak menghilangkan kenyamanan (dengan batas nyaman yang berbeda-beda), pikiran akan bersifat permisif dan mudah mendapat persetujuan. Sesuatu yang awalnya dianggap aneh/salah, bisa diterima siapa saja menjadi sesuatu yang wajar/benar. Misalnya, hingga era 70-an, hubungan seksual hanya lazim dilakukan di atas ranjang. Seiring berjalannya waktu, sah-sah saja bila pasangan suami istri ingin saling melancarkan serangan di dapur, ruang tamu, atau bahkan balkon loteng. Maupun perubahan gaya, dari posisi pemula (man-on-top alias posisi Missionary) jadi gaya berdiri, dan sebagainya. Beragam perubahan ini menjanjikan sensasi atau pengalaman seksual berbeda. Disebarluaskan secara terbuka pula.
Dewasa ini, pemikiran timpang mengenai struktur sosial gender juga mengemuka. Bagi oknum sebagian pria, terlebih yang merasa ganteng, merasa punya bentuk bodi idaman, merasa keren atau tajir melintir, juga merasa punya titit dan kelihaian seksual yang patut didambakan, kemampuan menaklukkan hati–dan kelamin–perempuan dianggap pembuktian sebuah keniscayaan. Atau versi ironisnya, cuma doyan “nyicip”. Apabila berhasil, bangga dan diumbar ke teman-teman satu geng laiknya sebuah pencapaian. Ndak tau kalau di semesta gay, apakah dengan latar belakang sama (pembuktian kalau masih laku, doyan “nyicip”) atau ada alasan berbeda.
Dari pikiran juga, seseorang bisa mengendalikan diri. Ibarat kata walaupun titit ngaceng maksimal, tapi tetap enggak asal sodok sana tusuk sini. Para cewek pun bisa tegas mengatakan tidak. Dengan berpikir, masih sempat mempertimbangkan konsekuensi yang bisa dihasilkan. Sila dibayangkan dan dibandingkan. [Cowok] Setelah sempat berhubungan seksual dengan pacar, apakah sanggup merasakan dan melawan dramanya? Apakah merasa terikat? Bak simalakama, apabila kamu terikat, maka kamu akan terpaksa merasakan ketidaknyamanan. Tapi apabila kamu tidak terikat, kamu dianggap cowok bajingan. Cuma mau ngewe doang. [Cewek] Setelah sempat berhubungan seksual dengan pacar, dan ternyata dia suka selingkuh tapi enggak mau mengaku salah, siap untuk putus? Di satu sisi, pasti pengin putus. Di sisi lain, pasti berasa enggak rela. Serba salah, kan?
Selain itu, pikiran juga bisa membuat seseorang begitu anti dan tabu terhadap hal-hal seksual. Pemikiran tertentu membuat seseorang lebih suka bersetubuh dalam kegelapan, melakukannya dengan cepat dan terburu-buru, enggan berkomunikasi dengan pasangan meskipun kenyataannya selama ini selalu dibuat tak nyaman dan “ditinggal dalam kondisi kentang”, menghindari berfantasi dan variasi, memutuskan untuk frigid, atau sekalian menjadi seorang aseksual maupun selibat setelah mendapat panggilan spiritual.
Sedangkan perasaan cenderung dipengaruhi dua hal: rangsangan indra dan perasaan itu sendiri. Dan kinerja perasaan tak akan bisa lepas dari pikiran. Keduanya saling sinergi, bisa menguatkan, atau malah melemahkan. Sederhananya, apabila tubuh mendapatkan sentuhan lembut di titik yang tepat, pasti ada yang tegang, bisa sange. Tanpa memandang siapa yang memegang, dan apa orientasi seksual orang yang dipegang. Kecuali kalau pikiran mengintervensi dengan kerisauan, dan penyebab ketakutan. Yang ngaceng akan layu seketika, gelisahnya batal. Ya pada intinya, Anda paham maksud saya.
Lalu, bagaimana sebaiknya memandang seks?
“Tergantung. Mau dilihat dari mana? Sebagai prokreasi atau rekreasi?” Mau dilihat sebagai aktivitas berkembang biak, atau sebagai kegiatan yang memberi kenikmatan. Sebab pada dasarnya, seks tak bisa dilepaskan dari tujuan awal pelaksanaannya. Apakah ingin menghasilkan keturunan? Apakah ingin merasakan keintiman bersama pasangan? Atau keduanya? Terserah Anda sih. Jika bingung, ikuti saja panduan agama masing-masing. Bila agnostik, pakemnya cuma satu: “jangan buat jahat,” termasuk kejahatan seksual.
Alamiahnya segala sesuatu yang duniawi, seks bisa dipandang dari dua sisi. Baik dan buruk. Selain sebagai hubungan suami istri demi mendapatkan keturunan, agama-agama perenial purba menganggap bahwa seks adalah salah satu jalan menuju kontak ketuhanan, sesuatu yang transendental.
Di timur Indonesia, ada istilah “Mati Kecil” selaras dengan yang ingin dicapai dari praktik Kama Sutra. Maupun lelaku Maithuna, hingga jauh ke Eropa sana dengan Hieros Gamos-nya. Tapi ya itu tadi, lantaran transenden (baca: sulit dipahami) dan versatile, kearifan-kearifan ini malah disejajarkan dengan tindakan zina belaka: seks karena nafsu. Seks pun dianggap sangat berbahaya, selain sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keturunan. Sayangnya, demi menjauhkan diri dari “bahaya” tersebut, manusia dibuat membencinya dengan cara-cara yang misoginis. Seks dibuat sedemikian menjijikan, manusia dibuat sedemikian malu dengan tubuh serta ketelanjangannya sendiri (coba tonton “Carrie” keluaran 1976), dan kenikmatan seksual dibuat tak terjangkau bahkan menyakitkan. Sebut saja praktik menjahit labia pada anak-anak di Afrika, atau mutilasi berupa pemotongan klitoris, salah satu organ seksual penting perempuan. Merampas kemerdekaan seseorang atas tubuhnya sendiri.
Kendatipun demikian, bersikap imbang akan jauh lebih baik. Seks tak lebih dari aktivitas alami untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia. Posisinya berada di bagian paling bawah Piramida Maslow, bersama makan, minum, dan tidur. Akan tetapi, bukan berarti pula seks dilakukan segampang mengambil gelas, menuang air, lalu minum, sebab bakal terasa biasa. Kehilangan kesakralannya, sekadar jadi ajang pelepas gairah semata. Apalagi kalau terlampau sering, bae-bae jenuh.
Itu sebabnya, kawin bukan melulu soal seks. Karena kalau demikian, berarti ikatan suci pernikahan tak lain hanya legitimasi untuk ngeseks. “Bayarannya” adalah maskawin dan kehidupan bersama sampai akhir hayat/hubungan. Selanjutnya, seks tidak cuma penetrasi dan ejakulasi. Karena hubungan seks bukan sekadar gerakan berulang-ulang yang melelahkan, melainkan aktivitas yang mengejawantahkan kasih sayang dan kenikmatan jasmani serta rohani. Terakhir, penetrasi dan ejakulasi pun belum tentu hanya untuk membuahi. Karena orgasme adalah hak asasi setiap orang, bukan hanya untuk cowok yang ejakulasi, melainkan juga kesempatan bagi cewek untuk kejet-kejet atas persetujuannya sendiri.
[]
4 tanggapan untuk “SEKS”
[…] organ genital perempuan dan pengaruhnya dalam pergaulan dan tentu saja; kehidupan seks. Seorang Dragono bicara seks juga walaupun mengaku belum pernah melakukannya sama […]
SukaSuka
Reblogged this on #tintakopi.
SukaSuka
mencerahkan 😊
SukaSuka
Makasih. 😃
SukaSuka