Kukenal Sosok Wanita Yang Jarang Sekali Berdoa

Pagi ini, aku membaca puisi Abdul Hadi.

Tuhan/ kita begitu dekat/ sebagai api dengan panas/ aku panas dalam apimu/

Tuhan/ kita begitu dekat/ seperti kain dengan kapas/ aku kapas dalam kainmu

Tuhan/ kita begitu dekat/ seperti angin dan arahnya/

Kita begitu dekat/

Dalam gelap/ kini aku nyala/

pada lampu padammu

Pernah melihat ibu kita berdoa? Kapan pertama kali kita sadar ibu kita berdoa? Berdoa untuk kita, anak-anaknya.

Aku jarang melihat ibuku berdoa. Ibuku lebih banyak terlihat bekerja. Saat aku kecil, setelah bangun tidur,  aku tak lekas mandi. Aku melihat ibu yang sedang mengucek pakaian. Saat itu kami tak gunakan jasa pembantu. Baju dan celana ayah, kakak, adik, bajuku dan bajunya sendiri selalu saja sedang dia bilas. Waktunya selalu sama: saat aku membuka mata di pagi hari.

“Nak, bangun, sholat lalu mandi”.

Ibuku tidak sedang berdoa, namun menyuruhku berdoa. Ibuku memilih sedang bekerja saat dilihat anak-anaknya. Saat itu, aku selalu yakin dirinya sudah berdoa saat aku belum terjaga.

Saat aku memasuki usia sekolah, aku masih juga jarang melihat ibuku berdoa. Dia hanya tak makan dan tak minum saat kita akan hadapi ujian. Puasa, katanya. Ikut prihatin dengan anaknya yang sedang hadapi ujian. Bantu sekuat jiwa dengan memilih frekuensi yang sama dengan anak-anaknya.

Saat itu kami tak paham arti bid’ah. Mungkin hingga saat ini.

cropped-image1.jpeg

Saat ayahku membantu tetangga membuat dekorasi kenduri perkawinan, ibuku ikut menggunting dan membentuk janur kuning. Ibuku pandai berhias, selama itu bukan untuk wajahnya. Saat di kampungku ada acara tujuhbelasan, ibu senantiasa membantu membuat spanduk dengan menyusun huruf-huruf dari kertas krep.  Saat  tetangga dusun ada yang meninggal dunia, Ibuku dengan sigapnya ikut membantu memasak bagi keluarga yang ditinggalkan. Tapi aku tak pernah lihat ibuku ikut Tahlilan di malam harinya. Ibu lebih memilih menemani anak-anaknya di rumah.

Ibuku sepertinya seorang pekerja. Saat aku sekolah dan telah mengenal lagu “ibu kita kartini”, diam-diam aku sering menggantinya dengan nama kecil ibuku.  Hatiku lebih merasa nyaman. Aku tak kenal Kartini, tapi aku kenal ibuku. Ibuku jauh lebih ayu.

Ibuku,  perempuan yang jarang terlihat berdoa. Aku melihatnya selalu sedang sibuk bekerja.

Berhenti membandingkan dukamu, sehari keluh kesah

Ibuku jarang berkeluh kesah. Saat ayahku yang pegawai negeri tidak terlalu leluasa untuk mencukupi kebutuhan keluarga, ibuku ikut membantunya. Ibuku berjualan seprai. Ibuku berjualan pakaian. Ibuku ikut arisan. Ibuku banyak maunya. Setelah anak-anaknya sekolah, dia akan keluar rumah. Entah apa yang dilakukannya. Ibuku bekerja 28 jam sehari.

Ibuku jarang berdoa. Begitu jarang sekali.

Kini, aku ditakut-takuti oleh orang yang sering berdoa. Katanya, jika kamu tak berdoa, Tuhan tak akan sayang kamu. Jika kamu tak mau berdoa, tuhanmu akan murka. Jika, kamu tak berdoa maka hidupmu cukup di dunia. Kamu tak akan masuk sorga.

Dengar kata-kata itu, aku tak kuatir akan diriku. Aku langsung ingat sosok perempuan renta yang masih saja cantik hingga kini. Apakah perempuan ini akan senasib dengan kami semua?

Entahlah.

Entahlah apakah dia akan masuk sorga atau tidak. Tapi bagiku, dia tidak butuh sorga. Aku dan semua anak-anaknya telah hidup di  sorga, dengan perhatian dan kerja kerasnya.

Aku meneruskan membaca puisi Abdul Hadi.

Di sorga: ada juga derita

20 respons untuk ‘Kukenal Sosok Wanita Yang Jarang Sekali Berdoa

  1. Ping-balik: LINIMASAKami
  2. Ibunya menginjak bumi, banyak yg lupa kalo hubungan horizontal itu sama pentingnya dengan yang vertikal kan ya.

    Jadi makan siang dimana kita?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s