Sedikit tentang Perempuan

Perlu waktu sembilan tahun, sampai Church of England bersedia memperkenankan perempuan untuk jadi uskup.

Dimulai pada 2005. Kritik atas terbatasnya gerak kaum perempuan dalam tubuh gereja Anglikan khas Inggris itu dikemukakan. Muaranya, voting sinode menyetujui amendemen peraturan tersebut Senin kemarin, beberapa jam sebelum pengumuman kenaikan harga BBM di sini.

Gebrakan besar–cuma bagi warga Inggris–ini belum menjamin akan ada uskup perempuan dalam waktu dekat. Bukan mustahil, gelombang penolakan terus mengalir, syarat prosedural tambahan dapat diberlakukan. Membebani langkah para perempuan yang terpanggil untuk menjadi uskup, dalam organisasi gereja yang dianggap bidah oleh gereja Katolik Roma itu.

***

Amina Wadud dan makmumnya.

Dukungan maupun hujat tak putus-putusnya dilontarkan kepada Amina Wadud.

Perempuan 62 tahun itu menimbulkan kontroversi global, setelah bertindak sebagai imam Salat Jumat di Manhattan, juga pada 2005. Salat Jumat yang diikuti seratus orang (60 perempuan, 40 laki-laki) tersebut tanpa pemisahan saf, muazinnya juga seorang perempuan.

Salat dilangsungkan di Synod House, sebuah bagian dari katedral. Pasalnya, tiga masjid setempat menolak Amina Wadud dan makmumnya. Lalu, satu tempat netral yang sejatinya adalah pusat aktivitas religius-pluralistis India mendapat ancaman bom gara-gara bersedia menerima Amina Wadud. Synod House dipilih, karena Amina Wadud ingin menunaikan salatnya di tempat yang tersucikan secara spiritual.

***

Ndak perlu nunggu 21 April, Mother’s Day, atau peringatan-peringatan sejenis untuk nulis soal perempuan, atau membicarakan topik yang pakai embel-embel kata “emansipasi” di depannya. Toh, meskipun diskursus atau pembicaraan mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan selalu digencarkan pada momen-momen tertentu setiap tahun, tetap belum bisa mengubah realitas di beberapa bidang yang terjadi hingga saat ini.

Dua contoh di atas, misalnya. Sebagai peristiwa yang tergolong terlalu sensitif untuk dibicarakan di warung kopi sambil mengudap pisang goreng, tapi terlalu penting untuk dilewatkan sebagai momen pergolakan keperempuanan, urusan uskup gereja Anglikan maupun Amina Wadud tentu tidak bakal dicueki dan menguap begitu saja. Hanya saja sedinamis apapun pembahasannya, pasti buntu begitu berhantaman dengan pernyataan: “Mau punya uskup perempuan? Sudah sesat makin sesat!”, atau “Sampai kapan pun, perempuan tidak boleh jadi imam. Melanggar fikih!” Menegaskan bahwa kitab suci–agama-agama Samawi, khususnya–sudah mencantumkan ketentuan baku bagi posisi perempuan dalam urusan agama. Saklek. Ada perempuan yang menerima kenyataan ini dengan pasrah, tapi tak sedikit pula yang merasakan protes dalam hati.

Agak berbeda dengan pandangan agama-agama non-Samawi. Perdebatan tentang keperempuanan dan institusi agama bisa terkesan tarik ulur. Salah satunya, upaya membangkitkan kembali tradisi Bhikkhuni Buddhisme Theravada, yang telah punah sejak beberapa abad lalu dan dinilai mustahil untuk diselenggarakan lagi sampai saat ini. Mustahil, bukan lantaran tidak boleh, melainkan perangkatnya sudah tidak ada. Itu sebabnya, perempuan Buddhis Theravada zaman sekarang paling mentok hanya bisa ditahbiskan menjadi Atthasilani (seperti yang bisa ditemukan di STAB-STAB). Atthasilani kurang lebih sejajar dengan Samanera, calon Bhikkhu, plus beberapa aturan tambahan demi muruah kaum hawa. Sementara dalam Buddhisme Mahayana, keberadaan Biksuni masih ada, termasuk di Indonesia.

Terlepas dari itu, perempuan tetap memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam hal prestasi spiritual. Perempuan juga bisa mencapai kebuddhaan sebagai Arahat, sebagai orang yang diajari. Sedangkan perempuan Buddhis yang umat awam dapat dilatih dan diangkat menjadi Pandita; berhak berceramah, berhak memimpin Puja Bhakti, berhak mengesahkan pernikahan, berhak menjadi kepala vihara.

Obrolan di atas baru pada ranah agama. Lumayan susah diotak-atik. Belum lagi pada ranah-ranah yang lain.

***

Sampai saat ini, sebagian besar manusia dengan selangkangan berbatang, masih kerap memperlakukan perempuan dengan tindakan dan perspektif yang tidak patut. Tak jarang berlaku secara komunal, menjadi budaya dalam lingkup bermasyarakat. Walaupun belum tak semuanya dikategorikan sebagai kejahatan.

Buktinya, seperti tulisan Gandrasta dua pekan lalu. Ketika perempuan seakan-akan boleh distempel dengan label “Penjahat Sosial”, jika masih lajang di usia 30 tahun ke atas. Dengan label tersebut, mereka digunjingkan, dicibir, diejek, didesak, orangtua mereka juga ikut-ikutan dibuat gusar, dan dikelilingi dengan ketidaknyamanan. Pertanyaannya, siapa yang memperbolehkan tindakan cap-mengecap itu? Sudah idealkah kehidupan rumah tangga si pengecap? Sebegitu kurang kerjaankah si pengecap, sampai ngepoin kehidupan pribadi orang lain?

Isu lainnya, terkait keharusan bagi para calon Polwan untuk menjalani pemeriksaan keperawanan, sebagai bagian dari tes kesehatan. Oke, pemeriksaan keperawanan memang disebut bukan sebagai penentu kelulusan, tapi kita tetap berhak mempertanyakan alasannya. Sebegitu pentingkah motifnya? Apakah tindakan ini masih didasarkan pada pandangan konservatif yang menganggap bahwa selaput dara adalah bukti kesucian? Sehingga tidak utuhnya selaput dara menandakan bahwa si empunya adalah perempuan hina? Terus, kalau dianggap hina, boleh makin dihina-hina harga dirinya, begitu? Kalau iya, duh, masih punya empati enggak ya?

Kemudian, masih ihwal selaput dara juga, para laki-laki kerap merendahkan perempuan. Memang terdengar remeh, dan seringkali dianggap sebagai kelakar ringan, bikin ketawa. Namun ungkapan “buka segel” saat malam pertama seolah menempatkan seorang perempuan, sang istri, laiknya barang yang baru dibeli di swalayan. Lembar etiketnya mencantumkan amaran: “jangan diterima apabila segel rusak/terbuka.” Kalau begini, apa bedanya antara pernikahan dan jual beli, dengan maskawin sebagai banderolnya? Sayang, belum ditemukan metode untuk mengenali titit perjaka dan titit berpengalaman, yang pemiliknya seringkali dijadikan mentor rekan-rekannya.

Sama halnya dengan kekeliruan sosial yang terus dipertahankan sampai sekarang. Yaitu anggapan yang mengatakan “cowok nggodain cewek = wajar, cewek nggodain cowok = genit,” atau “cowok nembak cewek = wajar, cewek nembak cowok = agresif.” Bagaimanapun, perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki hati, pikiran, dan mulut. Kalaupun ada perempuan yang malu-malu, ada pula laki-laki yang terlalu dungu menangkap kode-kode umpan lambung di udara. Artinya, sama-sama memerlukan komunikasi, bukan gengsi. Kalau belum yakin cinta/ndak cinta, ya jangan seperti Rangga yang nggantungin Cinta sampai 12 tahun lamanya. Bikin puisi jago, giliran harus ngomong malah plonga-plongo. Untung masih ketolong cakep (#eh).

Satu lagi topik pembahasan yang tak kunjung kelar sampai sekarang. Jangankan perempuan, semua orang sepatutnya berbusana dengan sopan. Akan tetapi, apabila ada perempuan yang merasa nyaman dengan mengenakan rok mini atau pakaian seksi tanpa motif macam-macam (masih debatable), tidak serta merta bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan perkosaan, bukan? Memang ada istilah “namanya kucing disodori ikan”. Masalahnya, apakah kecerdasan semua laki-laki di Indonesia ini setara dengan kucing tadi? Ndak punya kekuatan untuk mengendalikan diri dari gejala fisiknya sendiri? Lucu, alih-alih menyalahkan pemerkosa, eh malah sang korban yang digelari gatel. Mau bagaimanapun, dalam sebuah aktivitas seksual yang dipaksa, perempuan lah korbannya. Perempuan yang diperkosa lalu kesenengan itu cuma ada dalam skenario film bokep. Dusta semua.

Menelus ke bidang lainnya, sampai kapan kecantikan dan lekuk tubuh perempuan dijadikan alat utama untuk mempromosikan dagangan? Jangankan yang jualan bra dan celana dalam berenda, lah wong iklan permainan online juga menampilkan perempuan dengan eksploitasi berlebihan di area belahan payudara. Ya bedanya samar sih, antara orang yang niatnya cari penghasilan, dengan pablik fijyer yang haus pujian dielu-elukan berbodi seksi.

Foto: Pinterest
Foto: Pinterest

Pun para bos. Memang berhak mengatur urusan personalia di perusahaannya dengan sesuka hati. Tapi, bakal ketahuan jelas bos itu adalah orang macam apa, bilamana lebih memilih pelamar yang modalnya hanya tubuh semlohai menggemaskan, ketimbang yang benar-benar kompeten dan sesuai kebutuhan perusahaan. Tindakan itu namanya apa, kalau bukan mengkondisikan perendahan perempuan? Bisa jadi para perempuan pun berlomba-lomba menampilkan keseksian, yang seringkali artifisial, dipaksakan, buatan, menghilangkan kecantikan alamiahnya.


Masih banyak sih, tapi mari kita akhiri saja sampai di sini.

Perempuan dengan segala kompleksitas, misteri, dan keindahannya. Bahan perbincangan dan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya. Makhluk yang kerap mendapat perlakuan merendahkan, karena saking tinggi kedudukan asalinya.

[]

5 respons untuk ‘Sedikit tentang Perempuan

  1. Perempuan dengan segala kompleksitas, misteri, dan keindahannya. Bahan perbincangan dan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya. Makhluk yang kerap mendapat perlakuan merendahkan, karena saking tinggi kedudukan asalinya.

    Paragraf terakhir mengundang senyuman. 🙂

    Suka

  2. rasanya,
    seperti ada yang meremas organ dibalik tulang dada,
    hingga membuat kebas kulit muka,
    dan air mata berusaha menyeruak keluar dari muaranya.

    kalau sudah begitu,
    yang bisa kulakukan hanya terus membaca…

    semakin dibaca…
    ko malah jadi ketawa – ketiwi

    ya ampuuuunn,
    maafkan pembacamu ini ya

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s