Written by

Beberapa hari yang lalu, saya menyelesaikan membaca sebuah novel karya teman saya, Candra Aditya, yang berjudul “When Everything Feels Like K-Drama”. Bisa ditebak dari judulnya, novel ini mengambil genre komedi romantis, yang terinspirasi dari beberapa drama serial Korea populer beberapa tahun terakhir. Novelnya sendiri sangat menyenangkan untuk dibaca, sampai-sampai saya menyelesaikan hanya dalam satu akhir pekan. 

Kalau bisa diselesaikan dalam waktu secepat itu, tentunya ada beberapa bagian dari novel yang lumayan membekas, meskipun buat saya, bagian itu cukup tak terduga.

Salah satu karakter di novel ini bernama Daniel, yang merupakan calon kuat love interest atau bakal kekasih karakter utamanya, seorang perempuan bernama Stella. Kedua karakter ini masing-masing single parent, orang tua tunggal dari masing-masing anak mereka. Saat Stella bertanya ke Daniel, apakah selama ini tidak ada perempuan yang mendekatinya sehingga dia masih melajang, Daniel mengakui kalau ada beberapa perempuan yang berusaha mendekatinya. Ada satu yang cukup serius, meskipun akhirnya si perempuan-cukup-serius ini tidak tahan, karena tuntutan pekerjaan Daniel yang sangat padat sebagai seorang dokter membuat perempuan tersebut merasa tidak bisa menjadi prioritas Daniel.

Entah kenapa, tiba-tiba saya tersenyum membaca bagian ini. Meskipun adegan tersebut hanyalah sebagian kecil dari cerita novel, dan masih ada cukup banyak bagian-bagian seru setelahnya, namun bagian tidak bisa lepas dari benak saya, bahkan sampai novel ini selesai dibaca.

Apa iya bisa kita jadi prioritas pertama orang lain?

Satu dekade yang lalu, Glenn Marsalim pernah menulis soal prioritas ini di Linimasa juga, yang bertajuk Untuk Anda, Pembaca Prioritas (layak dibaca ulang, masih relevan). Tulisannya berkisar soal konsep prioritas ini, yang mulai ditanamkan di diri kita sejak dari kecil, dan berlaku untuk semua aspek kehidupan, termasuk romansa.

Membaca ulang tulisannya, saya semakin berpikir lagi soal pertanyaan di paragraf sebelumnya, apa memang mungkin kita benar-benar bisa jadi prioritas nomer satu untuk orang lain?

Kalau tulisan ini teman-teman baca di malam hari sambil tiduran sebelum tidur beneran, mungkin teman-teman akan ngebatin, “Ya bisa saja, apalagi kalau lagi PDKT atau naksir. Ini lagi sambil mikirin dia, lho. ‘Kan katanya tanda cinta sejati itu, you’re the first person I think of before I sleep, and you’re the first person I think of when I wake up in the morning. Ya tho?”

Iya, boleh.

Kalau tulisan ini teman-teman baca di siang hari saat makan siang waktu istirahat kerja, mungkin prioritas teman-teman akan bergeser ke pekerjaan, bisa tentang atasan atau deadline yang menanti, atau ke keluarga yang sedang tidak bersama saat ini. Apakah benar?

Tentu saja tidak ada jawaban mutlak benar atau salah. Setiap orang mempunyai pilihan sendiri-sendiri untuk menempatkan prioritasnya. 

Hanya saja, saya sedang berandai-andai, dari sudut pandang seorang pria lajang yang hidup di kota besar, mungkin saja prioritas hidup seseorang bisa seperti ini.

Prioritas yang pertama adalah terhadap diri sendiri. Soalnya yang menentukan kita mau hidup atau tidak, ya diri kita sendiri.

Prioritas yang kedua, bisa jadi terhadap keluarga. Buat yang belum atau tidak menikah, mungkin akan menjadikan orang tua atau saudara-saudara yang masih ada sebagai faktor dalam mengambil keputusan hidup.

Prioritas yang ketiga, mungkin terhadap pekerjaan. Ini bisa juga diartikan sebagai kesibukan atau aktifitas sehari-hari.

Prioritas yang keempat, bisa jadi terhadap keuangan. Ini erat kaitannya dengan poin sebelumnya, karena mau tidak mau, kita harus tahu bagaimana kita menghidupi diri sendiri.

Prioritas yang kelima, mungkin terhadap hobi atau kegemaran. Hal-hal kecil yang membuat kita tetap waras, hal-hal kecil yang menimbulkan sepercik semangat menjalani hari-hari keras belakangan ini, patut kita jaga.

Prioritas yang keenam, bisa jadi terhadap teman-teman, meskipun semakin kita bertambah umur, semakin sulit untuk menjalin pertemanan baru. Dan biasanya dari pertemanan dan perkenalan akan ada beberapa calon pasangan hidup yang potensial, hopefully. Atau bisa saja kelompok pertemanan ini berbeda sama sekali dengan pasangan kita. 

Jadi saya pribadi lebih sreg untuk menempatkan diri di posisi keenam atau ketujuh di prioritas orang lain terhadap saya.

Lantas, bagaimana prioritas yang kita bangun untuk diri kita sendiri? Bagaimana menempatkan posisi orang lain?

Lagi-lagi tidak ada jawaban yang mutlak atau absolut. Bisa di nomer tujuh, mungkin nanti naik ke nomer enam, atau mungkin nomer dua. 

Lho, kok nggak nomer satu?

Karena prioritas utama saya adalah selalu diri sendiri. Kita tidak bisa memprioritaskan keluarga, pekerjaan, kekasih dan teman-teman kita kalau kita tidak memprioritaskan diri sendiri. Kalau kita sakit, kita tidak bisa pulang ke rumah keluarga, bertemu teman-teman, pergi kencan, atau bekerja.

Jadi, saya sangat lega kalau tahu saya bukan prioritas utama orang lain dalam hidupnya. Karena saya pun akan menaruh keutuhan diri sendiri di posisi jawara, setiap saat dan selamanya.

Tinggalkan komentar