Written by

LINIMASA sudah berulang tahun lagi Minggu kemarin. Sudah berusaha mengingatkan diri dari Kamis atau Jumat sebelumnya, eh, ternyata di hari-H lupa juga. Terdistraksi dengan fananya dunia.

Dan seperti yang bisa dilihat di bio akun Twi … X-nya, ini tahun kesebelas Linimasa masih eksis di jagat maya orang Indonesia, yang kian hari kian ruwet kombinasi warna-warninya. Urusan politik, sudah tak ada harapan lagi. Urusan drama cinta dan asmara, walaupun masih kuat tetapi sudah agak tergeser dengan kebutuhan untuk mempertahankan gaya hidup. Sampai-sampai drama cinta dan asmara juga dijadikan atribut buat itu.

Apa parameternya? Entah. Saya cuma main rasa-rasaan saja.

Balik ke Linimasa yang berulang tahun. Mas Roy, yang sekarang kayaknya lagi asyik menulis sendiri di blognya yang lain (tapi namanya masih mirip dengan yang ini, hehe …), memang Empunya daya kata.

Slogan Linimasa sejak pertama kali hadir adalah: “Karena internet selalu butuh lebih banyak hati” setiap kali didaras dalam pikiran masih bisa mengantarkan gelombang-gelombang khusus. Kadang bikin tersenyum sendiri, kadang agak merinding disko, tapi seringkali bikin terbayang momen-momen ketika geng Linimasa masih relatif mudah berbaku atur bertemu entah di kawasan Blok M, sekitar Jalan Sabang, atau janjian bersua kalau-kalau saya berkunjung dari Samarinda.

Geng pengasuh Linimasa masih aktif saling terhubung, meski hanya sebatas grup WhatsApp dengan topik pembicaraan yang semakin mengerucut; tandanya hidup kami masing-masing terus bergulir entah ke mana angin berembus.

Pertanyaannya, masihkah slogan Linimasa tersebut relevan di saat ini? Ketika orang-orang tampaknya lupa dengan kehebohan digital 5-6 tahun sebelumnya, untuk kemudian kembali berjumpa dengan kehebohan yang sama belakangan ini. Hanya era, subjek, objek dan tujuan kehebohannya saja yang berbeda. Tapi jika dilihat baik-baik, pasti tetap muncul polanya.

Mas Roy bersabda, dan kami mengamini, bahwa internet selalu butuh lebih banyak hati. Bukan hati yang dangkal dan superficial macam likes di video-video yang tipis-tipis meng-highlight belahan pantat, cleavage, lekukan otot maupun titit nyeplak supaya eligible dapat honor dari penyedia monetisasi, tetapi hati untuk MERASA, untuk PUNYA PERASAAN.

Cuma, bagaimana mengukur “lebih banyak hati” yang dibutuhkan? Apakah akan tidak berkesudahan? Karena setiap kali banyak orang beramai-ramai mencurahkan hatinya melalui internet, selalu muncul lubang baru yang membuat tumpahan hati tadi berasa tidak signifikan.

Begitu terus-menerus, lama-lama hatinya habis, hatinya menjadi kecil (berkecil hati) atau kelelahan membesarkan hati. Lelah yang bikin makan hati.

Dalam beberapa tahun terakhir marak anjuran untuk detoksifikasi digital. Memutuskan hubungan non-profesional dengan internet. Alias internet dipakai untuk pekerjaan dan upaya berpenghasilan. Itu saja. Dengan detoksifikasi digital, kita bahkan tidak perlu repot-repot menyisihkan secuil bagian dari hati kita kepada internet. Menjaga hati dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa bikin makan hati.

Gimana dong?

Tampaknya internet memang selalu butuh lebih banyak hati, tapi kayaknya bukan dengan memberikan hati, ngasih hati, tapi hati dijadikan filter perasa saat melihat, mendengar, membaca dan menanggapi.

Mungkin, ya. Itu baru sekadar kira-kira saya, sebagai orang yang katanya kurang punya hati.

Begitu, deh.

Photo by Hassan OUAJBIR on Pexels.com

Untuk pembaca lama yang kali ini mampir, terima kasih sudah bersua kembali. Untuk yang mungkin baru pertama kali terdampar di tulisan ini, mudah-mudahan bisa menemukan hal baru yang sedikit memberikan kesegaran, setidaknya untuk hari Rabu ini. Lebih banyak tulisan-tulisan yang terdahulu dan lama, silakan dijelajahi saja.

[]

Tinggalkan komentar