Written by

KEMEJA batik, atau mungkin lebih tepat disebut kemeja bermotif batik karena entah apa pakem dan pola dasarnya. Robeknya pun tadi sore sepulang kerja di area yang agak tidak terduga; bahu bagian belakang sebelah kiri.

Kreeek …” Waduh!

Bolong. Yang ini kemeja batiknya, bukan yang di gambar utama. Soalnya storage-nya sudah penuh. Jadi pakai foto yang sudah ada. Hehe

Ini tentu saja bukan hal yang sangat penting, mundane malah. Karena perkara barang yang wear and tear alias rusak karena dipakai tentu lumrah. Tapi sejenak memerhatikan robekannya ini, saya kembali teringat beberapa hal dan berhitung. Kapan saya membeli kemeja ini? Berapa harganya saat itu? Adakah diskon khusus atau harga normal? Bagaimana sensasi atau rasanya ketika mengenakan kemeja ini, dulu maupun akhir-akhir ini? Selain tampilan, bentukan, warna dan ciri-ciri fisiknya, apakah yang menjadikan kemeja ini berbeda dengan kemeja-kemeja lainnya yang masih ada sampai sekarang?

Saya pertama kali ketemu kemeja ini setelah migrasi ke Jakarta untuk berganti pekerjaan. Lupa di mal mana, tetapi enggak langsung dibeli. Merasa enggak yakin mau-mau banget dan tentunya berhitung. “Apa perlu beli kemeja batik baru sekarang?” Hingga beberapa bulan kemudian, kok, masih kepikiran kemeja batik ini. Warnanya merah gelap, ornamen dan polanya juga enggak yang kompleks-kompleks amat seperti seragam perangkat desa atau ingin ke kondangan. Harganya juga relatif terjangkau (habis gajian).

Sayangnya giliran saya kepengin membeli kemeja ini, di dua sampai tiga outlet toko baju tersebut malah enggak ada. Karena stok habis atau malah enggak tersedia. Bisa jadi lantaran kemeja batik ini masuk kategori produksi terbatas.

Saya baru berhasil beli sepotong kemeja spesifik ini di Atrium Senen era sebelum renovasi. Pakai acara telepon, minta disimpenin dulu, dan saya yang kala itu indekos di Jalan Kelinci cukup nyaman jalan kaki sampai ke Senen demi mengamankan kemeja batik ini.

Tujuh tahunan kira-kira. Semenjak kemeja ini tergantung atau terlipat di lemari pakaian saya. Dari perhitungan ekonomi, ya, lumayanlah. Kemeja ini sudah dipakai untuk aktivitas yang memberikan penghasilan. Balik modal plus-plus. Karena enggak standar-standar amat kalau dikenakan saat acara kantor dan kegiatan sosial kasual lainnya.

Setidaknya kemeja ini tidak masuk kategori mode cepat alias fast fashion. Cepat rusak, atau pun cepat dibuang dan tak lagi dikenakan.

Saya merasa cukup cuek perkara busana. Bukan yang suka ngelancai tapi juga enggak ribet-ribet amat tentang kombinasi atasan dan bawahan. Makanya saya ingat banget kalau kemeja ini pasti masuk dalam repertoar urutan baju ngantor dalam seminggu atau dua.

Sebagai penghuni indekos lalu apartemen, kemeja ini dihantam sabun binatu murahan setidaknya dua atau minggu sekali. Masih bertahan dan cukup surprisingly tetap mempertahankan karakteristik warnanya. Merah masih gelap, pola berwarna terang masih lekat pada pakemnya.

Tentu bukan pilihan yang sukar untuk memutuskan membawa kemeja ini ke sini, setelah migrasi lagi, tentu untuk urusan pekerjaan. Kemeja ini cukup outstanding dalam hal tampilan, tapi tidak terlalu gegap-gempita seperti baju Hawai yang kesannya malah terlalu santai dan kurang cocok di suasana semiformal.

Setelah kemeja ini robek, apakah saya sulit melepaskannya? Ya, enggak juga. Robek, ya, robek aja. Wis wayah’è. Tapi satu hal yang pasti, saya melepaskannya dengan rasa syukur dan berterima kasih.

Karena selain menjadi pakaian untuk saya selama ini, juga bisa membantu saya tidak perlu pusing mencari dan mengganti kemeja yang baru. Membuat saya beberapa langkah terhindar dari menjadi seseorang yang terlampau konsumtif.

In this economy.

[]

2 tanggapan

  1. nauvalyazid Avatar

    Di Melbourne mungkin ada tailor yang bisa permak baju, mungkin?

    Suka

    1. dragonohalim Avatar

      Tidak semurah dan semenyenangkan di Pasar Sunan Giri 😂

      Suka

Tinggalkan komentar