ADA yang bilang: “If a man is wrong, it’s men’s fault. If a woman is wrong, it’s men’s fault.” dan saya percaya kemungkinan besar ini benar. Terutama dalam konteks hubungan berkomitmen, baik sebelum apalagi sesudah pernikahan, ketika dua orang (atau lebih) sepakat tinggal dan menjalani kehidupan bersama.
Meski sudah menikah beberapa tahun ini, saya baru terpapar dengan istilah “mental load” setengah tahunan terakhir, karena juga mungkin terjadi dalam kehidupan kami, dan saya, sebagai seorang cishet laki-laki, punya kontribusi besar menjadi penyebabnya. Awalnya, jujur saja, enggak yakin apakah ini cocok ditulis di sini, atau lebih pas di blog pribadi. 😅

Jadi begini …
“Mental load“, atau yang kalau boleh saya terjemahkan secara lepas menjadi “kepenatan rumah tangga”, adalah kondisi capek hati karena ketimpangan tanggung jawab atau upaya yang dilakukan terkait urusan rumah tangga. Saya sebut capek hati, karena bukan sekadar keletihan badan akibat aktivitas manual, tetapi juga kepenatan akibat harus memikirkan, mempertimbangkan, mengantisipasi dan memutuskan sendiri.
Dalam rerata riset tentang ini di seluruh dunia, yang parameternya mirip-mirip konteks rumah tangga saya, mental load menimpa istri, utamanya gara-gara suami. Sebab idealnya ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang adil antara mereka berdua. Bedanya, kami adalah pasangan tak beranak. Kami hanya punya satu sama lain sebagai sole contributing factor untuk mental load yang timbul, membesar atau mengecil. Asumsinya, tidak se-severe rumah tangga dengan anak, banyak anak atau tinggal bareng orang tua dan mertua.
Gambaran umum dari riset tentang mental load menunjukkan para istri yang sudah pun bekerja (untuk alasan berpenghasilan atau tambahan penghasilan rumah tangga), tetapi masih harus melakukan tugas-tugas domestik secara penuh sepulangnya ke rumah. Ini termasuk memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan piring, mengurus anak, dan lainnya yang sejenis.
Ke mana para suami mereka? Tingkat kepayahannya beragam. (1) Dari yang sama sekali lepas tangan dan cenderung masa bodoh, (2) yang mau membantu tapi ogah-ogahan dan itu pun harus berulang kali diminta, (3) yang cukup mau membantu tapi tidak terampil sehingga tetap harus banyak bertanya untuk memastikan tidak ada yang salah, (4) lalu yang ingin selalu membantu dan merasa mampu melakukannya sendiri terlepas apakah nanti hasilnya 100 persen sesuai keinginan bersama atau tidak.
Ada pula kategori terakhir yang saking idealnya sampai mampu menghilangkan mental load. (5) Sang suami mampu melakukan pekerjaan rumah tangga dalam timing, dengan proses dan hasil yang benar-benar diinginkan sang istri. Tidak ada mental load di sini, karena tanpa merisaukan sepersekian persen pun tentang perkara tersebut, pekerjaan rampung. Bukan untuk membudidayakan kemalasan, melainkan sang istri bisa mengalihkan perhatian dan tenaganya untuk hal atau perkara lain dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan istri yang ibu rumah tangga atau tidak bekerja di luar rumah? Dalam konteks mental load, para istri yang masuk kategori ini memang tidak mengalami double burden atau beban ganda dari pekerjaan dan rumah tangga. Namun, muncul istilah unpaid labour atau pekerjaan tanpa penghasilan. Menjadi ibu rumah tangga adalah full-time job dengan total jam kerja yang tentu lebih banyak ketimbang 8 jam per hari sesuai standar ketenagakerjaan, batas jam kerja normal di luar lembur bagi para suami mereka. Lantaran kondisi ini, idealnya, suami juga punya proporsi pembagian tugas rumah tangga sepulang kerja. Sama-sama menghabiskan 8 jam per hari di lingkungan masing-masing, dan kembali berkumpul di bawah satu atap yang sama for the rest of the day.
Oke, sejauh ini saya tidak berkapasitas untuk mengklasifikasikan mana yang termasuk adil (untuk bekerja sama mengurangi mental load) dan yang tidak. Dilihat dari kategorisasi ala-ala di atas, saya mungkin termasuk kelompok (2) atau (3). Kadang-kadang (4), tergantung apa yang dikerjakan. Saya pun percaya ada banyak faktor yang menyebabkan para suami kebanyakan begitu. Bisa jadi dimulai dengan pakem patriarkis di lingkungan keluarga mereka (anak laki-laki enggak boleh di dapur, enggak boleh cuci piring, enggak boleh ini dan itu), pandangan religio/sosiokultural di masyarakat (suami itu harus jadi pencari nafkah utama, istri harus tunduk sama suami, bla bla bla), atau memang cowoknya males aja.
Meski demikian, yang menjadi keterkejutan saya, mental load bagi para istri ternyata juga bisa dikontribusikan oleh hal-hal yang sejatinya leisurely. Mental load model ini mungkin bisa dialami oleh pasangan kencan atau mereka yang belum menikah dan masih tinggal terpisah.
Contoh maraknya. Sepasang cowok dan cewek, entah sudah menikah atau masih pacaran. Setiap kali ingin makan malam chantique romantique, si cowok selalu woles santai dan bersikap “Kamu pengin apa? Aku ngikut aja.” Karena ini, selalu ceweknya yang riset restoran, cari-cari info restoran baru nge-hits lucu yang mau didatangi, bikin reservasi dan bahkan memilih menu yang mau dicoba.
Hal ini bisa menimbulkan atau memperbesar mental load. Ternyata.
(Ini bukan pembelaan, btw.) Si cowok mungkin berniat atau berpikiran bahwa tindakannya yang ngikut-ngikut begitu aja untuk membuat segalanya simpel. Less debate, less hassle. Prinsipnya, pergi makan ke sana, hayuk, mau coba di situ, boleh.
Namun pada kenyataannya, para cewek akan sangat-sangat menghargai kalau cowok atau pasangan mereka bisa cukup memahami selera mereka, tahu apa yang bakalan cocok untuk mereka, mengamankan semua logistik termasuk memastikan reservasi di waktu yang tepat, vibe-nya cocok, minim kendala dan kejutan-kejutan buruk hingga pulang.
Perlakuan seperti ini akan mencegah mental load pada cewek-cewek tersebut. Sebab, kembali lagi seperti yang sudah disampaikan di atas, memikirkan, mempertimbangkan, mengantisipasi dan memutuskan sendiri itu melelahkan.
… dan saya, jujur saja, baru mulai belajar agar bisa menjadi pasangan yang begitu. Apakah bisa? Mudah-mudahan terus ada peningkatan.
Yang pasti, setelah berkali-kali mendiskusikan hal ini, ditampar dengan fakta, adanya penyangkalan dan refleksi diri, saya kepikiran beberapa hal. Mudah-mudahan relevan.
Baik saja, sebagai sebuah kepribadian, seringnya kurang cukup.
Perkara mental load ini memang pelik dalam kehidupan berdua (atau mungkin lebih). Menyeleksi calon pasangan mungkin hanya langkah awal, tetapi punya kepribadian baik saja belum tentu menjamin ia akan menjadi pasangan yang able to take away those mental loads.
Semua kasus unik, tidak ada yang 100 persen serupa.
Kayaknya sudah banyak konten dari para pakar hubungan suami istri atau psikolog rumah tangga, influencers/pemengaruh digital bahkan tokoh agama vokal yang berbagi trik, tip, nasihat, wejangan maupun solusi untuk mengatasi perkara kepenatan rumah tangga ini. Cuma, tidak ada satu pun jurus jitu yang bisa diterapkan ke semua pasangan bermasalah.
Kondisi setiap pasangan berbeda, ya itu tadi, ada yang keduanya bekerja, ada yang salah satunya di rumah tangga full-time, ada yang beranak dan tanpa anak, ada yang temperamennya kalem ada pula yang gampang rungsing. Faktor-faktornya tidak akan bisa sama.
Komunikasi bukan solusi utama, tapi bisa jadi permulaan kesepahaman.
Ini unpopular opinion, ya. Banyak yang bilang komunikasi adalah kunci dari pencegahan atau penyelesaian masalah ini. Menurut saya, yang kemungkinan besar sotoy juga, sih, hehe, komunikasi itu bukan solusi. Tetapi apa pun bentuk solusinya pasti diawali dengan komunikasi.
Jangan dipikir lewat komunikasi, lewat diskusi atau saling mengungkapkan pemikiran dan perasaan terkait mental load ini segalanya akan berjalan harmonis, menjadi luwes lembut. Bisa jadi malah saling melemparkan fakta yang membuka mata satu sama lain, tarik urat leher, pahit hati dan sebagainya. Karena saking peliknya urusan ini, terkadang enggak bisa pakai patokan “benar” dan “salah”.
Keseimbangan itu, seringnya, ilusi.
Lalu, pada akhirnya, setelah melalui serangkaian proses aktivitas, introspeksi sendiri di kamar mandi, jutek-jutekan judes, konsolidasi, pergi bareng lagi, ada perdebatan lagi dan seterusnya, bukan mustahil bahwa aspirasi tercapainya keseimbangan yang mampu memberantas mental load rupanya hanyalah ilusi.
Yang ada, dan yang benar-benar bisa membantu berdamai dengan pasangan, dengan kehidupan yang tengah dijalani, dan diri sendiri adalah kemampuan untuk berbesar sabar dan meningkatkan kapasitas bertoleransi.
Anyway, mudah-mudahan bisa rutin menulis di Linimasa lagi, yay! 😊
[]

Tinggalkan komentar