Written by

THUDONG. Ada banyak yang nanyain tentang ini dalam sebulan terakhir (boong deng, cuma dua, kok, hehehe …). Kebetulan Vesak-nya sudah lewat dan para Bhikkhu Thailand yang ber-thudong tempo hari mungkin sudah pulang, jadi kepingin cerita sedikit di sini setelah heboh-hebohnya berlalu.

Sederhananya, Bhikkhu thudong adalah Bhikkhu pengelana, Bhikkhu yang menjalani tradisi kembara sebagai gaya hidup kebhikkhuannya. Thudong sendiri merupakan istilah dalam bahasa Thailand untuk tradisi ini dari nama asalnya: dhutaṅga (dibaca: dhu-tang-ga) dalam bahasa Pali, bahasa yang digunakan dalam pengajaran Buddhisme.

Petapa

Menjadi Bhikkhu berarti menjadi petapa. Keterpanggilannya bersifat personal karena tujuan menjadi Bhikkhu hanya satu, yakin melatih diri dengan sebaik-baiknya hingga mampu mencapai kebuddhaan, seperti yang telah dicapai oleh sang guru.

Kayaknya sudah pernah diceritakan dan ditulis sebelumnya di Linimasa, para Bhikkhu tidak memiliki harta benda apa pun, dan dalam tradisi mazhab Theravāda tidak diperbolehkan untuk bekerja dengan tujuan mencari penghasilan. Mereka berpuasa makan sejak tengah hari hingga fajar keesokan harinya, dan makanan mereka hanya berasal dari pemberian umat, bukan dari meminta. Apabila tidak ada donasi atau tidak ada umat yang bisa ditemui, kalau tidak salah ingat, yang bisa mereka makan adalah buah-buahan hutan atau hanya minum air. Mereka tidak boleh membunuh, sehingga tidak bisa berburu, dan tidak boleh memasak.

Sebagai petapa, para Bhikkhu tinggal jauh dari keramaian. Itu sebabnya para Bhikkhu berdiam di hutan, dan hanya datang ke pemukiman untuk menerima pemberian makanan, atau ketika dibawa untuk mendapatkan pengobatan. Bhikkhu thudong kerap disebut Bhikkhu hutan atau Bhikkhu pengelana karena alasan ini. Bukan semata-mata mengembara yang tak tentu arah, melainkan menetap sementara di lingkungan yang kondusif untuk berlatih meditasi, lalu berpindah lagi saat dibutuhkan. Pada dasarnya, perjalanan yang mereka lakukan bersifat fungsional. Selain bertujuan untuk menerima pemberian makanan dari umat, mereka juga berjalan dengan kesadaran penuh sebagai bentuk latihan meditasi.

Karena semua kondisi ini, tradisi thudong dapat bertahan dan relatif bisa lestari di negara-negara berpenduduk mayoritas Buddhis seperti Thailand, Burma, Kamboja, Laos, tetapi susah ditemui di Tiongkok, Jepang, Korea, India, Sri Lanka, termasuk di Indonesia.

Mengapa hanya di negara-negara Indocina? Di sana, termasuk Thailand– negara asal para Bhikkhu thudong yang berjalan kaki sampai ke Borobudur–jumlah Bhikkhunya sangat banyak, warganya pun tahu dan mengerti tata cara kepada para Bhikkhu, ditambah lagi adanya lembaga-lembaga dari negara yang mengawasi hal tersebut. Sehingga padepokan-padepokan, atau vihara hutan bisa terus eksis.

Pemimpin Umat

Berbeda situasinya dengan di Indonesia, jumlah Bhikkhu (terutama dari mazhab Theravāda) tercatat hanya ada 102 orang untuk seluruh Indonesia. Dari sisi pemahaman tata cara pun, masih banyak umat Buddha di Indonesia yang belum pernah tahu kesepakatan memperlakukan para Bhikkhu secara layak dan patut.

Kebayang kalau dari jumlah Bhikkhu yang masih sangat sedikit tersebut di Indonesia, sebagiannya malah tidak bisa atau susah ditemui oleh umat yang sedang butuh bimbingan batin.

Karena keterbatasan-keterbatasan ini, para Bhikkhu di Indonesia lebih diposisikan sebagai pemimpin umat. Gaya hidup thudong pun hanya bisa dijalankan secara parsial, atau melalui pengondisian-pengondisian. Para Bhikkhu asli Indonesia diatur untuk menetap di vihara-vihara agar lebih mudah dikunjungi umat yang ingin belajar atau berkonsultasi. Donasi makanan bisa diberikan di vihara, atau diserahkan dalam rute perjalanan jalan kaki yang pendek.

Pindapatta atau pemberian makanan.

Praktik thudong memang memiliki daya tariknya tersendiri, terlebih bagi mereka yang bersemangat untuk menjalankan hidup sebagai petapa, atau yang merasa gaya hidup ini lebih cocok untuk panggilan jiwanya.

Tidak heran banyak calon Bhikkhu asal Indonesia yang lebih memilih untuk terbang langsung ke Thailand atau Burma agar bisa ditahbiskan sebagai Bhikkhu dalam lingkungan vihara hutan.

Jadi, barangkali tetap ada Bhikkhu-Bhikkhu (berjiwa) pengelana di Indonesia, tetapi mereka tetap harus mengimbanginya dengan tanggung jawab sosial sebagai figur pembimbing agama.

[]

Tinggalkan komentar