MAU dari Twitter, Instagram, TikTok, berita online, berita-berita online yang ditulis berdasarkan konten media sosial, potongan video dari YouTube, atau dari mana saja, selalu ada kehebohan-kehebohan baru setiap harinya. Tingkat urgensi atau seberapa penting dampak yang ditimbulkan dari beragam kejadian tersebut pun seringkali terlampau luas untuk diikuti satu demi satu.
Mulai dari perkara susu kotak di kulkas milik anggota keluarga, sampai urusan penampilan dan gaya hidup para pejabat negara; dari curhatan para cowok yang gusar ketika pacarnya berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri, sampai perbedaan pendapat tentang literasi finansial terkait praktik investasi; dari perilaku perorangan yang dianggap janggal dan problematik terhadap pasangan orang lain, sampai tindakan populis sejumlah kepala daerah yang sulit untuk tidak dilihat berkaitan dengan politik identitas.
Sebagai pihak yang berada di ujung jari, kita tentu punya kebebasan (nyaris) tanpa batas untuk scrolling indefinitely alias terus nge-scroll atau berhenti dan membaca lebih jauh. Kita bisa memilih topik, bahasan, dan kejadian mana yang paling menarik perhatian kita, bahkan untuk turut kita tanggapi.
Perlahan tapi pasti, kegiatan ini akan makin terasa melelahkan.
Hanya dengan melihat atau membaca begitu banyak hal secara bergantian, capeknya bisa sangat luar biasa. Itu pun tanpa kita sadari. Tahu-tahu, selepas magrib, kok pikiran dan badan terasa meleyot banget? Seakan-akan stamina habis disedot begitu saja. Entah larinya ke mana.
Sayangnya, kita cenderung tidak benar-benar bisa melepaskan diri dari kondisi ini, kecuali memang terpaksa.
Ini menjadi kebiasaan. Kita mungkin sudah tahu bahwa aktivitas ini melelahkan, meski tak terlampau berguna, tapi kita tetap saja mencari layar, dan scrolling–scrolling setiap beberapa menit sekali tanpa kita sadari sepenuhnya.
Saking tidak sadarnya, perhatian dan tanggapan yang kita berikan bisa muncul begitu saja, spontan, kurang lengkap, atau bahkan cacat logika. Saking tidak sadarnya, kita dan ujung jari kita tahu-tahu sudah klik send, menuliskan komentar, bahkan sampai menulis utas panjang lebar membahas topik tersebut.
Setelah itu, barulah muncul serangkaian konsekuensinya. Jika kita ngomong benar, ada yang menanggapi balik, atau mungkin malah senyap, enggak ada yang peduli. Apalagi jika kita ngomong salah, siap-siap saja dikoreksi oleh orang lain yang sama kerasnya, atau lebih.
Ini, melelahkan. Bahkan dalam beberapa kejadian, dampaknya bisa memalukan, atau bikin menyesal.
Dari sini, sempat terpikir, banyak orang yang dulunya lumayan aktif berkomentar, menimpali hampir apa saja topik dan pembahasan di media sosial, tetapi sekarang terkesan lebih diam. Orangnya masih ada, tetapi sudah jauh lebih pasif.
Mungkin ada yang sudah berubah dalam kehidupannya. Mungkin juga karena pertambahan usia, yang dibarengi dengan meningginya kecenderungan untuk diam dan mengamati saja. Mungkin karena sudah malas, bosan, atau jemu, atau mungkin juga karena sebelum melontarkan pendapat maupun tanggapan, sempat dipikirkan dua atau tiga kali, sampai akhirnya dibantah oleh diri sendiri.
Ketika kita memiliki pendapat, kita melihatnya kembali. Menimbang-nimbang, dipikirkan ulang, hingga akal sehat, logika, atau simpati kita menyanggahnya: “Kayaknya enggak begitu, deh…“
Tanggapan urung disuarakan. Kelihatannya, jadi lebih pendiam. Bukan karena menahan diri, melainkan karena menyadari penting tidaknya tanggapan yang diniatkan.
Sebuah pernyataan dianulir, oleh pikiran si pemiliknya sendiri.
[]