SIAPA yang tidak? I mean, kita yang tengah hidup di dunia modern ini selalu berayun dari satu sudut penilaian diri ke sudut yang lain. Ada kalanya kita merasa seperti berada di atas angin, dengan segala pencapaian, keberhasilan, serta kepercayaan diri yang menggebu-gebu dan mendorong kita untuk terus menerjang hal-hal berikutnya. Namun, ada kalanya kepercayaan diri kita terasa seperti benang basah; teramat mustahil untuk ditegakkan … dan manakala ini terjadi, kita pasti akan mempertanyakan diri sendiri.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam beberapa kesempatan sebelumnya, arus bolak-balik perubahan semacam ini tidak bisa dihindari. Ia akan terus terjadi di luar kendali kita–walaupun sedikit banyaknya turut disebabkan oleh tindakan yang kita lakukan–beserta seperangkat emosi yang mengiringinya.
Secara alamiah, perubahan yang positif akan memunculkan perasaan senang dan gembira. Sebaliknya, perubahan yang negatif menyebabkan kekecewaan, penyesalan, atau penyangkalan diri. Sayangnya, mekanisme emosi kita, atau setidaknya saya, tidak bekerja sesederhana hukum hidraulis. Segala bentuk kekecewaan atas diri sendiri maupun orang lain, seolah-olah meninggalkan lubang yang tidak bisa ditambal dengan apa pun, termasuk keberhasilan atau pencapaian-pencapaian yang diperoleh berikutnya.
Tidak bisa dimungkiri pula bahwa segala yang terjadi, sudah terjadi. Semua kesalahan, kebodohan, kekurangan, dan ketidakmampuan kita yang turut berkontribusi menyebabkan kejadian tidak mengenakkan tersebut, kekal bertahan di sana, di saat itu. Yang tersisa hanyalah kenangan tidak nyaman, yang sewaktu-waktu masih bisa muncul dan mengganggu; dan pengalaman yang bisa dijadikan pembelajaran, dengan harapan agar kesalahan, kebodohan, kekurangan, dan ketidakmampuan itu tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Kedengarannya mudah, bukan? Padahal, minta ampun susahnya.
Itu yang sedang saya alami saat ini, atau mungkin sudah dalam beberapa waktu belakangan.
Alih-alih menyikapinya sebagai pengalaman dan pembelajaran, saya justru lebih mengerahkan pikiran, tenaga, dan kesadaran untuk mempertanyakan diri sendiri. Lebih tepatnya, mempertanyakan ketidakmampuan hingga ketidakbecusan saya, baik yang spesifik terkait kejadian tertentu, maupun terkait hidup secara keseluruhan.
Lalu, mengapa saya begitu? Apa yang sebenarnya saya cari dengan terus-menerus meragukan diri sendiri seperti itu?
Sejujurnya, saya juga tidak tahu sama sekali … dan tampaknya, khusus perkara yang satu ini, cuma bisa dihadapi untuk diselesaikan oleh diri sendiri. Pasalnya, salah satu tujuan dari kita yang mempertanyakan diri sendiri adalah demi mendapatkan jawaban, alasan, dan penjelasan, agar kita bisa selangkah lebih mengenali diri sendiri.
Ketika kita belum benar-benar mengenali dan mengerti diri sendiri, tidak adil jika kita meminta apalagi malah menuntut orang lain untuk mengerti diri kita sepenuhnya.
Terakhir, mengenai hal ini saya teringat salah satu analogi yang populer dibawakan oleh Ajahn Brahm (Bhikkhu meditator dari Western Australia). Ringkasnya kurang lebih begini.
“Dalam membangun sebidang tembok, saat ada dua biji bata yang terpasang miring, setidaknya tetap ada 998 biji bata yang tersusun kuat dan sempurna.
Foto: Soundcloud grtleadership
Analogi ini memang memberikan nasihat bahwa penting bagi kita untuk melihat segala sesuatunya secara menyeluruh, tidak parsial, agar tidak hanya terfokus pada kecacatan lampau dan mengabaikan hal-hal baik lainnya yang lebih besar; bahwa tidak ada yang sempurna; bahwa kebanggaan dan ketidaknyamanan merupakan sensasi batin semata.
Akan tetapi, lagi-lagi, ketidaknyamanan yang muncul atas kekecewaan pada diri sendiri, tidak mudah untuk ditangani.
Kita, mungkin akan selalu cenderung mempertanyakan diri sendiri.
[]