Sudah berbulan-bukan saya tidak menulis. Ada pikiran bahwa apapun yang ditulis saya pasti orang sudah pernah menulisnya atau sudah bukan hal baru. Pikiran ini menjadi beban. Sebuah pembirosan waktu bagi pembaca dan juga bagi saya.
Akan tetapi ada dorongan kuat untuk kembali menulis lagi. Menulis bagi saya ternyata semakin disadari merupakan terapi diri. Dalam menulis saya merasa menjadi lebih ringan, walau topiknyang dibicarakan sama sekali tidak ada hubungannya dengan perasaan.
Pada kesempatan kali ini saya akan menulis soal bagaimana caranya untuk ikhlas merelakan.
Di pertengahan Oktober lalu saya kehilangan Bapak. Beliau termasuk dalam deretan yang masuk dalam daftar “Korban Covid19”. Hari jumat badannya demam tinggi. Sabtu masih bingung. Minggu masuk RS terdekat. Senin, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Di hari Jumat, mendiang Bapak pernah dikerok oleh Kakak. Bagaimana kondisi Kakak saya. Juga saya bertanya-tanya apakah Ibu juga mengalami hal serupa?
Aneh bin ajaib, walau hidup serumah, Ibu malah dinyatakan negatif setelah dua kali tes PCR. Kakak? Satu keluarganya dinyatakan positif, kecuali anaknya yang kedua.
Saat itu saya jauh dari mereka. Saya berada di Jakarta. Sedangkan keluarga besar saya ada di Cirebon. Saya sempat menginap di salah satu losmen kecil demi mengurus Ibu yang sedang dirawat. Saya bolak-balik losmen-RS untuk mengantarkan baju bersih, jilbab, tisu basah, tisu kering, masker, makanan, dan semua perlengkapan bagi pasien rawat inap. Saat itu saya mengira ibu juga terkena. Namun nyatanya tidak. Padahal ibu sudah masuk ruang isolasi dan diperlakukan layaknya pasien corona.
Kabar sedih justru datang dari keluarga kakak saya. Semuanya positif kecuali anak tengah. Saya pun berusaha mengurusi keluarga kakak. Bolak-balik membelikan makanan, susu beruang dan kebutuhan standar lainnya bagi yang sedang melakukan isolasi mandiri.
Alhamdulillah, mereka sekarang baik-baik saja.

Keikhlasan lainnya adalah soal hati. Saya semakin sadar bahwa perasaan sama sekali bukan urusan manusia. Perasaan datang dan pergi tanpa harus karena sebuah sebab.
Misalnya saya menyayangi anak saya sepenuh hati. Namun tidak ada jaminan anak saya akan merasakan hal yang serupa dengan harapan saya untuk menyayangi saya dengan segenap jiwa.
Hal ini saya alami setelah kepergian Bapak. Sepertinya saya tidak terlalu bersedih atas kepergiannya. Saya lebih sedih ketika mengingat Ibu akan hidup sendiri kelak. Kesedihan saya lebih banyak justru ketika mengingat Ibu dibandingkan mengingat kepulangan Bapak.
Saya justru menangis dalam perjalanan antara Jakarta – Cirebon ketika membayangkan Ibu akan hidup sendiri. Ibu akan banyak direpotkan dengan pikiran sepi, kosong, tanpa ada teman.
Untungnya kakak lelaki saya bertempat tinggal masih di kota yang sama. Kami pun berembug, jika keluarga kakak sudah selesai dari masa isolasi, maka ibu bisa ikut tinggal dengan kakak, atau sebaliknya: kakak sekeluarga yang akan sering menyambangi kediaman ibu.
Selain itu kami telah sepakat, bahwa setiap anaknya (kami tiga bersaudara yang berdomisili di Cirebon, Jakarta dan Kupang) akn bergabtian menelpon Ibu setiap hari. Pagi, siang dan malam. Harapannya ibu tidak merasa kesepian.
Ikatan saya dan bapak memang agak aneh. Saya mengaguminya sekaligus tidak mengaguminya. Saya dan bapak memiliki karakter yang hampir sama. Idealis, kaku terhadap prinsip, namun memiliki kegemaran yang sama: menulis, menggambar, dan memiliki cukup banyak teman. Bapak saya termasuk pria yang supel dan ramah.
Kekurangan kami itu sama: cepat puas diri. Jika sudah cukup, mau apa lagi? Kami tidak memiliki ambisi yang muluk-muluk untuk menjadi seseorang yang “besar”, dengan bergelimang “pangkat dan jabatan”. Hal paling didahulukan: ndak ngoyo, dan ndak membuat pekerjaan menjadi penghambat kesukariaan.
Kami akan terjebak pada: nrimo. Untuk apa ngoyo?
Akhirnya saya melihat diri saya ketika tua pada diri Bapak. Ada kengerian tersendiri yang sulit dijelaskan. Apakah saya akan menjadi sama dengan dia? Ketakutan yang janggal.
Atas kengerian dan ketakutan ini menjadikan saya dan Bapak seperti ada jarak. Bahkan ketika kami berpelukan, ada hal asing yang memisahkan. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharunya ketika memeluknya saya terjun bebas dan tenggelam dalam kasih sayangnya.
Namun hal ini sama sekali tidak terjadi.
Tanpa disadari banyak ilmu yang saya peroleh darinya. Namun, saya masih sungkan untuk mengakuinya. Bagaimana dirinya memperlakukan orang lain seolah-olah hanya kepada orang lain itulah sepenuhnya waktu Bapak diberikan. Bapak adalah manusia 100%. Ketika ia hadir di suatu ketika dan suatu loka, sepenuhnya ia akan hadir disana. Pada gilirannya, semua orang yang mengenalnya dan pernah berinteraksi dengannya akan menganggap Bapak orang yang seru, antusias, rame dan jenaka.
Tapi saya tahu bagaimana isi di balik layarnya. Bagaimana sejatinya kebutuhan gidup kami tak melulu tercukupi. Bagaimana kami harus banyak menghemat demi untuk terus bertahan hingga gaji berikutnya hadir.
Semua itu ternyata berulang dalam hidup saya. Saya tidak pernah kuatir akan masa depan, dengan ada tidaknya materi.
Hanya saja, apakah ini dipahami oleh anak isteri?
salam anget,
roy