SAYA mengawali tahun baru dengan sesuatu yang kurang mengenakkan, secara harfiah maupun kiasan. Tepat di tanggal 1 Januari, saya terpaksa membuang tiga perempat isi botol kopi susu literan yang didapat dua malam sebelumnya … dalam sepaket bingkisan Natal pemberian partner kantor.

Éman memang. Membuang sesuatu yang tadinya masih enak dan menyegarkan, dengan kuantitas yang masih banyak pula. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Paket diterima tanggal 30 Desember malam sekitar pukul 21.30 Wib. Berisi dua botol (1 liter dan sekitar 300 ml) susu pisang, satu botol (sekitar 250 ml) dark chocolate, satu stoples kecil kukis butiran cokelat, empat bungkus serbuk minuman homemade, dan satu botol kopi susu gula aren. Semua minuman dalam botol kedaluwarsa pada 1 Januari 2021.

Dalam waktu kurang dari dua hari, saya “berhasil” menghabiskan susu pisang dan dark chocolate. Sendirian.
“Kok kemaruk? Semuanya dihabiskan sendiri.”
To my defense, mau dibagi kepada siapa? Sejak awal, saya memang berniat untuk meminum dark chocolate dan kopi susu gula aren tersebut. Lalu, siapa yang doyan susu pisang? Saya tidak secuek itu untuk asal memberikan, katakanlah, kepada tetangga atau satpam setempat. Belum lagi minuman-minuman botolan tersebut harus selalu dalam keadaan dingin. Akhirnya, lebih baik saya minum sendiri–and it tasted nice, anyway–daripada;
- Membuat orang lain menerima susu pisang dengan enggan, atau karena sungkan menolak (misalnya kepada satpam).
- Membuat orang lain justru tersinggung, mengetahui bahwa minuman tersebut kedaluwarsa keesokan harinya, atau pun mendapatkan pemberian yang kurang baik kualitasnya karena terlalu lama di luar kulkas.
Hingga akhirnya menyisakan sebotol kopi susu gula aren di tanggal 1 Januari 2021, waktu kedaluwarsa yang tertera di labelnya.
Saya masih sempat menuangkan segelas kecil kopi susu gula aren tersebut. Saya ingin mengetahui keadaannya, mencicipi rasanya, dan langsung menemukan bahwa kopi susu gula aren tadi mulai agak mengental. Segelas kecil tadi masih bisa saya habiskan, walaupun rasanya juga sedikit asam. Ya, sudah, daripada kenapa-kenapa, lebih baik dibuang saja.
Tidak mengenakkan bagi saya. Secara harfiah, lantaran kopi susunya sudah menuju basi. Sedangkan secara kiasan, karena saya membuang pemberian, sebuah tanda mata iktikad baik untuk mengucapkan “Selamat Natal, klien kami!” yang telah dipersiapkan dan dikemas sedemikian rupa.
Situasi seperti inilah yang sempat saya singgung dalam tulisan Linimasa tujuh bulanan lalu; Pemberian yang Pantas. Daripada membuat penerima kebingungan, atau malah bisa terganggu, justru tidak ada salahnya untuk bertanya terlebih dahulu tergantung tingkat kedekatannya.
Setelah menerima paket, saya langsung mengirim pesan ke tim partner. Berterima kasih, sekaligus agak mengeluh.

Dalam konteks kepantasan, pemberian seperti itu sudah termasuk proper. Ditata rapi, menyenangkan untuk dilihat, dan produknya juga berkualitas. Masalah baru muncul ketika barang tersebut sudah diterima, dan mesti dikonsumsi.
Barangkali saya memang orang yang ribet. Sebab ada orang yang mungkin bisa memberikan barang pemberian yang tidak dia inginkan, atau langsung membuangnya dengan gampang. Padahal itu menyusahkan orang lain dan mubazir.
Sementara di sisi pemberi, dia hanya tahu tujuannya tercapai, yaitu berhasil memberikan bingkisan. Begitu juga di sisi penjual, yang hanya fokus membuat dan mengantarkan produknya, serta menerima pembayaran.
Kembali lagi, setiap orang memiliki kadar dan standar kepantasannya masing-masing. Namun, alangkah lebih baik untuk lebih cermat, dan lebih tepat. Pemberian dalam jumlah yang sedikit, tetap merupakan pemberian, tetap menunjukkan niat baik selama dikomunikasikan dengan sesuai. Dengan jumlah yang sedikit pula, barang konsumsi yang diberikan bisa tersantap habis. Apabila ternyata sedemikian enak, setidaknya memenuhi kondisi Marginal Utility; pemberian tersebut pun menjadi sangat berkesan. Keadannya lebih baik daripada pemberian yang banyak, dan akhirnya harus dibuang.
Kalau kamu sebagai pemberi, lebih pilih kondisi yang mana?
Pemberi yang piawai tahu benar siapa penerimanya, sehingga ia bisa memperkirakan apa barang yang sebaiknya dikasih, dan berapa banyak jumlahnya. Hanya saja, seamatir-amatirnya sang pemberi, tak ada salahnya untuk bertanya. Supaya pemberian bisa lebih berkenan.
[]
Sebagai pemberi aku pun akan memikirkan orang yang menerimanya, cukup atau tidak, suka atau tidak, dan kalau bisa tidak berlebih. Lebih baik sedikit dan cukup, daripada berlebih karena nantinya mau bazir.
SukaSuka
Sepakat. Saya pun berpikiran serupa. Cukup, dan berkesan. Bukan banyak, dan malah terbuang-buang.
Terima kasih.
SukaSuka