Salah satu kenikmatan buat saya adalah mempunyai waktu luang untuk menonton film-film klasik.
Dulu, yang saya maksud film klasik di sini adalah film-film dari abad ke-20 yang diproduksi atau dirilis di bawah tahun 1965. Ini batasan yang saya buat sendiri. Entah kenapa, saya menganggap di atas tahun 1965 sudah termasuk film “modern”.
Namun seiring dengan waktu yang terus berjalan, saya sadar, bahwa batasan ini lama-lama akan berkembang mengikuti pergerakan masa. Jadi mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa film-film yang diproduksi atau dirilis sebelum tahun 1995, sudah bisa dianggap sebagai klasik. We never realise we do age, don’t we?
Tentu saja, memiliki waktu luang untuk menemukan dan menonton pertama kalinya film-film lama ini menjadi sesuatu yang saya anggap sebagai luxury. Maklum, gempuran film-film baru tak bisa dipungkiri memang lebih menggoda. Ditambah lagi tuntutan pekerjaan saya memang mencari film-film kontemporer yang fresh. Maka saya sangat menikmati kesempatan untuk menonton film-film dari era yang sudah lampau, yang ternyata masih meninggalkan kesan yang mendalam seusai menontonnya.
Menonton film-film klasik mau tak mau membawa diri kita ke era yang berbeda. Meskipun begitu, film-film klasik yang tak lekang oleh waktu ini biasanya mempunyai cerita yang kuat, dengan penokohan karakter yang terasa nyata, sehingga kita masih bisa terhubung secara emosi saat menontonnya. Dan kalau sudah mengalami koneksi itu, maka kita sudah tidak peduli lagi, dari era mana film tersebut dibuat, dan apakah film tersebut berwarna atau tidak.
Dari beberapa film klasik yang baru saya temukan pertama kali, ada lima film yang masih membekas di hati sampai sekarang. Inilah mereka:

Nama sutradara sekaligus pemeran utama film ini, Raj Kapoor, sudah sering didengar sebagai salah satu bintang legendaris perfilman Hindi di India. Namun terus terang, hanya segelintir karya beliau yang sudah saya tonton. Maka saya pun kaget, karena ada karya beliau yang dianggap sebagai the best film he ever made and one of the finest Hindi films ever made yang tersedia di platform Mubi. Dan setelah menonton, saya pun mengerti kenapa film ini disebut sebagai salah satu yang terbaik. Adegan-adegan fantasinya membuat kita serasa melayang pergi jauh. Karakter perempuan utama, yang diperankan oleh bintang legendaris Nargis, dibuat sangat kuat, jauh melampaui masanya. Ceritanya membuat kita tertegun. Salah satu film yang tak bisa dilewatkan.

Jujur, saya tidak tahu banyak tentang film dan perfilman di Mesir. Yang saya tahu hanya aktor legendaris Omar Sharif. Aktingnya pun saya ketahui dari film-film seperti Funny Girl dan Doctor Zhivago, yang bukan buatan Mesir. Makanya, saya takjub mengetahui ada film pertama beliau yang tayang di Netflix. Dan menonton The Blazing Sun ini memang membawa kita ke alam lain yang tidak pernah kita rasakan sebelumnya. Persona dan gairah seorang Omar Sharif muda di sini, with his raging young blood presence, membuat kita susah berpaling dari layar sedetik pun.
• Distant Voices, Still Lives (1989)

Tanpa banyak bicara, film Distant Voices, Still Lives mengajak kita menelusuri kembali keping-keping memori sebuah keluarga yang terdiri dari canda, tawa, jerit kesakitan, tangisan dan penyintasan. Lagu-lagu dan nada musik yang dinyanyikan dan dimainkan dalam beberapa dekade di film ini, seperti menjadi penanda setiap kenangan dan kejadian yang menentukan perjalanan hidup. Saya tercekat menonton film ini. Seperti ingin menelusuri lagi kehidupan masa lalu, meskipun penuh derita. Salah satu film puitis terbaik yang pernah ada.

Kebalikan dari semua film yang saya tulis di sini, The Longest Yard membuat saya tertawa terbahak-bahak, sambil berpikir, “Kok baru sekarang nonton film ini, sih?”Lalu saya sadar, belum banyak film Burt Reynolds di masa kejayaan beliau di dekade 1970-an yang saya tonton. Salah satunya film ini, yang menjadi obat penawar hari-hari belakangan yang cenderung gloomy. Percayalah, bahwa it’s good to laugh our hearts out in times like this.

Mungkin kita akan kaget melihat tokoh-tokoh di film ini yang cenderung masokis dalam usaha mereka untuk dicintai dan mencintai. Novel asli film adaptasi ini, karya penulis ternama W. Somerset Maugham, memang mengeskplorasi naluri manusia yang cenderung membabi buta saat menaruh harapan terhadap orang lain. Di film, hal itu diceritakan lewat tatapan ekspresif Bette Davis yang membuat kita tak bosan-bosannya mengikuti cerita film dari awal sampai akhir. Film yang, akhirnya, menampar mereka yang terlalu berharap.
Masih banyak film-film klasik lain di berbagai video streaming platform yang ada sekarang. Just do a little digging, and you’ll be surprised at what you discover.
Selamat menonton!