BEBERAPA hari lalu, saya #barutahu ada kenalan yang lolos diterima berkuliah di salah satu universitas Ivy League lewat program beasiswa. Mengenalnya sebagai teman diskusi selama 1,5 tahun terakhir, keberhasilannya menembus lembaga pendidikan sekaliber itu terasa amat wajar. Dia memang pinter banget, artikulatif–mampu menyampaikan pandangan dengan jelas dan mudah dimengerti, serta bernas.
“Hebat banget, ya…” Saya bergumam, saat itu.

Gambar: Pinterest
Sebab, terlepas dari pandemi yang membuatnya tidak bisa berangkat ke Amerika Serikat dan “hanya” berkuliah secara daring, pada kenyataannya ia berkuliah di kampus bergengsi dunia sambil terus bisa melanjutkan aktivitas-aktivitasnya di Indonesia. Baik itu pekerjaan, riset, kegiatan-kegiatan sebagai sukarelawan, dan sebagainya.
Untuk beberapa saat, saya teringat ketika pertama kali datang dan bekerja di Jakarta sebagai anak daerah; bertemu, berdiskusi, dan kerja bareng banyak kolega dengan latar belakang pendidikan maupun riwayat karier yang keren. Kala itu saya merasa kecil, mesti berhati-hati agar tidak tampak goblok-goblok amat apabila ada sesuatu yang tidak/belum saya ketahui. Itu adalah “penyakit” yang muncul dan masih bercokol sejak kecil, bahwa tidak/belum mengetahui sesuatu dianggap sama dengan kebodohan. Kalaupun ingin mengejar mereka dalam hal kiprah dan kapasitas pemikiran, sempat merasa bahwa titik start mereka sudah cukup jauh untuk diimbangi. Hingga akhirnya pemikiran tersebut berubah seiring waktu dalam banyak kesempatan kerja bareng, dan mengenal mereka lebih jauh.
Tanpa sadar saya lanjut nyeletuk. “Orang-orang pada hebat (lanjut berkuliah sambil terus bekerja), ya… Masih punya stamina untuk fokus ke dua hal penting sekaligus. Aku mah boro-boro (kuliah lagi), apalagi sampai ke Ivy League atau beasiswaan, ngurus kerjaan aja sudah physically and emotionally challenging.”
Lazimnya, celetukan saya di atas dinilai sebagai ekspresi kurang percaya diri. Sesayup, saya pun bisa mendengar orang-orang, baik motivator maupun yang ingin seperti motivator, menanggapi dengan nasihat-nasihat sebagai berikut;
“Kamu pasti bisa, kok!”
“Bagaimana kamu tahu tidak bisa, kalau belum dicoba?”
“Belum apa-apa kok sudah kalah? Semangat dong!”
“Kamu juga bisa kok sehebat itu, asal berani dan percaya diri.”
Iya, dalam kasus ini saya mungkin memang tidak percaya diri (untuk mendaftarkan diri mengikuti seleksi penerima beasiswa, dan untuk mengirimkan proposal kuliah Master di universitas-universitas dunia). Namun, di sisi lain saya mungkin lebih melihatnya sebagai ekspresi sadar diri. Sadar diri karena … tidak pinter-pinter amat; dan saat ini, tampaknya, tetap lebih berat ke pekerjaan yang sekarang (thanks to adulthood and mortgage). Lain ceritanya jika saya ingin menjadi dosen, atau bekerja di instansi pemerintah yang memerlukan penyelesaian studi Master demi kualifikasi dan kenaikan pangkat golongan.
Sementara itu juga, terdapat perbedaan mendasar antara percaya diri dan sadar diri. Keduanya sama-sama merupakan sikap mental yang mendorong dan mengarahkan tindakan. Kendati demikian, rasa percaya diri yang cenderung positif memuat ekspektasi atau bahkan keinginan. Dengan kepercayaan diri, kita yakin berhasil atau sukses mendapatkan yang diinginkan. Sedangkan sadar diri ialah sikap menerima atau penerimaan atas apa yang kita miliki saat ini. Kita sungguh-sungguh mengetahui; di mana kita berada saat ini, sejauh apa kemampuan yang kita miliki, sekuat dan selemah apa batas upaya yang dapat kita lakukan.
Sikap sadar diri sejatinya netral, tidak untuk mengambungambungkan suasana hati ke lapisan-lapisan langit, pun bukan untuk mengempaskannya ke dasar bumi. Sayangnya, kita diajarkan dan telanjur terbiasa mengidentikkan sikap sadar diri dengan rendah diri. Padahal, sikap percaya diri dan sadar diri bisa saling melengkapi. Keduanya saling berkontribusi.
Manakala kita bertekad ingin mencapai sesuai dan memprioritaskannya, sikap sadar diri mengawalinya dengan perhitungan sematang mungkin. Memastikan agar sumber daya yang kita miliki cukup, sehingga bisa digunakan secara efektif dan efisien, tidak dimubazirkan. Apabila kurang, kita pun mencoba berhitung kembali demi langkah-langkah untuk menambahnya.
Setelah semua dipersiapkan sebaik mungkin, barulah kita memasuki proses pencapaiannya. Lewat persiapan yang matang dan cukup, sangat masuk akal bila kita memiliki rasa percaya diri. Ditambah lagi dengan upaya maksimal, agar semua sumber daya yang ada bisa digunakan seoptimal mungkin. Dalam hal ini, rasa percaya diri bisa memberikan tambahan tenaga dan stamina dalam menjalankannya.
Terakhir, tiba waktu untuk memastikan apakah kita berhasil mencapainya, atau belum. Rasa percaya diri dari proses sebelumnya, kembali didampingi sikap sadar diri untuk kesiapan dan kelegaan atas apa pun hasilnya. Karena tanpa sikap sadar diri, kegagalan akan terasa terlampau menyakitkan. Rasa percaya diri tadi seolah-olah dikhianati oleh kegagalan. Membekukan dan menyakitkan. Di fase ini, sikap sadar diri ibarat matras kala terjatuh, atau api unggun dalam gua di tengah badai salju.
Selamat berupaya, semoga mendapatkan yang terbaik … dan punya kekuatan untuk menerima apa pun yang terbaik itu.
[]