KONON, kita bisa mengenali seseorang dari beberapa hal, seperti apa yang ia lakukan di waktu luang; bagaimana caranya menyikapi ketidaknyamanan (saat menunggu, saat bosan, saat terjebak macet, saat penyaji makanan melakukan kesalahan, dan sebagainya); termasuk lewat bahan bacaan yang ia nikmati.
Untuk dua hal pertama, berkaitan dengan kebiasaan, pembawaan, dan kepribadian. Sementara soal bahan bacaan, cenderung berhubungan dengan preferensi, pilihan, atau apa yang ia minati. Sesuatu yang ia pilih secara sadar, karena sesuai dengan seleranya dan bisa ia nikmati.
Penilaiannya tentu tidak sesederhana seperti yang kerap diulas dalam artikel majalah-majalah gaya hidup. Contohnya;
Novel
Penikmat bacaan ini memiliki stamina untuk hanyut dalam plot dan alur cerita. Khusus untuk genre horor, mereka menikmati rasa mencekam yang muncul dari kisah, sementara penikmat genre misteri dan teka-teki gemar turut menebak siapa pelaku utamanya dari jalinan adegan-adegan yang berlangsung terpisah. Sementara pecinta novel asmara kerap terbuai dengan drama dan romansa yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
Sensasi berbeda “diburu” oleh para penikmat novel bergenre multiaspek, seperti novel romansa dan sejarah (misal: “Bumi Manusia”), romansa dan misteri detektif, teka-teki dan mitologis (misal: “American Gods”), romansa distopia (misal: “1984”). Tak sedikit penggemar novel yang turut membayangkan dirinya sebagai bagian dari cerita, berada di sana, atau justru menjadi tokoh utamanya. Berkhayal sepuas-puasnya.
Cerita Pendek (Cerpen)
Berbeda dengan novel, cerita pendek tentu saja lebih … pendek. Oleh karenanya, satu kisah bisa dihabiskan dalam waktu lebih pendek, tak perlu berlama-lama dan terlampau dalam. Lantaran formatnya yang lebih pendek itu pula, penikmat cerpen yang cenderung gampang bosan bisa segera beralih ke cerita lainnya. Mereka suka dengan kejutan-kejutan, tetapi juga suka jenuh manakala kejutan tersebut dirasa biasa-biasa saja.
Perhatian mereka gampang teralihkan kepada sesuatu yang baru dan gegap gempita. Makanya, banyak penikmat cerpen yang selalu menimbun cerita-cerita, sehingga manakala mereka mau, mereka bisa langsung berpindah, mulai membaca cerita yang baru dan berharap segera dibuat terkesima. Juga termasuk antologi, yang ibarat biskuit Monde assortment di hari raya; isinya beragam dalam satu kemasan.
Mengenai genre, tentu saja tidak berbeda dengan novel. Napas dan nuansa ceritanya tetap sama, tetapi pengembangannya yang berbeda. Cerpen adalah novel yang sedang diet, sementara novel adalah cerpen on steroid.
Nonfiksi
Ada rasa #penasaran yang ingin seseorang penuhi dengan membaca buku nonfiksi (ya iyalaaah… kalau tidak, ngapain baca buku itu?), meski sekadar iseng sekalipun. Misalnya dengan membaca biografi, ia ingin mengetahui sisi-sisi tersembunyi dari tokoh yang dimaksud; dengan membaca buku resep masakan, ia ingin mengetahui bagaimana cara memasak sesuatu (lagi; ya iyalaaah…); dengan membaca buku tentang ulasan atau analisis mengenai sesuatu, ia ingin tahu lebih dalam (misalnya tentang cara beternak lele, cara sukses bisnis properti tanpa modal, cara menarik rezeki semesta dengan membuka pintu-pintunya, dialog dengan memedi penghuni segitiga cinta buta, dan lain sebagainya), atau kalau bukunya terlihat tebal dan mengintimidasi, ia mungkin saja ingin terlihat pandai; dengan membaca buku pelajaran atau literatur rujukan, ia adalah pelajar, mahasiswa, atau guru. Biasanya, sih, begitu.
Namun, harap tenang. Sebelum Anda merasa kesal dengan tulisan asal-asalan di atas, itu tadi hanyalah contoh yang kerap kita temukan di mana-mana. Poin utamanya ialah setiap orang memiliki minat bacaan berbeda-beda.
Masalah yang sering terjadi adalah, seseorang bisa menganggap rendah orang lain dengan menilai bacaannya. Misalnya, ada seseorang yang selalu mengikuti rilisan-rilisan terbaru tentang tren ekonomi dan marketing dunia, ataupun jurnal-jurnal ekonomi terkini, membuat pengetahuannya selalu terbarukan serta paham atas tren masa kini. Keadaan ini malah membuatnya memandang para pembaca buku “Kiat Fengshui Tahun Ini” sebagai orang-orang yang konyol, berpikiran terbelakang, serta terpengaruhi oleh takhayul yang ketinggalan zaman dan dianggap tak lagi relevan.
Pertanyaannya, bersediakah ia mengenal orang-orang yang disebutnya konyol itu dengan ikut membaca “Kiat Fengshui Tahun Ini”, mencari tahu apa yang sebenarnya mereka serap dari buku bacaan tersebut. Sebab, sekali lagi, setiap orang merasakan kenikmatan kognitif yang berbeda-beda, dari bacaan yang berbeda-beda pula.
Siapa kita, yang mungkin suka membaca buku-buku keren nan sophisticated, bisa langsung menghakimi dan sok tahu terhadap orang lain tanpa upaya mengetahui lebih jauh? Atau, sadarkah kita bahwa fanatisme terhadap bacaan–menilai bacaan yang ini lebih baik daripada yang itu dan tidak ingin menyelidiki lebih jauh–adalah echo chamber dunia literasi?
Jadi, bersediakah kita mengenali seseorang dari bacaannya? Dengan … membacanya.
[]