Beberapa hari yang lalu, saya menerima sebuah paket yang tidak pernah saya pesan sebelumnya. Or so I thought.
Begitu saya buka amplop pembungkus warna coklat, ternyata paket tersebut berisi sebuah buku, dan pin. Saya lihat gambar di pin yang bisa disematkan di baju itu. Ternyata gambar lambang sekolah saya. Dan saat saya melihat sampul buku itu, mata saya terbelalak. Sekaligus juga saya tersenyum.
Sampul gambar buku itu memuat foto lapangan sekolah saya. Tepatnya di sekolah menengah pertama (SMP). Warna foto itu sengaja dibuat agar terkesan ‘klasik’, seiring dengan tulisan di sampulnya, yang memuat tahun kelulusan angkatan saya.
Saya teringat lagi beberapa bulan yang lalu, hampir setahun yang lalu, tiba-tiba saja saya menerima pesan dari nomer yang tidak tersimpan di ponsel. Setelah saya baca lagi pengirim pesan, semakin kaget lagi saat saya sadar dia adalah teman SMP saya, yang sudah lebih dari dua dekade tidak berkabar. Dia mengatakan, kalau dia sedang menyusun buku alumni SMP angkatan kami.
Saya tertegun membaca pesannya. Meski ada sedikit keraguan, saya pun memberikan informasi yang diminta. Lalu kami pun tidak berkomunikasi lagi, sampai buku tersebut ada di tangan saya kemarin.
Kalau boleh jujur, masa SMP adalah masa yang awkward buat saya. Mungkin kalau dilihat dari kaca mata saya sekarang, looking back at that time, yang saya alami adalah masa transisi dari anak-anak ke remaja. Sudah tidak cocok lagi buat bermain selayaknya anak SD, namun masih terlalu muda juga untuk bergaya seperti anak SMA. Akhirnya waktu SMP saya habiskan bermain dengan sedikit teman. Prestasi akademis nyaris tidak ada, yang penting tidak pernah tinggal kelas. Hanya waktu kelas 3 SMP sempat menjadi kesayangan guru bahasa Indonesia, karena saya suka membuat karangan tulisan. Oh, dan yang selalu jadi langganan, tempat mencontek untuk pelajaran bahasa Inggris. Menjadi murid yang pasif waktu SMP ini berbanding terbalik dengan masa SMA, yang saking aktif mengikuti beberapa kegiatan ekstra kurikuler, saya malah jarang masuk kelas.

Meski dengan profil ala kadarnya di jaman celana pendek biru tua tersebut, tak ayal membuka lembaran nama-nama teman satu angkatan ini membuat perasaan saya membuncah. Terus terang, I was overwhelmed.Begitu banyak nama yang saya lupa, ditambah dengan foto terbaru kami semua yang kadang membuat saya berpikir, “Ini siapa ya?”
Harap diketahui bahwa SMP kami adalah SMP negeri dengan rata-rata 35 sampai 40 murid di satu kelas, dan ada sekitar 6 sampai 7 kelas di satu angkatan. Jadi memang tidak mungkin satu orang bisa hapal lebih dari 275 nama dan wajah, apalagi setelah beberapa dekade.
Tentu saja, banyak kejutan yang terjadi. Seorang teman di industri yang sama, di mana kami terlibat dalam beberapa projects yang intensif beberapa tahun terakhir, sontak memberi tahu saya lewat WhatsApp, bahwa kami ternyata teman satu sekolah dan satu angkatan! Bahkan selama ini kami tidak pernah sadar kalau kami dari kota yang sama. Kami sama-sama kaget, dan tertawa mengakui kealpaan masing-masing, sampai heran sendiri, “Kok dulu kita nggak berteman ya?”
Melihat profil teman-teman lama yang lain, membuat saya tersenyum. Meski guratan usia tidak bisa berbohong, toh kita masih melihat mereka sebagai teman yang pernah menghabiskan waktu dari Senin sampai Sabtu selama 3 tahun di masa pertumbuhan kami. Itu yang tidak bisa dilupakan.
Dengan pemikiran yang sama tersebut, bisa dibayangkan betapa kagetnya saya melihat halaman terakhir buku alumni ini.
Bertajuk “Dalam Kenangan”, halaman tersebut memuat foto-foto teman-teman kami yang sudah berpulang mendahului kami, jauh sebelum masa pandemi. Beberapa dari mereka, saya memang sempat mendengar kabar kepergian mereka. Namun jauh lebih banyak yang tidak saya ketahui.
Ditambah lagi dengan ditampilkannya foto-foto masa SMP bagi mereka yang berpulang ini, semakin terasa menyesakkan kenangan yang muncul saat melihat lagi wajah-wajah mereka.
Ada teman di kelompok belajar.
Ada teman sebangku di kelas.
Ada teman dari SD yang selalu berjalan kaki bersama saat pulang sekolah.
Ada teman yang sering dihukum guru karena bandel, namun sebenarnya dia baik.
Ada begitu banyak cerita yang mencuat di pikiran saat mengenang mereka semua.
Sempat terbersit rasa penasaran, what would happen if they’re still around. Namun hanya dalam hitungan detik, saya sadar, kalaupun mereka masih ada, toh belum tentu juga bisa bertemu dan rutin berkomunikasi. Mungkin memang waktu saya bersama mereka sudah cukup. Kita yang ditinggalkan akan melanjutkan hidup dengan sesekali terkenang mereka, dan mengucap doa penuh harap, agar mereka bahagia di alam sana.
Membuka lembaran buku alumni sekolah ini membuat saya mengenang kembali tidak hanya masa-masa sekolah, tapi mau tidak mau juga apa yang terjadi sesudahnya. Apa saja yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, sampai kita berada di titik sekarang. Tanpa sadar kita akan membuat sekat-sekat dalam kehidupan kita. Ada periode masa sekolah, masa kuliah, masa bekerja, lalu buat yang sudah berkeluarga, masa mulai membina hubungan dan akhirnya berkeluarga. Saya sendiri, selain memilah hidup berdasarkan sekolah, juga berdasarkan tempat tinggal.

Meski hidup menuntut kita terus melihat ke depan sambil tahu persis di mana posisi kita menginjak bumi sekarang, it’s nice to look back once a while. Sesekali melihat ke belakang membuat kita mau tidak mau tersenyum. Entah tersenyum untuk kenangan yang muncul tiba-tiba, atau tersenyum bangga, bahwa we are still here, we are still living.
Semoga kita sudah tersenyum hari ini.
Thank you, 13-to-15-year-old me. We made it.