Nasi Pecel dan Lean Living

SAYA gembira banget minggu kemarin, ada tetangga yang berjualan nasi pecel.

Entah, ya, semenjak pindah ke Jakarta, rasanya kok susah banget ketemu penjual nasi pecel secara acak. Mau tidak mau, kalau kepingin perginya ke Sate House Senayan meski agak mahal, atau jika sedang ke BSD, makan nasi pecel di depot yang … lupa namanya, yang pasti bersebelahan dengan tempat gym. Rasanya lebih pedas–sesuai selera–dan tentu saja lebih murah.

Jadi, selain gembira karena saya memang doyan nasi pecel, dan kini lebih gampang mendapatkannya, harganya jauh lebih murah. Seporsi nasi pecel dengan telur mata sapi cukup Rp15 ribu, harganya pun hanya naik Rp2 ribu jika pakai ayam goreng, dan menjadi Rp20 ribu kalau pakai lauk empal suwir.

Soal rasa, saya menduga, tentu belum ada seberapanya dibanding nasi pecel-nasi pecel favorit di kota Malang yang pernah diceritakan Mas Nauval beberapa tahun silam. Wajar saja, tetangga yang berjualan nasi pecel tadi barangkali baru mencoba usaha ini. Namun, yang namanya nasi pecel, ya sudah pasti seperti yang kita ketahui bersama. Dengan racikan yang paling sederhana sekalipun, isinya tetap akan terdiri dari beberapa jenis sayuran, disiram saus kacang, dimakan bersama rempeyek kacang tanah (bukan ebi, bukan kacang-kacangan yang lain, pokoknya harus kacang tanah!)

Soal rasa, tentu kembali ke selera masing-masing, tidak valid untuk saling diperbandingkan. Berbeda halnya dengan harga. Terakhir kali sarapan nasi pecel yang dijual dekat rumah di Samarinda beberapa tahun lalu, sebungkusnya dihargai Rp12 ribu. Nasinya seabrek-abrek (habis juga, sih), sayurnya banyak, pakai lauk sepotong ayam atau telur bumbu merah, dan rempeyeknya berlimpah ruah.

Lewat pengalaman latar yang demikian, ditambah terbiasa dengan rentang harga makanan di Jakarta, seporsi nasi pecel yang dijual Rp15 ribu itu pun terasa sangat oke bagi saya. Akan tetapi, bisa saja bagi warga kota dan kabupaten yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Rp15 ribu untuk sepiring nasi pecel sudah termasuk mahal. Mending makan sate, soto ayam, atau rawon, daripada cuma makan sayur pakai ndhog ceplok karo iwak peyek.

Yang pasti, terlepas dari perbedaan harga antardaerah tersebut, sepiring nasi pecel tadi sudah sangat cukup dijadikan makan siang. Membuat saya kenyang setidaknya hingga sore, cukup kenyang tanpa perlu dorongan untuk mengudap atau ngemil.

Dalam kasus berbeda, Senin kemarin saya juga menemukan restoran yang menjual seporsi nasi campur daging babi dengan harga lebih murah daripada segelas boba kekinian, yang bahan isiannya lebih banyak dari Chatime biasa.

Ada enam lauk, dan satu sup!

Saya suka ngemil, apalagi yang manis pedas, gurih, atau cokelat. Hanya saja, setelah satu-satunya perut ini dibuat kenyang dengan seporsi nasi pecel atau nasi campur daging babi tadi, saya merasa agak mubazir untuk jajan lagi. “Kan sudah kenyang, jadi buat apa lagi?” Pertanyaan yang bisa saya sampaikan kepada diri sendiri.

Terlebih lagi, saat ini saya harus bisa mengelola keuangan pribadi secermat-cermatnya. Sehingga pertanyaan “buat apa lagi?” bergema lebih kencang.

Begini perhitungan saya. Makan siang yang saya pilih, diusahakan tidak lebih mahal dibanding Rp15 ribu. Jarang masak sendiri, karena masih enggan berinvestasi untuk peralatan dapur; belum pandai memilih daging, dan kalaupun ada, harganya juga lumayan; toh yang makan hanya saya sendiri.

Begitu pula untuk makan malam, seporsi pecel lele dengan nasi; sebungkus ketoprak dengan telur mata sapi; atau seporsi sate ayam dengan nasi kurang lebih Rp15 ribu. Jadi, anggap saja saya membelanjakan Rp30 ribu untuk makan siang dan makan malam setiap hari, berarti anggaran makan selama sebulan (30 hari) adalah Rp900 ribu. Tanpa ngemil, karena sudah kenyang.

Nominal Rp900 ribu untuk makan satu orang selama sebulan (di luar sarapan), tampaknya kurang cukup untuk makan satu keluarga rata-rata selama sebulan. Namun, tetap tidak menutup kemungkinan ada keluarga atau rumah tangga kecil yang pasokan makan siang dan malamnya cukup dengan Rp900 ribu tersebut. Bisa saja di luar kota Jakarta, atau ada faktor-faktor lain yang disesuaikan. Setidaknya, kebutuhan pangan (dalam arti luas) tetap terpenuhi … tanpa jajan tambahan.

Hal ini membuat saya teringat dengan konsep atau istilah lean lifestyle, lean living, ataupun lean spending (mungkin istilahnya keliru). Saya belum pernah membacanya secara mendalam, tetapi saya menduga pasti turut menyangkut prinsip “Belilah yang dibutuhkan (need), bukan yang diinginkan (want).” Yang bila kembali ke contoh nasi pecel dan nasi campur daging babi tadi, berarti ngemil memang sepatutnya ditempatkan di prioritas kesekian dari belanja konsumsi harian lantaran tidak sekrusial sarapan, makan siang, dan makan malam.

Sementara itu, kita sudah sama-sama mengetahui bahwa kebutuhan dasariah manusia adalah pangan (makan), sandang (pakaian), papan (tempat tinggal). Kendati demikian, di dalam ketiga kategori juga terdapat skala prioritas berbeda, antara yang dibutuhkan dan diinginkan.

Dalam pangan, contohnya antara sarapan, makan siang, makan malam; dan ngemil.

Dalam sandang, contohnya antara membeli busana yang sedang diperlukan, memperbaiki busana yang rusak dan masih bisa diperbaiki; dan mengkoleksi.

Dalam papan, ini agak ribet, karena ada yang berpandangan membeli lunas lebih baik daripada menyicil; membeli rumah tapak lebih baik daripada apartemen; ada pula yang menyebut mengontrak dahulu lebih baik daripada memaksakan diri memiliki saat ini. Belum lagi ada anggapan yang sempat populer untuk beli rumah atau apartemen sebanyak-banyaknya sebagai investasi dan dijual kembali nanti. Tanpa tahu kapankah “nanti” itu.

Dengan demikian, mungkin tak ada salahnya untuk mulai mencatat dan memerhatikan pembelanjaan kita, kemudian mengidentifikasi apa saja yang bisa dihilangkan tanpa membahayakan kehidupan kita saat ini, kemudian belajar berkomitmen menguranginya perlahan-lahan, lebih cermat bertindak, dan mencoba mengamankan lebih banyak.

“Tapi, kan, ini uang, uangku sendiri, bebas dong kalau mau dibelanjain. Aku berhak pakai buat ngemil, buat jajan…

Lah, ya, bebas. Enggak ada yang ngelarang, kok. Duit, duitmu sendiri. Kalau ada, berkecukupan, atau bahkan berlebihan, ya, silakan saja. Cuma … kalau bisa jangan sampai ngutang. 😅

[]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s