Kata yang menurut saya perlu dibahas dengan sabar, perlahan adalah kata ‘hampa’. Sebisa mungkin kita tak menggunakan kamus, namun rasa. Hampa udara. Ruangan tanpa udara. Maka apakah hampa dapat diartikan sebagai ketiadaan. Bagaimana dengan perasaan hampa? Apakah tidak merasakan, tidak ada apa-apa?
Apakah sama dengan vakum? “Dia sudah vakum dari kegiatan menulis”. Vakum apakah artinya berhenti? Tak bergerak, atau juga tak ada apa-apa. Saking seringnya kita dengar vakum cleaner makanya vakum seolah-olah penyedot. Hahaha.
Apakah hampa sama dengan alpa. Tidak hadir. Hampa untuk benda dan alpa untuk seseorang?
Dalam Gerimis, Raditya Dika menulis: Ketika Alfred diputus pacarnya, hatinya terasa hampa. Pertanyaan berikutnya adalah: apakah perasaannya atau pikirannya? Hampa tentu saja berbeda dengan kosong. Tiada menghamba, karena hampa. Bukan soal raga, namun rasa.
Bagi Raditya Dika,
Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tapi tak jingga, cinta tapi tak dianggap
Langkah tak berjejak seperti melayang. Senja tapi tak jingga seperti tak biasanya. Cinta tak dianggap adalah sebuah kesia-siaan, namun akibatnya adalah perasan hampa. Kira-kira seperti itu.
Bagi Ahmad Dhani, ‘hampa’ adalah kosong:
Di dalam keramaian aku masih merasa sepi / Sendiri memikirkan kamu / Kau genggam hatiku / Dan kau tuliskan namamu / Kau tulis namamu… //
Tubuhku ada di sini // Tetapi tidak jiwaku / Kosong yang hanya kurasakan / Kau telah tinggal di hatiku
Hampa dapat didekatkan pemaknaannya dengan kondisi fisik riil serupa hampa udara. Namun lebih sering digunakan sebagai ungkapan atas sebuah perasaan.
Demikian halnya bagi Ari Lasso:
Kupejamkan mata ini
Mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah tentang dirimu
Tentang mimpikuSemakin aku mencoba
Bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan tolonglah dirikuEntah dimana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah disana kau rindukan aku
Seperti diriku yang selalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Hampa
Rintik hujan nan sendu, menutup geliat senja. Meski angin bergemuruh, halilintar meraung-raung namun pandangan kosong nan hampa menatap kaca yang berembun, lebih mendominasi jiwa.
Saat itu aku terdiam, terpaku, merenung, dengan tatapan kosong menatap hujan, inilah marahnya sang alam pada jiwa yang hampa? Pada jiwa yang meronta namun berteriak dalam diam?
Ada perasaan yang bahkan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, lalu aku berkata, kenapa? Kenapa hampa? Ada apa?
Tanpa jawab, tanpa tanggap dan senyap, seketika jemariku juga kaku untuk menuliskan ratusan kata sebagai jeritan atas jiwa yang hampa.
Semuanya gaduh, semuanya gemuruh, lebih gemuruh dari halilntar yang bergemuruh. Semua gaduh dan semuanya teriak, menjerit, meronta namun tanpa kata, tanpa suara.
Seketika hening, seketika diam dan seketika hampa. Hampa tanpa dosa dan hampa tanpa suara.
Tuhan, maafkan atas candu hampa ini.
Brebes, 9 Februari 2020
Semuanya gaduh, semuanya gemuruh, lebih gemuruh dari halilintar yang bergemuruh. Semua gaduh dan semuanya teriak, menjerit, meronta namun tanpa kata, tanpa suara.
Seketika hening, seketika diam dan seketika hampa. Hampa tanpa dosa dan hampa tanpa suara.
Tuhan, maafkan atas candu hampa ini.
Suwung (aksara Jawa: ꦱꦸꦮꦸꦁ) adalah konsep dalam masyarakat Jawa untuk menggambarkan rasa hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya. Hampa di sini dapat diartikan sebagai kondisi kosong yang arupa alias tidak memiliki bentuk.[1] Konsep suwung dipandang sebagai asal-muasal dari alam semesta, hakikat dari segala sesuatu.[2] Suwung adalah kenyataan mutlak yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusiawi.[3]
Sementara itu, kelompok beraliran sufisme mengartikan suwung dengan berbeda. Suwung bagi mereka mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan. Dalam ajaran Suluk Suksma Lelana, suwung adalah tahapan tertinggi, yaitu makrifat. Dalam tahapan ini, seseorang telah berhasil mencapai hakikat ketuhanannya.[1]