Dari sekian banyak hal baru yang dikerjakan selama masa pandemi ini, ada satu hal yang tidak saya sangka akhirnya saya kerjakan. Akhirnya saya rutin mengisi sesi Instagram live. Ini berarti mau tidak mau saya harus menampilkan muka dalam bentuk moving image and sound, alias gambar bergerak, alias video dan bukan foto, dan berbicara sambil melihat muka sendiri selama sekitar satu jam.
Dalam arti kata lain, saya terpaksa jadi extrovert dalam jangka waktu tertentu secara rutin.
Maklum, saya memang kurang nyaman menampilkan profil foto di media sosial. Kalau bisa, hanya sebatas di bagian informasi akun saja. Itu pun kalau bisa diakali dengan gambar lain, maka saya akan memilih gambar obyek lain daripada mengunggah foto pribadi. Hal ini pula yang menyebabkan saya tidak begitu aktif di media sosial yang image-driven content, seperti Instagram atau Youtube. Yang terakhir ini malah saya anggap video streaming platform, bukan media sosial. Saya merasa nyaman dengan tulisan. Apalagi saya memulai aktifitas di dunia maya dengan blogging. Maka saya lebih nyaman untuk berceloteh dan berbagi lewat kata-kata, walaupun itu sekadar retweet tautan seputar film.
Namun situasi sekarang memang membuat kita mau tidak mau harus melakukan hal baru. Agar kegiatan dan pekerjaan saya tidak terhenti engagement-nya dengan publik karena offline activities belum bisa dilakukan, maka kami terus melakukan online activities sebisa kami. Setelah beberapa minggu rutin memberikan rekomendasi tontonan setiap hari, teman saya mengusulkan untuk memulai obrolan lewat Instagram live dengan pelaku industri. Saya langsung mengiyakan, karena berpikir cepat dengan melihat bahwa jenis obrolan ini bisa memberikan insight yang baik dan berguna buat mereka yang memang tertarik. Baru ketika saya sadar bahwa kami akan bergiliran menjadi host sesi ini, saya pun mengucap dalam hati, “Uh oh …“

Kalau boleh jujur, saya tidak ada masalah bertemu dan berdiskusi dengan orang yang baru saya kenal, selama tahu apa yang dibicarakan. Latihan di lapangan menjadi pewawancara media cetak beberapa tahun lalu masih cukup manjur. Untungnya tidak ada masalah dengan berbicara di depan umum.
Yang membuat saya kurang nyaman adalah self consciousness, karena kita melihat refleksi diri kita sendiri di layar ponsel, tablet atau komputer, saat kita berbicara dengan orang lain. Ini tidak terjadi saat kita berbicara langsung, karena tidak ada kamera. Kita hanya melihat lawan bicara kita. Kita tidak melihat diri kita sendiri yang sedang berusaha melihat lawan bicara kita, karena ada kamera.
Maka ada proses tambahan untuk sekadar berbicara. Di awal-awal saya cuek dengan kualitas suara, maka akhirnya saya mengeluarkan lagi headphones agar suara saya dan lawan bicara terdengar jelas. Tadinya saya sekadar menggenggam ponsel atau tablet sambil video call, sekarang mau tidak mau harus setup posisi gawai agar mendapat pencahayaan yang cukup, sehingga terlihat jelas oleh lawan bicara, dan orang-orang lain yang melihat pembicaraan kami. Akhirnya saya pun beli ring light untuk menambah pencahayaan.
Setelah selesai mengatur persiapan, masih saja perasaan segan melihat muka sendiri ini terus muncul. Pelan-pelan akhirnya saya keluarkan lagi mantra pribadi saya saat melakukan wawancara atau menjadi moderator diskusi, yaitu, “It’s not about you. It’s all about what the other person says.”
Maka dengan sekuat tenaga, saya berusaha untuk tidak melihat muka sendiri. Saya memperhatikan wajah lawan bicara, semoga tidak pernah staring, lalu merespon apa yang mereka katakan. Masalah koneksi internet yang belum tentu lancar sehingga mengakibatkan ada jeda antara suara yang keluar dari mulut dengan suara yang didengar, kadang tidak bisa dielakkan. Ini membuat saya harus benar-benar memperhatikan apa yang dikatakan lawan bicara, lalu merespon dengan tanggapan yang sesuai.
Berhubung sejauh ini lawan bicara selalu datang dari negara dan latar belakang profesi yang berbeda, maka banyak temuan menarik yang membuat saya bisa tidak self conscious dan meneruskan obrolan. Seperti hari Senin lalu, saya ngobrol dengan seorang guru yang membuat festival film anak-anak di Spanyol dan Kuba, dan mengatakan bahwa anak kecil pun bisa menikmati film klasik serius macam karya-karya Fellini. Atau di minggu sebelumnya, saat saya berbicara dengan anggota klasifikasi film di Austria yang tidak begitu banyak memberikan informasi soal profesinya, maka saya harus “jumpalitan” mempertahankan diskusi supaya berjalan lancar.

Sampai saat ini saya, self-proclaimed introvert yang mendadak jadi extrovert karbitan, masih terus belajar. Belajar mendengarkan, belajar memperhatikan, dan belajar untuk tidak mengindahkan self-consciousness. Pada akhirnya ketika kita berbicara dengan orang lain di hadapan kita, kita hanya perlu untuk mendengar. In conversing, it’s not about us. It’s about listening to each other.
Melihat dan mendengar secara langsung di masa pandemi ini memang perlu extra effort, tapi sejauh ini, those extra efforts are worth taking.