Akhirnya saya bisa menyelesaikan menonton The Last Dance di Netflix. The Last Dance ini adalah miniseri dokumenter tentang perjalanan klub basket Chicago Bulls menjuarai kejuaraan basket NBA 6 kali di tahun 90-an. Miniseri ini juga menaruh spotlight pada perjalanan karir dan hidup Michael Jordan, pemain utama Chicago Bulls yang menjadi daya tarik klub dan permainan basket secara umum. Bahkan tak segan-segan beberapa narasumber yang diwawancarai di serial ini mengatakan bahwa Michael Jordan adalah the greatest athlete of all time.
Kurang lebih saya menghabiskan lebih dari seminggu menonton 10 episode serial ini. Waktu yang cukup lama, karena beberapa seri biasanya dihabiskan dalam waktu yang jauh lebih cepat. Apakah serial The Last Dance ini membosankan? Justru sebaliknya.
Saya bukan penggemar tontonan olahraga. Well, kalau boleh jujur, saya bukan penggemar aktivitas olahraga. Melakukan latihan fisik yang terbatas secara rutin adalah sekadar alat penyambung hidup, supaya tetap sehat. Tontonan olahraga yang saya ikuti secara rutin adalah Piala Dunia, yang berarti empat tahun sekali, Olimpiade, terutama acara pembukaan, yang juga empat tahun sekali, dan kejuaraan tenis Wimbledon setahun sekali. Hanya Wimbledon, dan tidak pernah tertarik dengan Australia Open atau US Open, dan sesekali tertarik pada French Open.
Namun baru beberapa menit pertama di episode kesatu serial The Last Dance sudah membuat saya tersenyum. Saya membatin, “It’s gonna be great. This series is gonna be fun to watch!” Maka saya memutuskan untuk menikmatinya pelan-pelan dalam beberapa hari ke depan. Tidak mau terburu-buru.
Kenapa?
Kalau Anda duduk di bangku sekolah di awal sampai pertengahan dekade 90-an, maka Anda ingat kalau kita tumbuh bersama NBA. Setiap hari Sabtu dan Minggu pagi di SCTV, ada tayangan pertandingan NBA. Biasanya siaran langsung dengan selingan siaran tunda. Kalau ada pertandingan final, maka bisa dipastikan ada siaran langsung setiap pagi mulai jam 8 pagi, setiap 2-3 hari sekali. Itu baru televisi. Belum lagi majalah. Di usia ABG, maka saya mencari bacaan yang sesuai dengan usia saya. Pilihan jatuh pada majalah HAI. Meskipun menasbihkan diri sebagai majalah remaja pria, nyatanya isi majalah ini terfokus pada dua hal di tahun 90-an, yaitu musik dan basket. Maka mau tidak mau, sebagai seseorang yang selalu gagal untuk sekadar dribble bola basket dengan nilai pelajaran olahraga selalu 6, saya masih cukup bisa mengikuti percakapan yang mengikutkan nama-nama seperti Michael Jordan, Scottie Pipen, Dennis Rodman, Phil Jackson, Utah Jazz, dan sejenisnya.

Melihat nama-nama itu di serial The Last Dance membuat saya kembali lagi ke masa remaja yang silam. Meskipun tidak pernah benar-benar terpaku selama 90 menit mengikuti setiap menit jalannya pertandingan, karena kadang-kadang saya membiarkan televisi menyala sambil saya sarapan dan membaca koran atau buku, atau mengerjakan PR, mau tidak mau beberapa kali pandangan terarah ke televisi kalau ada nada tinggi dari komentator di lapangan, yang merespon kejadian di lapangan. Lalu saat pertandingan itu hadir lagi di serial di Netflix, saya takjub sendiri. Beberapa adegan rekaman pertandingan membuat saya berpikir beberapa kali, “Hey, I remember this! I remember this fierce battle between Chicago Bulls and Utah Jazz!” Padahal dulu saya tidak pernah benar-benar menonton dengan cermat setiap pertandingan.
Isn’t it funny how our mind and memory work for us?
Secara kualitas, serial The Last Dance menghadirkan tontonan dengan kualitas jauh di atas rata-rata. Arsip puluhan tahun digunakan dengan cermat, dengan editing yang seamless atau rapi, sehingga tumpukan wawancara tidak terlalu terasa berlebihan menimbulkan efek excessive talking heads. Hanya saja tulisan kali ini tidak akan menganalisa isi dan kualitas serial ini. Saya hanya membagi sensasi yang terasa dalam diri saat menontonnya, dan terus terang membuat hati gembira. Saya nyaris selalu tersenyum di setiap menit serial ini.
Di episode yang berkisah tentang pengunduran diri (sementara) Michael Jordan dari basket setelah ayahnya tewas, mau tidak mau saya teringat kembali juga, bahwa berita tersebut ramai juga diberitakan oleh media massa kala itu. Jarang-jarang berita olahraga masuk di halaman depan. Iklan Michael Jordan untuk minuman Gatorade dengan slogan “I wanna be like Mike!” juga sering diputar di radio dan televisi waktu itu, sampai istilah ini menjadi jargon yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Demikian pula dengan tingkah laku “slenge’an” Dennis Rodman, lengkap dengan rambut yang selalu dicat warna-warni yang ditiru beberapa teman saya. Tentunya dengan kaos basket kedodoran, celana bermuda selutut dan sepatu basket.

Nostalgia memang sudah menjadi komoditas penting, terutama dalam dunia hiburan. Beberapa film dan serial yang ada merupakan reka buat atau remake dari film dan serial yang pernah dibuat sebelumnya, beberapa dekade atau beberapa tahun sebelumnya. Demikian pula dengan The Last Dance ini. Kalau beberapa serial dokumenter olahraga membuat kita tertegun dengan sensasi isu yang dibawakan yang membawa pemikiran atau diskusi baru, yang biasanya serius, maka The Last Dance sudah sangat pas hadir membawa kenangan lama yang hangat dan menyenangkan. Tidak ada usaha untuk membuka diskusi baru. Ibaratnya kita membuka album foto keluarga, lalu paman dan tante kita duduk di samping kita, menceritakan setiap foto sesuai dengan ingatan mereka yang masih tajam, tanpa perlu membuka interpretasi baru, maka begitulah dengan apa yang saya rasakan selesai menonton The Last Dance ini.
Tentu saja, menonton cuplikan beberapa pertandingan final NBA dengan Chicago Bulls di dalamnya membangkitkan sensasi yang seru di dalam diri sendiri, karena kita sudah sangat kangen dengan siaran langsung pertandingan olahraga yang nyata. It feels like a long time ago.
Dan kita tidak ada yang tahu kapan kita bisa menyaksikan siaran langsung pertandingan olahraga yang seru lagi. Sambil menunggu, sambil melanjutkan hidup, maka kita perlu merayakan kepingan nostalgia ini, yang bisa membuat tersenyum.
And that is how we celebrate.