Kemarin saya baru saja menyelesaikan membaca novel “Eleanor Oliphant is Completely Fine” karya Gail Honeyman. Ada satu kalimat di bagian menjelang akhir novel ini yang membuat saya tersenyum, karena terus terang kalimatnya cukup menohok. Silakan lihat sendiri kalimatnya.

Kalimat yang saya maksud adalah di bagian yang saya highlight di Kindle. “Obscenity is the distinguishing hallmark of a sadly limited vocabulary.” Kalimat ini diucapkan oleh karakter utama novel, Eleanor Oliphant, yang dalam cerita ini dibesarkan dengan dididikan yang kuat dalam bertutur kata. Dia juga sangat judgmental apabila ada orang yang menulis pesan singkat atau e-mail dengan bahasa seadanya. Eleanor percaya bahwa karakter orang bisa dinilai dari jenis tulisan yang dibuat.
Sounds familiar.
Terutama buat saya sendiri, seperti melihat di kaca saat membaca buku ini.
Terlebih di bagian yang saya highlight di atas.
Pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam, saat masih lebih muda dari sekarang, saat keadaan emosi sedang tidak stabil. Saya menulis di atas kertas, beberapa lembar kertas, menuangkan kemarahan saya dalam rangkaian kata dan kalimat yang sebenarnya bisa dirangkum dalam deretan kata-kata berikut: “f*** you!”, “f*** you!”, dan “f*** you!” Tulisan ini berupa surat panjang yang dikirimkan kepada seseorang, dan tidak hanya satu surat saja, namun ada beberapa surat. Semuanya bernada sama. Semuanya juga berlembar-lembar. Entah dari mana datangnya energi yang luar biasa besar untuk meluapkan kemarahan yang tertuang dalam puluhan lembar kertas dan ribuan kata.
Mungkin yang saya lakukan sedikit bertentangan atau berlawanan dengan yang dimaksud Eleanor Oliphant. Bahwa saya, saat itu, lebih memilih untuk mengelaborasi obscenity menjadi begitu panjang, dan mungkin saja jadinya bertele-tele.
Namun yang saya ingin sampaikan adalah, ada kesamaan keterbatasan saat kita mengumpat. Kalau dalam novel dibilang “obscenity is the distinguishing hallmark of sadly limited vocabulary“, maka yang saya alami dulu adalah “obscenity is the distinguishing hallmark of a sadly limited maturity and patience.” Karena kita merasa bahwa rasa sabar kita habis, maka kita tidak bisa melakukan hal lain, selain mengumpat. Karena pikiran belum matang, dan belum bisa menerima hal yang terjadi di luar kuasa kita, maka kita mengumpat.
Apakah saya menyesal pernah mengumpat panjang lebar terhadap orang(-orang) tersebut? Ya, pasti ada penyesalan. Bahwa saya merasa sebenarnya bisa lebih bijak dalam bertutur kata. Tapi apakah saya menyesal hal itu pernah terjadi? Tidak. Karena saya harus melalui proses yang tidak enak itu, sebelum bisa berada di titik sekarang yang bisa menerima segalanya.
Mengumpat itu kadang membuat kita merasa enak dan puas. Marah kadang diperlukan. Namun kombinasi keduanya yang dilakukan dalam waktu yang panjang dan lama, akan melumpuhkan kita.
There are always other words to choose. Itu yang selalu jadi mantra pribadi saya kalau lagi kesal dan ada keinginan untuk mengumpat.
Karena kata yang kita pilih untuk kita ungkapkan, adalah jati diri kita.

Tinggalkan Balasan ke nauvalyazid Batalkan balasan