Berani untuk Berharap, Berani untuk Kecewa

TAPI, mumpung masih muda dan masih sangat bertenaga (fisik, pikiran, dan perhatian), ya tidak apa-apa, lakukan saja. Teruslah berteriak, mengomel, dan berdebat. Toh seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman hidup, kita pun perlahan-lahan mampu mengelola perasaan–dan kehidupan kita secara umum–dengan lebih baik lagi;

  • Perlukah kita bersikap sangat antusias, bahkan sampai meledak-ledak?
  • Seberapa besar antusiasme yang sebaiknya kita tunjukkan?
  • Bagaimanakah caranya mempercayai seseorang?
  • Seberapa dalam sebaiknya kita mengidolakan seseorang?
  • Apa yang harus kita lakukan manakala kepercayaan kita dicederai?
  • Berapa lama sebaiknya kita berpegang pada sebuah perasaan?
  • Manakah yang lebih baik, berharap tanpa tahu apa yang akan didapat, atau tidak berharap apa-apa tetapi tetap siap jika mendapatkannya tanpa diduga?
  • … dan berbagai keadaan sejenisnya yang lain.

Mencegah itu selalu lebih baik daripada mengobati.

Ingat dengan pepatah “Semakin tinggi kita berada, semakin sakit nanti jatuhnya”, kan? Ungkapan itu tentu tidak bermaksud menyumpahi atau mendoakan agar yang sudah di atas segera jatuh gedebuk, melainkan sebuah realitas alamiah bahwa jatuh dari atas pohon pasti lebih menyakitkan dibanding jatuh dari sepeda roda tiga.

Begitu pula yang berlaku atas kita, dan atas ekspektasi yang kita bangun sendiri. Makin tinggi asa kita dalam mengharapkan sesuatu agar sesuai keinginan, akan makin sakit pula bila kita terpaksa harus jatuh kembali ke daratan kenyataan.

Dalam hal ini, bukannya kita tidak boleh memiliki harapan atas sesuatu, tetapi tetaplah waspada dan biarkan kaki selalu menapak ke bumi, kokoh, memberikan kesempatan untuk menjaga keseimbangan jika sewaktu-waktu diperlukan. Lantaran tidak semua orang langsung memiliki kemampuan untuk “jatuh pada posisi kuda-kuda yang baik sehingga terhindar dari cedera” dan bisa berdiri untuk berjalan lagi.

Membangun kesadaran untuk berhati-hati dengan harapan sendiri, ibarat mempersiapkan bantal udara besar untuk memudahkan pendaratan jika sewaktu-waktu harus meluncur jatuh. Mencegah cedera akibat jatuh, pastinya lebih baik daripada mengobati.

Bukan orangnya, tetapi pesannya.

Kita seringkali menaruh harapan pada figur, menjadikannya idola, dan kemudian malah melekat kepadanya. Sekali merasa terkhianati, kita akan sangat sakit hati, atau justru malah menyangkalnya (denial) dan tetap membelanya.

Mengapa bisa demikian? Seseorang muncul dan menyampaikan pesan berupa ide, konsep, teori, dan sejenisnya. Pesannya sendiri bisa memberikan kebaikan, dan makin memikat ketika disampaikan oleh seseorang yang berpembawaan menawan. Baik tutur kata, gerak-gerik, sampai cerita-cerita yang ditambahkannya bisa memesona, menumbuhkan kepercayaan, dan harapan. Begitulah seterusnya, hingga terjadi sesuatu yang bisa membalikkan itu semua.

Tetap ingin berharap pada manusia? Harus siap untuk kecewa meski sekecil apa pun. Silakan dicermati bahwa seseorang menginspirasi lewat apa yang ia sampaikan dan lakukan. Inspirasi tersebut melekat pada pesan, bukan pada yang menyampaikannya. Meskipun sayangnya, kita memiliki kecenderungan untuk berpegang teguh justru kepada mediumnya, lalu menjadikannya sumber utama tunggal.

Ini salah satu contoh terbarunya.

Sebagai seorang awam perihal pengelolaan kekayaan individual, saya tidak memungkiri bahwa edukasi finansial yang diberikan cukup membukakan mata, kendati kebanyakan menggunakan pendekatan rasa takut dan khawatir. Saking fenomenalnya, tak sedikit yang menjadikan sang figur sebagai panutan. Ketika perusahaan tersebut terbukti melanggar ketentuan (baca: melakukan kesalahan), tentu tidak menggugurkan ilmu dan kaidah pengelolaan finansial yang pernah disampaikan.

Harapan itu keinginan, keinginan itu hasrat, dan hasrat itu menagih untuk dipuaskan.

Tahu rasanya ketika hasrat kita menggantung dan tak bisa dipuaskan. Tidak nyaman, kan? Dalam berbagai situasi, rasa tidak nyaman tetap akan timbul dan mengganggu. Akan tetapi, manakala kita mampu untuk bisa biasa-biasa saja terhadap ketidakpuasan tersebut, apa lagi yang tersisa untuk membuat kita merasa terganggu dan tidak nyaman?

Di manakah kekecewaan itu akan bercokol? 😁

[]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s