Orang-orang kok pada tersinggungan, ya?

BOCAH laki-laki itu baru selesai dimandikan ibunya. Seperti biasa, perut, punggung, dan kakinya dibalur minyak kayu putih yang aromanya khas serta menghangatkan. Sang bocah lalu dipakaikan piyama; kaus berlengan panjang lengkap dengan celana panjangnya. Terakhir, wajah dan leher sang bocah diberi bedak bayi. Wangi, meskipun berlepotan sekenanya. “Biar enggak diculik genderuwo,” dalihnya. Padahal, mungkin memang biar cepat saja. Sehingga ibunya bisa lanjut mengerjakan aktivitas lain, memasak dan mempersiapkan makan malam, menyuapi anak, mencuci, atau apa pun.


Sekilas, tidak ada yang istimewa dari sefragmen narasi di atas. Terkesan biasa-biasa saja, dan menggambarkan sesuatu yang lazim kita temui dalam kehidupan sehari-hari (tanpa melihat latar belakang tambahannya). Namun, bisakah sepenggal cerita tadi membuat orang tersinggung?

Mungkin saja. Sebab dari perkiraan saya setidaknya ada lima atau enam hal yang bisa jadi menyinggung perasaan orang lain, atau dalam istilah berbeda, menimbulkan perasaan tidak nyaman pada orang lain. Jika kamu ternyata menemukan lebih dari enam, boleh share lewat komentar, ya.

Tersinggung adalah perasaan yang alamiah. Muncul sebagai respons atau tanggapan atas sesuatu (reaksi), sekaligus dapat menjadi pemicu tindakan (aksi) yang baru. Yang jelas, perasaan tersinggung itu tak enak, mengganjal, bahkan sampai mendistraksi dan mengganggu.

… dan entah, apakah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, orang-orang yang tersinggungan semakin bertambah banyak. Terlampau sensitif, kaku dan kehilangan keluwesan sosial.

Makin banyak yang gampang tersinggung, makin banyak pula yang lelah karena emosinya terkuras. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang gampang tersinggung, masyarakat yang lelah secara emosional. Bangsa kita menjadi bangsa yang gampang tersinggung, bangsa yang lelah secara emosional. Pemerintah kita pun menjadi komunitas yang gampang tersinggung, komunitas yang lelah secara emosional. Pada akhirnya, kita saling membuat tersinggung satu sama lain, saling membalas, saling mengalahkan.

Walaupun sejatinya, kita tak akan bisa tersinggung dan merasa terganggu, bila kita tidak mempersilakan orang lain membuat kita tersinggung. Apa pun topiknya, apa pun perbuatannya. It takes two to tango, biarlah dia melemparkan ayunan tak bersambut dan menari sendirian di sana.

Selama ini kita terbiasa fokus pada ketersinggungannya saja. Kita menggandrungi dramanya; siapa yang melakukannya, apa yang dilakukannya/disampaikannya, sebagai dasar bagaimana cara kita membalasnya. Kita cenderung “senang” jika ketersinggungan tersebut menjadi ramai, karena kita beranggapan kondisi itu bisa mengamplifikasi efek balasan yang kita lancarkan … kalau berhasil.

Kita kerap abai dengan “apa yang dilakukannya/disampaikannya, dan mengapa aku jadi tersinggung” yang justru bisa membuat kita menang tanpa berperang. Soalnya, perasaan tersinggung yang muncul akibat kesalahpahaman, kekeliruan tanpa disengaja, perbedaan adat dan budaya, maupun faktor-faktor sejenis semestinya mampu diatasi dengan lebih bijaksana. Apalagi jika muncul akibat omong kosong, dusta, hinaan tak berdasar, dan otak yang tak terdidik, lebih baik beri respons seperlunya lalu tinggalkan.

Manakala sebuah ucapan sedemikian menyinggung dan tak bisa dibendung lagi, di saat itulah kita mencermati “apa yang mereka lakukan/sampaikan, dan mengapa itu membuatku tersinggung”.

Sejauh ini, ada beberapa hal lazim yang membuat orang tersinggung, dan semuanya berawal dari perbedaan;

– Perbedaan pendapat,

– Perbedaan perlakuan,

– Perbedaan antara memposisikan diri sendiri dan penilaian orang lain,

– Perbedaan latar belakang yang didorong oleh stigma, asumsi, dan stereotip, termasuk gaya individu, kebiasaan, strata sosial, ekonomi, dan aspek SARA,

– Perbedaan cara memahami.

Segala macam perbedaan di atas seyogianya bisa dilihat dan disikapi secara bijak. Tak semua hal yang berisik itu penting untuk diteruskan dan dibiarkan bergulir. Dihentikan bukan dengan dilawan, melainkan dengan dibiarkan berlalu begitu saja. Kecuali bila kita memang ada apa-apanya.

Lagipula, tidak semua-muanya harus dilawan, kok. Tidak semua-muanya harus bikin kita terlihat pintar dan hebat. Dengan memutuskan tidak tersinggung atas ucapan atau perbuatan orang lain, kita seolah-olah terlihat bodoh dan tak responsif. Padahal ibarat ketemu setumpuk tahi di jalan, alih-alih menginjaknya, kita agak menepi dan menghindari, lalu meneruskan perjalanan.

“Yatapikan itu membahayakan orang lain…

Ya sudah … pastikan saja kamu mampu, dan punya semua perangkat yang diperlukan untuk membersihkan tumpukan tahi tadi. Bukan malah marah-marah, dan justru melemparkannya ke orang lain. Bisa-bisa kamu dibalas lemparan, jadilah saling melempar tahi. Bau semua, berantakan semua.

Sedangkan satu-satunya yang patut terus dilawan ialah struktur dan sistem; yang cara kerjanya membuat kita tersinggung, yang dibuat agar kita tersinggung, lalu frustasi, dan terbakar api amarah sendiri.

[]

2 respons untuk ‘Orang-orang kok pada tersinggungan, ya?

  1. Ini ku bookmark di twitter, akhirnya tak baca om dragon.
    membalas seperlunya, aku gak bisa ngobrol dengan banyak kepala satu persatu, berjam-jam di Warung kopi, harus membeli sepeda lipat agar bisa masuk ke komunitas, atau harus menyukai yang memang tidak suka.
    aku memilih jalan menulis sedikit lebih panjang, merespon linimasaku pada lamanku sendiri. Tak perlu tersulut atas kesalahanku sendiri.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s