LENGKAPNYA, judul tulisan ini ialah: “Bahagia karena Merasa Dicintai | Bahagia karena Mampu Mencintai“
Relatif cuma sekutil perbedaannya, tetapi besar dampaknya. Sebab, banyak yang menganggap bahwa pemberian (setelah memberi) akan, pasti, bahkan mesti diikuti penerimaan (dengan menerima), dan begitu seterusnya menjadi semacam siklus. Terlebih dalam urusan cinta, yang sudah misterius semenjak tercipta.
Cinta, katanya, bisa membahagiakan sekaligus menyengsarakan. Keadaan bahagia berarti ketiadaan derita. Begitu pula sebaliknya, derita muncul saat bahagia berselang. Begitulah, silih berganti hingga selama-lamanya*.
Untuk perihal yang satu ini, kita pun bisa membagi manusia dalam enam kategori;
- Mereka yang bahagia karena dicintai saja,
- Mereka yang bahagia karena dicintai, lalu/karena mencintai,
- Mereka yang bahagia karena mencintai agar dicintai,
- Mereka yang bahagia karena mencintai, lalu/karena dicintai,
- Mereka yang bahagia cukup dengan mencintai saja,
- Mereka yang bahagia tanpa mencintai dan tanpa dicintai.
Di manakah kita berada?
1. Mereka yang bahagia karena dicintai saja.
Sudah alamiahnya, bahwa setiap orang ingin dan senang diperlakukan istimewa, diprioritaskan, ditempatkan sebagai seseorang yang penting, dihargai dan dihormati, serta mendapatkan perhatian dan kasih sayang, apalagi dari orang-orang yang dikehendaki untuk memberikan itu semua. Karena berarti keinginan kita terpenuhi; kita mendapatkan apa yang diinginkan.
Dengan dicintai, seseorang pun mendapatkan perlakuan istimewa, diprioritaskan, ditempatkan sebagai seseorang yang penting, dihargai dan dihormati, serta tentu saja mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Dengan dicintai, ia merasa bahagia … dan berhenti hanya sampai di situ.
Saat tidak dicintai; tak mendapatkan yang diinginkan, ia akan menderita. Ini pun tak ada urusannya dengan mencintai. Tak payah ia merenungkan tentang mencintai, karena bukan itu yang ia inginkan. Bukan itu yang dirasanya bisa memberikan kesenangan.
“I want to be loved!“
2. Mereka yang bahagia karena dicintai, lalu/karena mencintai.
Mereka yang berada dalam kategori ini telah berkembang dan berpikir dari sebelumnya. Mereka tahu benar bahwa dicintai itu menyenangkan, menimbulkan rasa bahagia, memenuhi keinginan mendasar mereka atas eksistensi.
Tak hanya berhenti sampai dicintai, mereka menyadari bahwa mencintai bisa mempertahankan atau malah meningkatkan curahan cinta yang diperoleh selama ini. Membuatnya berkesinambungan, terjaga, dan terpelihara.
Tantangannya yang pertama adalah kadar. Mereka yang mencintai agar dicintai bisa bermasalah dengan apa yang diberikan dan apa yang diperoleh. Akan sangat membahagiakan bagi mereka bila berhasil mendapatkan yang lebih besar ketimbang yang diberikan. Ini pun bukan sekadar soal kuantitas, melainkan apa yang dirasakan.
Mereka akan merasa menderita manakala perlakuan cinta yang mereka berikan tidak sebanding dengan perlakuan cinta yang mereka dapatkan.
“I want you to love me more!“
atau
“I want you to love me as much as I love you!“
Lebih parah lagi, sebagai tantangan kedua, adalah cinta tak berbalas. Menimbulkan penderitaan bagi penghuni kategori berikutnya.
3. Mereka yang bahagia karena mencintai agar dicintai.
Berbeda dengan kategori sebelumnya, mereka di sini bahkan belum pernah merasakan bahagianya dicintai (mendapatkan perlakuan istimewa, diprioritaskan, ditempatkan sebagai seseorang yang penting, dihargai dan dihormati, serta tentu saja mendapatkan perhatian dan kasih sayang). Untuk berupaya mencapai keinginan tersebut, mereka yang memulai membuka diri dan mencurahkan cinta kepada orang lain.
Namun, ibarat berjudi dengan takdir, tak ada jaminan curahan cinta mereka akan berbalas; akan ditanggapi dengan sebagaimana mestinya, entah sedikit, seimbang, atau lebih besar. Pastinya, sekecil apa pun kesan dicintai yang mereka peroleh, perasaan itu akan sangat membahagiakan.
“I want you to love me because I love you.“
Berkembang dari kategori ini, mereka bisa beranjak berubah menjadi orang-orang kategori 2, atau justru menjadi orang-orang kategori berikutnya.
4. Mereka yang bahagia karena mencintai, lalu/karena dicintai.
Cinta yang berbalas, yang ditanggapi sebagaimana mestinya, membuat kita benar-benar merasa dicintai, dan kita pun merasa bahagia dalam kondisi tersebut. Rasa bahagia itu membuat kita bisa mencintai dengan mudah, tanpa beban, luwes mengalir begitu saja.
Berbeda dengan kategori-kategori sebelumnya, penyebab munculnya rasa bahagia mereka dalam kategori bukan lantaran dicintai. Mereka merasakan bahagianya mencintai, mencurahkan cinta tanpa terlampau ambil pusing apa yang bakal terjadi kemudian.
Tanpa faktor-faktor pengubah yang signifikan, mereka akan terus mencintai. Oleh sebab itulah yang membuat mereka merasa bahagia. Hal ini mendorong mereka supaya bisa terus mencintai dengan baik, dengan lebih baik, bahkan seterbaik mungkin.
Apa yang menjadi indikatornya? Kesan dicintai sebagai respons atas mencintai. Menjadikan hubungan yang terjadi akan dipenuhi dengan sikap memperlakukan istimewa satu sama lain, saling memprioritaskan, saling mementingkan satu sama lain, saling menghargai dan menghormati, saling memerhatikan, mengasihi dan menyayangi.
Di samping itu, mereka akan menderita jika merasa tidak mampu mencintai dengan maksimal, merasa gagal mencurahkan cinta, kendati patokannya adalah penilaian diri sendiri. Efek sampingnya, orang lain bisa merasakan curahan cinta yang bertubi-tubi dan terkadang malah berlebihan.
Mengapa sebelumnya disebut “kesan dicintai”? Karena masih ada kemungkinan faktor-faktor pengubah yang terlibat. Contoh, seseorang yang lihai menyembunyikan penyelewengannya, tetap akan mampu merespons cinta pasangan dengan sedemikian baik. Dicintai, tetapi apakah benar-benar dicintai?
“I want to love you…“
atau
“I want to love you because you love me too…“
5. Mereka yang bahagia cukup dengan mencintai saja.
Sangat berbeda dengan empat kategori sebelumnya, orang-orang dalam kategori ini memiliki dua spektrum: Berorientasi pada diri sendiri, dan Berorientasi pada orang lain.
Mereka yang berorientasi pada diri sendiri, merasa bahagia cukup dengan mencintai saja tanpa haus untuk dicintai balik. Patokannya pun adalah penilaian diri sendiri, bukan penilaian dari seseorang yang dicintai/menjadi sasaran curahan cinta. Penerimaan atau penolakan tak akan mengubah pendirian mereka. Satu-satunya sumber rasa penderitaan yang bisa mereka alami hanyalah diri mereka sendiri.
“I want to love you because I want to.”
Sebaliknya, mereka yang berorientasi pada orang lain menggunakan patokan eksternal sebagai penilaiannya. Kondisi ini pun rentan di-abuse atau disalahgunakan. Apabila dirasa/disebut kurang, mereka akan berusaha meningkatkannya. Saking kerasnya, sampai bisa menyusahkan diri sendiri. Bisa saja seseorang yang menjadi sasaran cinta ini memanfaatkan keadaan, mengeruk keuntungan tanpa membalasnya dengan pantas. Setidaknya dalam bentuk apresiasi atau terima kasih.
Akibat berorientasi pada orang lain dan sangat dipengaruhi penilaian eksternal, mereka cenderung lebih mudah merasakan derita atas kegagalan mencintai dengan sebaik-baiknya.
“I want to love you and I don’t care about myself.“
6. Mereka yang bahagia tanpa mencintai dan tanpa dicintai.
Tanpa mencintai di sini bukan berarti membenci, melainkan sebagaimana adanya alias netral. Sedangkan tanpa dicintai, bisa juga sampai berarti dibenci, tetapi mereka tak ambil peduli.
Khusus kategori yang ini, entahlah, apa yang bisa membuat mereka merasa tidak bahagia. Masih belum jelas juntrungannya; mereka bahagia dalam kenetralannya, dan tetap bisa bahagia tanpa mendapatkan cinta, atau bahkan saat dibenci sekalipun.
“What…?”
Di manakah kita berada?
Dari sini, bisakah kita melihat dan menjawab, apa yang kita harapkan dan inginkan saat mencintai maupun ketika dicintai?
… dan jangan lupa mencintai atau pun dicintai, sama-sama ada tai-nya.
[]