KITA, sebagian besarnya, mengamini bahwa kekuatan terbesar seorang manusia adalah kesabaran. Seberat apa pun masalah dan alangan yang terjadi akan bisa dihadapi tanpa menumbangkan. Asalkan bukan berupa deraan fisik; bisa melukai, bisa mencederai, bisa mengancam keselamatan nyawa.
Itu sebabnya, manakala ada keluarga, kerabat, teman, maupun rekan yang mengalami musibah, nasihat paling lazim yang bisa kita sampaikan adalah “Yang sabar, ya…” Mudah disampaikan kepada orang lain, tetapi sesungguhnya teramat sulit untuk dipraktikkan oleh diri sendiri.
Hanya saja, ada beberapa hal yang selalu luput dari perhatian kita. Kesabaran merupakan pilihan dan tindakan aktif. Berawal dari diajarkan dan dilatih sejak kecil, bertumbuh seiring usia, lalu tersedia sebagai bentuk respons yang bisa dilakukan sewaktu-waktu.
Mereka tidak semata-mata mampu bersabar, melainkan mau bersabar … dan ini ialah sebenar-benarnya privilege, keistimewaan … Bagaimana seseorang bisa bersabar jikalau tidak memilikinya? Mungkin memberikan balasan yang sama kerasnya, atau justru pergi sekalian.
… dan karenanya, kita tidak bisa meminta, apalagi menyuruh orang lain untuk bersabar. Terlebih untuk perkara-perkara yang kita perbuat terhadap mereka.
Sadarkah kita bila selama ini sering, atau bahkan selalu menjadi penyebab bagi orang lain agar bersabar? (Baca: Sadarkah kita bila selama ini sering, atau bahkan selalu menjadi masalah bagi orang lain?)
Kita tidak bisa “mengambil” stok kesabaran orang lain secara semena-mena, tetapi kita seringkali melakukannya baik sadar ataupun tidak. Terus-menerus.
Ada satu latihan kecil untuk hal ini. Yaitu melakukan refleksi diri, membayangkan apakah kita bisa bersabar saat menghadapi diri kita sendiri? Kita harus benar-benar melihat diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain–dan ini merupakan sebuah keterampilan–supaya turut merasakan seperti apa kita berlaku pada sesama selama ini.
Pantaskah orang lain mencurahkan segenap kesabarannya gara-gara kita, terlepas dari apa pun motivasi atau alasannya bersabar terhadap kita?
Apakah kita memang seberengsek itu hingga membuat orang lain harus sedemikian bersabar?
[]