Alkisah, saat terjadi krisis ekonomi yang dijuluki The Great Depression di Amerika Serikat pada tahun 1929 sampai pertengahan tahun 1930-an (di beberapa negara bagian malah masih terasa sampai tahun 1941), masyarakat Amerika melarikan diri dari kesulitan hidup sehari-hari dengan mengunjungi bioskop. Bioskop adalah satu-satunya hiburan audio visual saat itu. Belum ada televisi. Yang ada hanya radio, dan media cetak berupa koran, majalah, buku dan komik.
Selama era tersebut, hampir sekitar 60 sampai 80 juta orang pergi ke bioskop untuk melupakan kesedihan mereka. Harga tiket sebesar 25 sen untuk pertunjukan pagi dan siang hari, 40 sen untuk pertunjukan malam hari, dan 10 sen untuk anak-anak. Berhubung tidak ada jenis hiburan lain, maka tiket seharga kurang lebih sekali makan pun rela dikeluarkan, asal selama 90 sampai 120 menit, mereka bisa sejenak melupakan kesulitan hidup.
Dari sekian bintang film yang dilihat di layar lebar, salah satu yang paling populer adalah bintang film cilik bernama Shirley Temple.

Shirley Temple mulai bermain film dari umur 3 tahun. Gayanya yang lincah, lucu dan polos, dengan rambut kriwil keriting, membuat nama dan sosok Shirley Temple menjadi idola. Saat umur 6 tahun, Shirley Temple “dihargai” dengan kontrak sebesar $1,000 per minggu dengan bonus $15,000 per film, yang setara dengan $123,000 dan $296,000 dengan hitungan mata uang tahun lalu. Bayangkan saja. Nilai yang luar biasa di masa krisis.
Apa yang membuat Shirley Temple popular? Banyak teori yang bisa anda baca di internet. Buat saya, satunya adalah faktor G. Gemeesss! Siapa yang tak dibikin gemas melihat gaya Shirley Temple yang lucu, kala dia cemberut atau tersenyum, sambil menari dan menyanyi dengan orang-orang yang lebih dewasa di film-filmnya? Silakan lihat sendiri beberapa cuplikan adegan atau film-film Shirley Temple di Youtube. Beberapa saya sertakan di tulisan ini.
Dan formula “Shirley Temple tampil gemeeesss” ini nyaris diulang-ulang terus di hampir semua filmnya. Shirley Temple selalu jadi anak-anak yang berpegang teguh pada norma-norma kebaikan di dunia. Makanya, dengan karakter apapun, Shirley Temple selalu mempromosikan “good over evil” di setiap filmnya. Setahun Shirley Temple membintangi rata-rata 4 film. Paling tidak 2 atau 3 dari 4 film bisa dipastikan laris manis.
Sayangnya, karir Shirley Temple sebagai bintang anak-anak berhenti total setelah dia beranjak remaja dan dewasa. Mungkin faktor G alias faktor menggemaskan mulai pudar. Setelah sempat mencoba-coba berbagai peran dewasa di beberapa film dan serial televisi, dia banting setir menjadi diplomat. Puncak karirnya adalah sebagai duta besar Amerika untuk Cekoslovakia di saat Velvet Revolution yang mengawali pecahnya Ceko dan Slovakia di tahun 1992. Sampai akhir hayatnya, Shirley Temple melanjutkan aktivitasnya di berbagai organisasi masyarakat.
Seiring dengan pudarnya karir Shirley Temple di dunia hiburan, dunia pun mulai berubah. Satu per satu jenis hiburan mulai ditemukan. Televisi mulai merambah rumah tangga, komputer mulai menjadi kebutuhan, dan telepon bisa dipakai untuk menonton sekaligus menciptakan tontonan.
Namun yang tidak pernah kita sangka adalah krisis besar yang menerpa kita. Dunia mengalami lagi krisis besar dalam beberapa dekade, bahkan abad, terakhir. Lalu kita bertanya-tanya, bagaimanakah wajah dunia setelah krisis ini berlalu?
Sepintas pernah saya baca dalam beberapa tautan di Twitter, di mana seorang pelaku film profesional menyarankan agar para penulis yang keburu punya ide untuk menulis tentang suasana krisis saat ini dan ingin menjadikan cerita dalam bentuk film atau serial televisi, sebaiknya ditunda dulu katanya. Kenapa? Dia mengatakan bahwa ada alasan kenapa film-film musikal dan film-film ringan seperti film-film Shirley Temple laku di pasaran saat krisis dan beberapa saat setelah krisis. Alasannya adalah karena mereka menawarkan fantasi. Mereka menawarkan kesenangan sesaat yang dibutuhkan orang untuk melupakan kesulitan hidup.
Terus terang saya tergelitik membaca komentar itu. Tentu saja pendapat itu sah, karena berdasarkan fakta yang pernah terjadi. Namun saya berpikir lagi, bukankah itu terjadi saat tidak ada pilihan hiburan audio visual lain selain bioskop saat itu?
Sementara yang terjadi saat ini, justru kita sering kali merasa overwhelmed dengan banyaknya informasi dan media tontonan dengan berbagai ragam presentasi audio visual. Paling tidak kita berlangganan satu platform video streaming. Dalam satu platform itu saja sudah ada ratusan judul film dan serial dengan ribuan jam tayang, yang tidak pernah bisa kita habiskan dalam sebulan. Sambil menonton, tangan dan mata kita pun tidak lepas sambil sesekali melihat linimasa media sosial yang kita ikuti.
Mau tidak mau, ini berpengaruh juga terhadap proses penerimaan kita terhadap media yang kita konsumsi. Mungkin mereka yang dulu menonton film Shirley Temple di bioskop bisa benar-benar menikmati senyum dan air mata yang diseka di pipi Shirley Temple dengan penuh penghayatan dan perasaan. Itu berlangsung paling tidak selama satu jam lebih sedikit.
Sekarang kita mungkin menonton serial “Tiger King” di Netflix, sambil buka Twitter, membaca cuitan “Twitter, please do your magic”, tersentuh sesaat, semakin tersentuh saat membaca berita kematian, lalu dibuat terbahak-bahak karena ada yang membagikan meme lucu. Akhirnya kita hentikan sejenak tayangan di televisi, atau kita biarkan saja supaya ada suara, lantas kita scroll timeline. Semua terjadi hanya dalam hitungan menit saja.
Atensi kita terhadap penerimaan informasi semakin pendek. Semakin pendek pula setiap berita sensasional yang beredar, karena dalam hitungan jam, paling lama sehari, berita itu akan digantikan dengan yang lain, yang segera menyita perhatian kita.
Kita tidak tahu, atau belum tahu, seperti apa lanskap dunia setelah krisis besar ini berlalu. Kita bahkan belum bisa memprediksi, kapan krisis ini berakhir. Yang jelas sampai saat ini, di tengah-tengah krisis, kita masih mengkonsumsi tayangan film dan serial yang sudah selesai dibuat sebelum krisis mulai. Jadi kita masih bisa melihat orang ciuman, menyentuh muka masing-masing, dan bebas bepergian tanpa menggunakan masker. In near future, kita masih akan terus menikmati atau mengkonsumsi tayangan yang sudah selesai dibuat sebelum krisis. Sudah ada ratusan judul film dan serial yang menunggu tayang, paling tidak sampai akhir tahun ini, di berbagai platform video streaming.
Demikian pula dengan media sosial. Masih akan terus melahirkan berbagai video unik yang dibuat oleh para content creators agar selalu terlihat visible and relevant. Beberapa akan menjadi populer tanpa diduga, beberapa memang direncanakan dengan baik agar selalu konsisten dalam membuat konten.
Jadi melihat judul di atas, siapa yang akan menjadi Shirley Temple selanjutnya, yang bisa membuat kita melupakan kesusahan hidup sesaat? Gempi? Rafathar? Atau anak selebritis yang lain?
Saya tidak bisa menjawab. Kemungkinan besar malah kita sendiri yang bisa menjadi the next Shirley Temple, karena ponsel kita sudah lebih dari cukup untuk membuat video atau konten yang kita mau. Kalau memang kita ingin membuat.

Buat saya yang memang punya kapasitas untuk sekadar mengapresiasi dan menikmati, saya cukup mengkurasi saja apa yang perlu saya tonton, baca dan dengar, sesuai dengan kebutuhan mental dan fisik. Sambil menunggu the next Shirley Temple, kalau memang ada. Kalau tidak ada, we still have her legacy to cherish.
Thank you, internet.
Untukku saat ini nonton reality show Korea, the return of superman yang ada Ha O ini lucu bangeeettt 😀
SukaSuka
Ini ada di streaming platform manakah?
SukaSuka
di viu mas Nauval
SukaSuka