PER hari ini, lepas dua pekan kita menjalani keseharian dan gaya hidup yang jauh berbeda dibanding sebelumnya.
Perspektif kita diubah paksa oleh keadaan; melihat hal-hal yang sebelumnya terabaikan, mengalami hal-hal yang dahulunya tak begitu diacuhkan, menyadari bahwa hal-hal yang selama ini disepelekan ternyata amatlah penting. Setidaknya, penting untuk mempertahankan rasa nyaman, atau bahkan untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri.

Foto: CNN
Saat menyampaikan berkat mingguan selepas Doa Angelus, Minggu dua pekan lalu (15/3), Paus Fransiskus memberikan pujian khusus kepada “orang-orang biasa” atau orang-orang yang selama ini dianggap biasa-biasa saja, sebagai kelaziman peradaban manusia modern. Yang disebut Paus saat itu adalah para petugas toko-toko kelontong, apotek, dan polisi yang terus memberikan pelayanan-pelayanan mendasar di tengah masa krisis seperti sekarang.
Anyway, sejujurnya saya agak kesusahan menemukan kata atau istilah yang lebih tepat dibanding “biasa”. Pasalnya, saya percaya bahwa tidak ada satu pun profesi yang biasa-biasa saja. Semuanya memiliki fungsi khusus dan positifnya masing-masing, kecuali penjahat dari segala jenis. Untuk menyamakan persepsi, orang-orang biasa dalam konteks ini ialah mereka dengan profesi yang kurang bergengsi. Pekerjaan yang selama ini dinilai tak cukup kece untuk membangkitkan rasa kagum. Tidak perlente.
Saya yakin yang dimaksud Paus kala itu juga mencakup banyak profesi (biasa) lainnya, semisal sopir angkutan barang, tenaga kebersihan, pasukan pemadam kebakaran, dan sebagainya. Malahan bagi sebagian besar dari kita di Indonesia saat ini, kemudahan, kelancaran, dan kenyamanan hidup kita bergantung pada “orang-orang biasa”.
Dimulai dari tukang sayur keliling, atau tukang sayur yang menerima pesanan antar, pengemudi ojek online, para pemilik, juru masak, dan pramusaji di restoran, warung, kedai, hingga penjual makanan dengan sistem pemesanan di muka. Mereka terus beroperasi, menyesuaikan pelayanan dengan standar keselamatan (bungkus makanan disegel rapat, tidak lagi diantar langsung tetapi bisa cukup digantung di depan pagar, serta beraneka cara lainnya), dan itu semua‒sekali lagi‒membantu kita mempertahankan kenyamanan hidup.


Jika kita tarik mundur lagi, di belakang “orang-orang biasa” tersebut masih ada beberapa lapis “orang-orang biasa” lainnya. Para pedagang bahan makanan di pasar-pasar tradisional yang terus berjualan, pun melayani pesanan via telepon maupun memasok stok kepada para tukang sayur keliling. Para petani dan pekebun yang ada di daerah, nun jauhnya dari kota sehingga relatif dijauhkan dari paparan wabah. Tak ketinggalan para petugas kebersihan, yang tetap bekerja termasuk membantu penyiraman disinfektan. Sedangkan bagi para orang tua, ada guru-guru sekolah negeri atau pun swasta yang berupaya tetap memberikan pengajaran walaupun secara online.
Demikianlah. Perspektif kita diubah paksa oleh keadaan; melihat hal-hal yang sebelumnya terabaikan, mengalami hal-hal yang dahulunya tak begitu diacuhkan, menyadari bahwa hal-hal yang selama ini disepelekan ternyata amatlah penting. Setidaknya, penting untuk mempertahankan rasa nyaman, atau bahkan untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri.
Bahwa sejatinya, tidak ada yang namanya “orang-orang biasa”.
Berterima kasihlah. Sepantasnya.
[]