SAMPAI saat ini, saya selalu “terkagum-kagum” melihat begitu melimpahnya tenaga, stamina, perhatian, dan waktu banyak orang–dan terkadang diri kita sendiri–untuk ribut-ribut. Baik yang kita mulai sendiri, atau yang bisa bikin kita ikutan.
Banyak hal, atau bahkan hampir segalanya diributkan. Bukan lagi “mangan ora mangan ngumpul“, tetapi jadinya “ngumpul ora ngumpul ribut”. Dan boleh dibilang, ini menunjukkan prioritas atau hal yang didahulukan dalam kehidupan kita masing-masing. Tanpa ada ribut-ribut barang sehari saja, rasanya seperti ada yang kurang. Entah kurang seru; kurang bersemangat; kurang bergairah; atau kurang rame macam pasar malam di kampung gang sebelah.
Sejujurnya, saya pernah begini. Hobi banget ribut-ribut, meributkan banyak hal yang saya anggap telah saya pahami dan kuasai dengan segala rupa alasannya. Apakah itu ingin mengkoreksi atau membenarkan orang lain; yang secara tidak langsung juga bertujuan untuk ingin menunjukkan superioritas kita dibanding orang lain; maupun sekadar ingin mencari keributan lantaran memang tidak bisa diam. Namun, seiring bertambahnya usia (sekaligus pengalaman hidup, kesadaran, dan mudah-mudahan kebijaksanaan), saya kian menyadari betapa sia-sianya berkubang dalam keributan. Ketika menit demi menit dalam setiap harinya sudah dipenuhi dengan kesibukan pekerjaan, tenggat, pemikiran dan pertimbangan, serta lain sebagainya, berasa banget betapa berharganya waktu dalam satu hari ketimbang dicurahkan untuk ribut; memulai atau pun terlibat dalam keributan.
Disclaimer: Kendati telah berusaha menyadari hal di atas, akan tetap ada momen-momen saat saya turut terjun dalam keributan. Jadi, harap dimaklumi saja.
Kembali ke hal-hal yang kerap diributkan, dapat kita amati bahwa ribut-ribut terjadi merata pada segala topik dan bahasan. Mulai dari yang paling sensitif–gara-gara kerap tak terjangkau oleh banyak orang–semisal Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA), termasuk anatomi dan fisik, politik dan ekonomi, hukum dan kriminal, sosial budaya, filsafat, teknologi, seksualitas, hingga kelakar dan kegoblokan macam urusan hamil gara-gara berenang tempo hari.
Jika diperhatikan lebih dalam, bukan topik atau bahasannya yang salah, dan perlu dihindari, melainkan aktivitas dan vibe ribut-ributnya yang bikin malesin. Pada dasarnya, kita bisa membicarakan atau mendiskusikan hampir apa saja secara konstruktif dan membangun, asal tidak pakai ribut-ribut yang justru malah membuat suasana kian kisruh.
Dengan bicara baik-baik (dan pintar), urusan kursi partai PAN tidak bakal pakai acara lempar-lemparan kursi secara harfiah; urusan anatomi dan fisik akan berkembang sesuai Zeitgeist-nya atau kesadaran sejalan waktu, contohnya, ada masa ketika kondisi tubuh seseorang dijadikan lelucon habis-habisan dalam sederetan film Warkop DKI (gigi tonggos) sampai episode-episode Ketoprak Humor (mata juling, pincang) tanpa memicu ketersinggungan yang riuh, kemudian berkembang menjadi kesadaran bahwa kondisi fisik sama sekali bukanlah objek lucu-lucuan yang patut; atau seberani Mbak Margaretha Diana dengan tulisan berjudul “Enaknya Orang Kristen, Begitu Mualaf Langsung Jadi Ustaz Seribu Umat” di Mojok.co manakala membahas tentang ilusi superioritas agama berbalut alibi khayal (… tetap berasa, sih, slightly mangkel dalam poin-poin argumentasinya. Hahaha! I feel you, Mbak).
Kalau begini, bagaimana caranya supaya tidak perlu ribut-ribut?
Oke, kembali lagi ke satu landasan di atas, bukan topiknya yang salah, melainkan ribut-ribut (dan segala pemicunya) yang sebaiknya disadari untuk dipupuskan. Kita hidup di iklim yang bebas. Bebas berpikir dan mempertanyakan, bebas berbicara dan menyampaikan pendapat, serta bebas untuk menerima atau menolak, bebas untuk bertahan dengan pandangan awal atau berubah tanpa diintimidasi atas perubahan pemikiran tersebut.
Sedikit banyaknya, mungkin bisa mengacu kepada beberapa aspek berikut.
- Penting/Tidak Penting
- Bermanfaat/Tidak Bermanfaat
- Merugikan/Tidak Merugikan
Ketiga aspek tersebut kembali dibagi dalam tiga dimensi:
- Bagi diri sendiri
- Bagi orang lain yang berhubungan dengan kita
- Bagi orang lain yang tidak berhubungan dengan kita/umum
A. “Apakah sesuatu itu penting untuk diributkan, atau tidak?”
Bila diarahkan bagi diri kita sendiri, setiap orang tentu memiliki pertimbangan penting/tidak penting yang berbeda. Hanya saja, harap diingat bahwa penting bagi kita, belum tentu penting bagi orang lain. Apalagi bagi orang banyak.
B. “Apakah sesuatu itu bermanfaat jika diributkan, atau tidak?”
Kembali lagi, akan ada perbedaan tentang manfaat yang dapat kita peroleh (jenis dan bentuknya) bagi diri sendiri, maupun yang diperoleh orang lain, termasuk bagi masyarakat umum.
Jika sesuatu memberikan manfaat hanya bagi diri kita sendiri, tetapi tidak bagi orang lain yang kita kenal dan orang banyak, bukankah itu berarti kita egois dan mementingkan diri sendiri? Apabila memang demikian, keributan yang kita lakukan semata-mata demi keuntungan kita sendiri. Bukan untuk kemaslahatan orang banyak.
C. “Apakah keributan itu akan menimbulkan kerugian, atau tidak?”
Terdapat perbedaan yang cukup nyata antara sesuatu yang memberikan manfaat atau keuntungan, dengan sesuatu yang tidak memberikan kerugian.
Manfaat atau keuntungan dilakukan secara aktif, melibatkan aktivitas pencarian dan pengusahaan. Tujuannya tentu saja adalah memperoleh manfaat atau keuntungan. Sementara tidak adanya kerugian ialah situasi yang pasif dan netral.
Tatkala ada sesuatu yang tidak menimbulkan kerugian jika dilakukan, dan tidak menyebabkan apa pun (kerugian maupun keuntungan) jika tidak dilakukan, maka nuansanya akan jauh lebih rileks. Kita tidak merasa harus melakukannya sesegera mungkin, tetapi di sisi lain pun tak akan menimbulkan penyesalan atau rasa bersalah jika tidak dilakukan.
Nah… saat kita berhadapan dengan sesuatu yang penting bagi diri kita dan orang lain, bisa memberikan manfaat bagi diri kita dan orang lain, serta tidak menimbulkan kerugian bagi diri kita dan orang lain, sesuatu itu cukup patut diributkan ke tingkat lanjut.
Mengapa? Sebab semua aspeknya terpenuhi. Dengan kata lain, apabila tidak diributkan, akan menyebabkan kegentingan bagi kita dan orang lain, menghilangkan manfaat bagi kita dan orang lain, serta justru merugikan kita dan orang lain.
Begitu, kira-kira.
Sebagai penutup tulisan tentang ribut-ribut ini, saya ingin berbagi vibe positif, berani, penuh rasa percaya diri, dan empatik dari twit foto yang dibagikan Mbak Tara Basro beberapa waktu lalu.
Kenapa empatik? Ya bayangin aja, giliran banyak cewek (dan cowok) yang merasa insecure dengan bentuk tubuhnya sendiri, Mbak Tara Basro menghadirkan foto ini dengan caption demikian. Kendati sayangnya, mesti Mbak Tara Basro yang bersuara barulah kita cenderung memerhatikannya (kalau bukan Tara Basro: “Siapa elu?”).
Beginilah manusia-manusia rata-rata, haus dan dikendalikan oleh validasi. Validasi sosial dari lingkungan, yang lambat laun menjadi validasi dari dalam diri sendiri.
… dan tak perlulah terpancing dengan beberapa komentar yang disampaikan segelintir netizen, peribut-ribut yang bisa jadi enggak ada seapa-apanya terhadap keributan mereka sendiri.
Berikut salah satu contohnya.
Beberapa waktu lalu, Tara Basro ngetwit foto yang agak revealing … which–for me, at least–looked just okay. Namun, karena membuat heboh seisi jagat maya, akhirnya foto tersebut dihapus. Warganet ribut. Mulai meributkan foto yang dimaksud, hingga melebar ke diskursus-diskursus sosial lainnya. Seperti yang diilustrasikan dalam twit ini, ketika kita kerap memberikan penilaian (penghakiman) yang bias dan subjektif. Untuk satu tindakan yang mungkin sama, kita memandangnya berbeda tergantung siapa yang melakukannya (terlebih kepada yang merasa tidak good looking).
[]