Kepala saya akhir akhir ini sering gatal kalau melihat perdebatan di media sosial, kemudian kata ‘Islamofobia’ dilemparkan dengan mudahnya. Bukan karena kepala saya sedang dijangkiti jamur, tetapi kata Islamofobia itu sendiri. Sebenarnya bagaimana sih kalau seseorang itu menderita fobia terhadap sesuatu? Ini saya salin dan tempel dari Google:
Fobia (gangguan anxietas fobik) adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap fobia sulit dimengerti.
Tahu bahwa fobia itu gangguan yang seperti apa saja sudah membuat saya kesal dengan istilah Islamofobia. Apakah orang orang yang dituduhkan dengan kata ini memiliki ketakutan yang tidak rasional dengan yang menyangkut Islam? Apakah melihat masjid mereka akan tunggang langgang ketakutan? Apakah ketika melihat seseorang menggunakan pernak pernik “Islami” lalu mereka lebih baik mengurungkan niat menaiki kendaraan yang sama atau lebih baik putar balik ke arah sebaliknya agar tidak sejalan dengan dia? Kalau memang tetap keras kepala menggunakan kata Islamofobia, seharusnya ini yang terjadi.
Tetapi kan, kenyataannya tidak.
Kalau kita lihat istilah-istilah yang menggambarkan diskriminasi dari ras atau golongan tertentu, tidak ada yang menyebut agama selain Islamofobia. Ada ‘anti-semit’ tetapi tidak ada ‘judaismofobia’.
Kenapa istilah Islamofobia bisa menimbulkan masalah? Karena dia tidak memisahkan mana yang menunjukkan diskriminasi dan kebencian terhadap orang yang memeluk agama Islam atau muslim, mana yang kritik valid tentang Islam sebagai ideologi. Kritisi terhadap ideologi bisa mengajak masyarakat berpikir lebih kritis, sementara kebencian dan diskriminasi dapat memecah belah. Bigotry adalah intoleransi dengan seseorang yang memiliki pendapat atau kepercayaan berbeda, jadi ke orangnya, bukan ke kepercayaan atau pendapatnya.
Sungguh membuat malas ya, kalau kita berusaha menyuarakan kritik terhadap suatu ideologi yang cukup valid dan evidence-based, dengan harapan membuka dialog, lalu dimatikan begitu saja dengan cap seperti, “ISLAMOFOBIA!” A real conversation killer. Kalau memang suatu ideologi tidak boleh dikritik sama sekali, berarti tidak boleh juga dong, mengkritik komunisme, sosialisme dan isme-isme lain yang kini dianggap musuh dalam selimut yang sangat berbahahahahaya (really?). Double standard, much?
Izinkan saya mengutip Ali Rizvi, idola saya di komunitas eks muslim:
dan satu lagi:
Jadi, rekomendasinya, kalau memang ada orang yang melemparkan kebencian terhadap seorang muslim karena kemuslimannya, bahkan sampai membedakan perlakukan dengan orang non-muslim, dan nyata sekali, lalu ingin ada cap terhadap orang ini, sebut saja lah dia anti-muslim. Sebut aksinya anti-muslim bigotry.
Rekomendasi lainnya; kalau ada komik yang bercerita soal diskriminatifnya Islam sehingga membabi buta membenci atau anti terhadap satu golongan yang berbeda dengan kepercayaan Islam sampai banyak pernyataan seolah menyakiti golongan tersebut “halal”, tak perlu lagi menyebut Islamofobia, karena mempertanyakan sebuah ideologi masih legal, kok. Tak perlu marah dan mencap ini itu, let’s just agree to disagree, dan tetap saling menghormati.
Apa kamu bilang? Islam itu bukan ideologi dan murni buatan Tuhan? Hahahaha, bercanda kamu…

Iya, media pun enggak lepas dari penggunaan islamofobia. I’m so glad you’re agree, thank you for dropping your comment T.T #baper
SukaSuka
Dan anehnya diksi Islamopobhia mulai banyak dipakai oleh banyak artikel. Seharusnya diksi itu dihindari supaya tidak menjadi kosa kata yang biasa, yang kemudian dipahami secara serampangan.
Setuju banget soal Bigotry, intoleransi kepada orangnya bukan kepada kepercayaan atau agamanya.
SukaSuka
Iya, media pun enggak lepas dari penggunaan islamofobia. I’m so glad you’re agree, thank you for dropping your comment T.T #baper
SukaSuka